Selasa, 03 April 2012

Racun Lagu Miskin Moral

Racun Lagu Miskin Moral
Abd. Sidiq Notonegoro, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik
SUMBER : JAWA POS, 03 April 2012



KARENA lirik yang vulgar, dua lagu dangdut Julia Perez (Jupe) berjudul Belah Duren dan Paling Suka 69 dicekal Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat. Seperti diberitakan di Metropolis Jawa Pos kemarin, status cekal itu berarti secara otomatis dua lagu tersebut tidak boleh disiarkan atau ditayangkan di media elektronik televisi dan radio. Pencekalan lagu itu dilakukan setelah KPI menganalisis bahwa lirik-lirik lagu Jupe mengandung muatan-muatan seks secara vulgar.

Serombongan dengan lagu Jupe yang dicekal, terdapat tiga lagu lagi yang menjadi objek pencekalan KPI. Tiga lagu tersebut berjudul Cinta Satu Malam, Pengen Dibolongi, dan Mobil Bergoyang. Masing-masing dinyanyikan Melinda, Aan Annisha, dan Lia MJ feat Asep Rumpi. Setali tiga uang dengan lagu Jupe, lirik tiga lagu itu juga dinilai KPI cenderung mengeksploitasi syahwat.

Semaraknya peredaran lagu-lagu berlirik vulgar nan erotis tersebut memang patut menjadi keprihatinan kita bersama. Bukan semata-mata lagu-lagu itu tidak memiliki unsur pendidikan yang positif, tetapi juga berpotensi merusak mental masyarakat. Tentu bukan generasi muda saja, tetapi mulai anak-anak hingga orang tua. Lagu-lagu tersebut hanya berpotensi mendorong masyarakat untuk hidup bebas-liar tanpa moral dan hanya menjunjung pola-pola hidup hedonis-materialis. Maka, hal yang aneh sesungguhnya bila lagu-lagu semacam itu dikelompokkan sebagai karya seni.

Tentu patut menjadi pertanyaan kita semua, mengapa pasar belantika musik negeri ini kerap diramaikan dengan goyang serta lagu atau musik yang berlirik vulgar, erotis, dan banal. Apakah itu pertanda runtuhnya panggung musik Indonesia yang beradab dan berkualitas, kemudian berganti dengan lagu-lagu yang semata-mata memenuhi hasrat kapitalisme dan materialis-hedonis? Ataukah memang itulah yang saat ini diminati masyarakat Indonesia, yang mencerminkan masyarakat "primitif" berbudaya rendah? Tentu banyak yang bisa dijadikan pisau analisis dalam masalah tersebut.

Masyarakat Ikut Sakit

Menggejalanya lagu-lagu yang tidak bermutu dan cenderung hanya memenuhi selera murahan tidak dapat dipisahkan dari interaksi antara produsen dan konsumen. Pertama, maraknya lagu yang sarat dengan pesan-pesan mesum mengindikasikan tumpulnya kreativitas pencipta dan pelantun lagu yang lebih bermoral dan beradab. Hal itu terjadi manakala para musisi dan pencipta lagu hanya berorientasi pada profit material semata tanpa peduli dengan dampak negatif yang ditimbulkan dari karya-karyanya. Bisa pula karena para perangkai dan pelantun lirik tidak memiliki kecerdasan intelektual dan moral yang memadai.

Memang bisa dipahami, lagu-lagu yang berkualitas, berlirik bagus, dan bermuatan edukatif tidak dapat diciptakan dengan cara instan. Dibutuhkan penggubah lagu yang cerdas -baik intelektual maupun moral- dan memiliki ruang waktu yang cukup untuk merenung serta berkontemplasi. Di tangan seniman yang intelek dan bermoral, karya seni apa pun-musik, drama, film, karya pahat, dan seterusnya-akan berpotensi menggetarkan jiwa (bukan syahwat), menggerakkan raga, dan menyiratkan pesan-pesan kritis.

Kapitalisme-materialisme memang sebuah ideologi yang selalu membutakan diri dari nilai-nilai moral. Maka, dalam hukum kapitalisme, apa yang menjadi selera itulah yang akan disuguhkan. Tidak peduli apakah yang hendak disuguhkan itu nanti berfungsi sebagai racun, madu, atau tidak keduanya.

Kedua, maraknya lagu-lagu bernuansa mesum bisa pula menjadi parameter yang mengindikasikan bahwa selera masyarakat kita pada umumnya memang masih sangat murah dan rendahan. Jika dikembalikan lagi pada hukum pasar bahwa pasang surutnya suatu produk sangat ditentukan atau bergantung seberapa jauh konsumen memanfaatkan produk itu, maraknya lagu-lagu yang seronok bisa pula dijadikan hipotesis bahwa masyarakat kita sedang dalam kondisi "sakit".

Sakitnya (moral) masyarakat itu bisa dikaitkan dengan kegagalan (atau ketidakpedulian?) pemerintah untuk menyediakan wahana pendidikan yang berkualitas (baik moral dan intelektual). Pendidikan seharusnya mampu mengantarkan masyarakat menjadi manusia yang cerdas dalam memilah hal yang positif dan negatif sekaligus cerdas dalam meletakkan keberpihakan. Faktanya, lagu-lagu vulgar, erotis, dan hedonis justru selalu menjadi buruan masyarakat -tidak peduli apakah anak-anak, remaja, maupun orang dewasa.

Dukung KPI

Apakah masifnya lagu-lagu murahan dan cenderung dilantunkan penyanyi dengan gerakan-gerakan binal, seronok, dan jorok hanya bertujuan menuruti selera pasar? Ataukah memang ada kepentingan tersembunyi (hidden interests) yang lebih sistematis untuk merusak mental dan moral bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang "idiot"? Apa pun praduganya, semua pihak patut mengapresiasi langkah KPI tersebut.

Namun, perlu diingat, otoritas KPI hanya terbatas pada tayangan televisi dan radio. Padahal, lagu-lagu berpotensi merusak moral itu juga menyebar melalui ring tone, compact disc (CD), internet, orkes jalanan, dan masih banyak lagi. Karena itu, sangat diharapkan peran semua pihak-baik pemerintah, tokoh agama, masyarakat, ormas keagamaan, dan siapa pun yang peduli moral- untuk turut mempersempit ruang gerak racun moral yang berkedok kesenian merusak masyarakat.

Akhirnya, mudah-mudahan tindakan tegas KPI bisa menyadarkan para penggubah dan pelantun lagu agar lebih kreatif dalam menyuguhkan lirik yang bermartabat dan beraroma edukatif yang positif. Kita berharap para seniman itu tidak bersembunyi di balik argumen "mengikuti selera pasar". Kita berharap seniman dapat menjadi duta perbaikan moral bangsa. Janganlah keterpurukan bangsa ini semakin dijerumuskan ke jurang kehancuran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar