Rabu, 11 April 2012

Drama Berulang Semenanjung Korea

Drama Berulang Semenanjung Korea
Andi Purwono, Dosen Hubungan Internasional,
Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 11 April 2012


"Perlu langkah bijak, misalnya justru dengan merangkul agar Korea Utara merasa nyaman dan tidak terancam"

KOREA Utara (Korut) berencana meluncurkan roket satelit dengan klaim untuk penelitian ilmiah antara tanggal 12 dan 16 April 2012 guna menandai peringatan ke-100 tahun pendiri negeri itu, Kim Il-sung, yang tepatnya jatuh pada 15 April. Namun Amerika Serikat (AS) dan sekutunya menilainya sebagai kedok bagi uji coba rudal jarak jauh Pyongyang yang  melanggar sanksi PBB tentang penghentian program rudal Korut. Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Filipina bahkan terus melakukan langkah antisipatif secara militer. Mengapa ketegangan terus menjadi drama yang berulang di Semenanjung Korea?

Perjanjian genjatan senjata Juli 1953 yang mengakhiri Perang Korea hingga kini terbukti tidak efektif meredam konflik dan potensi konflik dua Korea. Hubungan antara Korut dan Korsel menunjukkan persaingan sengit, terutama dalam hal kekuatan nasional, keunggulan sistem nasional dan ideologi. Akibatnya, berbagai insiden dan krisis berulang terjadi, serta kecurigaan dan ketegangan terus menyelimuti dua Korea, termasuk banyak negara di kawasan ini. Kasus kali ini juga merupakan drama dan pengulangan kasus April- Mei 2009.

Penyebab utama hal itu sebenarnya pengembangan dan pergelaran kemampuan militer oleh para pihak didukung patron dan sekutu masing-masing. Sebagai contoh, ungkapan Lewis A Dunn dalam Deterrence Today: Roles, Challenges, and Responses (Summer 2007), bahwa dengan memanfaatkan konflik Korea, pemerintah Beijing dan Moskow sejak 1950-an mulai memasok teknologi Korut, terutama dalam bidang pengembangan nuklir. Di sisi Korsel tentu saja ada dukungan tanpa batas dari AS dan sekutu Baratnya. Kemampuan militer memang berfungsi menguatkan citra (prestige power), sebagai penangkal (deterrent power), perlindungan (defensive power), ataupun alat pemaksa (coercive power).

Pertentangan makin memanas dengan kehadiran nuklir dan berbagai rudal balistik. Isu nuklir memanas sejak era 1990-an. Korut makin mencengangkan dunia dengan menarik diri dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT) pada 10 Januari 2003. Tahun 2005 Korut mengklaim memiliki sejumlah senjata nuklir aktif untuk kepentingan militer. Pada 9 Oktober 2006, Korut dinyatakan berhasil melakukan uji coba nuklir pertamanya.

Diplomasi Tekanan

Dalam hal rudal, menurut The Korean Journal of Defense Analysis (Vol XII, No 1, Summer 2000: 139), sejak 1985 Korut telah mengembangkan kemampuan rudal jelajahnya, seperti Hwasong-5 (Scub-B), Hwasong-6 (Scub-C), Nodong I, Taepodong I, Taepodong SLV, Taepodong II baik berupa short-range balistic missile/ SRBM yang mampu mencapai jarak 1.000 km, medium-range balistic missile/ MRBM 1.000-3.000 km, maupun intermediate-range balistic  missile/ IRBM 3.000-5.501 km. Tanggal 5 April 2009, Korut meluncurkan roket dari Musudan-ri, fasilitas militer di pesisir timur dengan klaim sebagai misi penempatan satelit komunikasinya.

Namun Amerika dan Jepang  menganggapnya sebagai tipuan karena meyakini Korut berusaha menguji hasil pengembangan daya jangkau peluru kendalinya yang diperkirakan bisa menjangkau hingga wilayah Alaska, sebagai bagian dari program senjata nuklir Korut. Mei 2009, Korut kembali meluncurkan rudal di atas negara Jepang yang diklaim sebagai rudal pengecek cuaca.

Dunia marah dan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan kecaman dan menegaskan bahwa peluncuran roket Korut telah melanggar resolusi DK PBB Nomor 1718. Namun Korut tidak terima bahkan mengancam meninggalkan perundingan enam pihak (Six-Party Talk) dan kembali mengaktifkan reaktor nuklirnya di Yongbyon yang telah dimatikan sejak 2007. Di sisi Korut, mengapa kegenitannya terus berulang dengan berbagai provokasi militernya?

Banyak analis meyakini bahwa pengembangan kemampuan militer, termasuk  nuklir Korut, adalah diplomasi tekanan yang memiliki tujuan-tujuan khusus antara lain, pertama; untuk mempertahankan rezim dan keamanan nasional dari ancaman pelemahan sistem negara dan agresi Amerika. Korut menganggap efek deterrent kepemilikan kemampuan serang nuklir akan menggaransi kelangsungan hidup rezim Pyongyang yang tidak lain adalah rezim komunis yang masih ingin eksis di belahan bumi

Kedua; Pyongyang ingin mencapai tujuan diplomatik-politik yaitu normalisasi hubungan diplomatik dengan Amerika. Hal ini bisa kita telusuri dari realitas bahwa Korut menghadapi implikasi politik dan ekonomi akibat perang Korea dan hubungan yang terisolasi dari dunia internasional. Ketiga; membawa para musuhnya, terutama Amerika, ke meja negosiasi (perundingan), maupun sebagai suatu alat penjamin keamanan rezimnya.

Dalam proses negosiasi itu, kekuatan militer dan program nuklir itu bisa menjamin keuntungan ekonomi, seperti program bantuan pangan, pendanaan, dan sebagainya yang sangat dibutuhkan sebagai negara miskin. Sebagaimana contoh konsesi yang diberikan Korut seperti penghentian sementara program nuklirnya atau izin inspeksi IAEA dilakukan dengan imbalan bantuan makanan dan bahan bakar dari China dan Korea Selatan, serta pembangunan reaktor nuklir sipil di Korea Utara oleh pihak Korea Selatan dan Jepang.

Korea Utara bahkan meminta konsesi untuk sekadar hadir di meja perundingan, sebagaimana syarat Pyongyang agar Washington mencairkan rekening 25 juta dolar miliknya yang dibekukan di Makau 2005 sebelum kembali ke meja perundingan. Artinya, langkah-langkah provokatif itu merupakan pilihan rasional yang diambil dalam memperkuat posisi tawar guna memperoleh kompensasi politik ekonomi. Karena itu, perlu langkah bijak justru dengan merangkul Korut agar nyaman dan tidak merasa terancam. AS dan sekutunya tidak melakukan provokasi dengan berbagai latihan militer gabungan yang justru memanasi Korut.

Selain itu, diperlukan negosiasi lanjutan untuk memfinalkan tujuan dari Agreed Framework (1994), Perundingan Tiga Pihak (Three Ways Talk) hingga Perundingan Enam Pihak (Six Party Talk) dengan melibatkan Korsel, China, Amerika, Jepang, dan Rusia. Beberapa pendekatan yang dilakukan Amerika selama ini baik menggunakan sanksi maupun bantuan kemanusiaan terbukti tidak pernah memberikan hasil yang sesuai dengan tujuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar