Geger Rumah
Tipe 36
Andy Siswanto, PhD di Bidang Housing and Urban
Development;
Praktisi
di Wiswakharman
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012
Mahkamah Konstitusi saat ini sedang menguji
Pasal 22 Ayat (3) UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
yang mengamanatkan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran
minimal 36 meter persegi.
Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman
Seluruh Indonesia (Apersi) menolak batasan ini karena menganggap rumah tipe 22
dengan harga Rp 70 juta sudah layak huni. Mereka yakin harga rumah tipe 36
tidak akan terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Sebaliknya, Menteri Perumahan Djan Faridz
siap membuktikan modal rumah tipe 36 cuma Rp 25 juta. Ia berargumentasi,
apabila per keluarga terdiri atas empat orang, kebutuhan luas minimal rumah
adalah 36 meter persegi (m2), luas yang sudah diakui
secara internasional.
Di sisi lain, Menpera juga berniat menurunkan
tingkat bunga kredit pemilikan rumah (KPR) jadi 5-6 persen dan menaikkan porsi
dana patungan perbankan di KPR bersubsidi dari 40 persen menjadi 50 persen.
Untuk ini, sejak 1 Januari 2012, Menpera menghentikan kucuran subsidi
perumahan. Alasannya, perjanjian kerja sama operasional penyaluran fasilitas
likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) hanya sampai 31 Desember 2011.
Dampak dari kebijakan tersebut, transaksi
lebih dari 30.000 unit rumah sederhana tapak (RST) gagal. Padahal, APBN sudah
mengalokasikan dana untuk FLPP sebesar Rp 6,9 triliun guna pembangunan 210.000
unit RST di tahun 2012.
Uji materi Pasal 22 Ayat (3) UU No 1/2011 ini
memancing mantan Menpera Cosmas Batubara berkomentar, ”Saya belum bisa memahami
mengapa UU yang baru menetapkan secara fixed rumah tipe 36” (Kompas, 8 Maret
2012). Seperti halnya Cosmas, saya juga menganggap batasan ini tidak logis
karena kenaikan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah tertinggal dengan
kenaikan biaya tanah perkotaan, konstruksi, dan infrastruktur. Tak aneh apabila
harga rumah semakin melangit, tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan
rendah.
Bukan ”Bentuk Jadi”
MK perlu memahami, bagi rakyat kecil,
membangun rumah secara fisik tidaklah sulit. Mereka kesulitan memiliki rumah
murah di perkotaan karena secara individual mereka tak mampu mengadakan
komponen-komponen esensial dari sebuah rumah secara cepat dan murah. Komponen
dimaksud adalah tanah yang sesuai tata ruang, sertifikat, IMB, listrik/gas/air
bersih/sanitasi, akses jalan dan transportasi, infrastruktur kawasan seperti
jalan, drainase, penghijauan, fasilitas sosial dan umum, serta KPR. Adalah Real
Estat Indonesia (REI) dan Apersi yang relatif sukses menyediakan semua komponen
di atas dalam satu paket pengembangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Akar masalah munculnya kemacetan-kemacetan
seperti ini adalah visi dari negara, seperti tecermin dalam UU No 1/2011, yang
selalu memaksakan produk rumah formal harus dalam bentuk jadi
(finished-product). Padahal, produk rumah tidak bisa disamakan dengan sepatu,
mobil, atau komputer yang membutuhkan presisi ukuran dan spesifikasi teknik
yang ketat.
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, rumah
adalah awal dari proses konsolidasi bermukim. Proses itu akan berlangsung secara
terus-menerus, baik dalam memperluas ukuran rumah, kualitas bangunan, maupun
arsitekturnya. Semua bisa dilakukan bertahap sesuai kenaikan penghasilan
mereka.
Dengan demikian, rumah seperti organisme. Ia
tumbuh dan berkembang melalui proses swadaya. Proses ini bisa kita saksikan di
mana-mana, bagaimana rumah sangat sederhana (RSS) tipe 21 yang dipasok beberapa
tahun lalu kini sudah bertambah luas dan kualitas bangunannya membaik. Artinya,
secara spontan terjadi peralihan moda delivery system rumah: dari formal ke
informal; dari berderet-deret seragam jadi rumah bergaya vernakular komunal.
Implikasi dari teori di atas, ukuran rumah
awal sebenarnya tidak harus untuk empat orang. Bujangan atau pasangan belum
beranak semestinya bisa mulai dengan rumah ukuran 18 m2
atau 21 m2 (seperti studio di flat). Namun, rumah yang
tumbuh ke luar secara horizontal relatif agak sulit dan memboroskan. Sebab,
saat menumbuhkannya, agar yang lama dan baru terangkai, sebagian komponen
bangunan lama harus dibongkar secara mubazir.
Tumbuh ke Dalam
Di sini saya mengajukan satu konsep
alternatif, yakni rumah yang tumbuh ke dalam. Maksudnya, dana konstruksi rumah
harus dimanfaatkan untuk membangun rumah seluas-luasnya dengan memfokuskan
terlebih dahulu pada pembangunan komponen kebutuhan dasar dan persyaratan pokok
sebuah rumah, mulai dari fondasi, kerangka struktur, atap, dinding keliling
bangunan, pintu jendela, kamar mandi, dapur, lantai plester, listrik dan
penerangan, air bersih, hingga sanitasi dan drainase.
Apakah kualitas rumah semacam ini layak huni?
Tentu layak karena ia cukup sehat, aman, dan nyaman. Apalagi, jika konsep kita
tidak bias ke kualitas finishing golongan kelas menengah.
Bagaimana konsep rumah tumbuh ke dalam ini
bisa dipakai untuk menyelesaikan kemelut tipe 36 di lahan perkotaan yang
relatif mahal? Apabila biaya komponen rumah tipe 27 yang dialokasikan
pengembang tahun 2011 diasumsikan 55 persen dari harga jual rumah yang Rp 70
juta, atau sekitar Rp 38,5 juta, maka jika mereka dipaksa membangun tipe 36,
berarti beban tambahan yang harus mereka tanggung adalah Rp 12,8 juta (nilai
inilah yang membuat pengembang mogok). Agar rumah tipe 36 tetap bisa dibangun
dengan biaya yang sama, dana Rp 38,5 juta harus dikonsentrasikan untuk
membangun rumah yang memenuhi kebutuhan dasar dan persyaratan pokok terlebih
dahulu.
Apabila konsep rumah tumbuh ke dalam ini
dibangun di pinggiran kota, terutama di daerah yang harga bahan bangunannya
relatif murah, dengan harga yang sama pengembang bisa memasok luasan yang lebih
besar, seperti tipe 45 m2 atau 50 m2.
Saya juga yakin pasangan muda berpenghasilan rendah yang sudah beranak akan
lebih menyukainya. Sebab, (1) ukuran rumah lebih luas, (2) penghuni bebas dalam
menata ruang dan berarsitektur, (3) pekerjaan finishing lebih mudah dan tidak
berisiko secara konstruksi, dan (4) tidak perlu membongkar yang sudah terbangun
secara mubazir.
Apabila pemerintah cukup kreatif, konsumen
bisa dirangsang lebih cepat untuk melakukan finishing rumah mereka melalui
skema cash-back, pinjaman khusus, atau dana bergulir.
Kesimpulannya, agar pasokan rumah bisa stabil
dan semakin membesar, ukuran rumah minimal di Indonesia tidak perlu dibatasi 36
m2. Kebijakan negara sebaiknya memberi peluang pada rumah
tumbuh ke luar maupun rumah tumbuh ke dalam. Konsep rumah tumbuh ke dalam ini
bisa pula ditransformasikan pada desain dan pembangunan rumah susun atau pondok
boro susun perkotaan untuk menolong masyarakat miskin yang nasibnya makin
terkatung-katung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar