BBM Buat Rakyat Kecil
Eduard Depari, Pakar Komunikasi
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 03 April 2012
“Penaikan harga BBM sebenarnya tidak memberatkan bagi
80% pemilik mobil, tetapi nasib 70% wong cilik di Republik ini, termasuk
pengusaha angkutan kota, nelayan, petani miskin, dan sebagainya, harus menjadi
fokus perhatian pemerintah."
KEBIJAKAN
pemerintah menyubsidi harga BBM sebe narnya ditujukan untuk meringankan beban
rakyat kecil. Namun dalam praktiknya, pengguna terbesar BBM bersubsidi adalah
masyarakat dengan status sosial-ekonomi menengah ke atas, memiliki mobil
(sering lebih dari dua), tetapi enggan merogoh kocek untuk konsumsi BBM bebas
subsidi. Mungkin orang memperdebatkan masalah itu dari sudut moralitas.
Namun,
apakah masih ada moral dalam relasi sosial kita? Jika kita masih mengenal
moral, tentu korupsi tidak separah sekarang ini. Korupsi di Republik ini
mencerminkan egoisme yang membenarkan orang mengambil yang bukan haknya. Dari
sisi moral jelas sekali, siapa-siapa yang berhak dan tidak berhak atas
kemudahan subsidi yang diberikan pemerintah terkait dengan harga BBM. Jika
pertimbangannya dari sudut ekonomis, tentu saja produk yang lebih murah dengan
kemampuan menjalankan fungsi yang tidak jauh berbeda dengan produk lebih mahal
akan dipilih.
Di
sini sikap pragmatis yang dominan. Ketika pemerintah mulai kewalahan akibat
harga minyak dunia melambung tinggi sehingga harga aktual premium di pasar
dunia mencapai hampir dua kali lipat, beban subsidi pun meningkat drastis. Oleh
karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM bersubsidi.
Ketika niat tadi mulai dikemukakan kepada publik dan memperoleh dukungan DPR
RI, resistensi pun meningkat. Karena sadar akan dampak penaikan harga minyak
akan lebih menyengsarakan rakyat kem cil, pemerintah melakukan c langkah dengan
memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada sekian juta orang miskin dan
merealokasikan sebagian dana yang disisihkan dari penaikan harga BBM tersebut
untuk membangun infrastruktur ke depan.
Kebijakan
memberikan kompensasi kepada mereka yang tidak mampu secara ekonomis tepat.
Hanya, tenggang yang berlarut-larut memunculkan terlalu banyak wacana yang
tidak sehat dan kegelisahan di kalangan masyarakat. Para elite politik pada
umumnya sadar bahwa penaikan harga BBM merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.
Namun karena namanya politisi, mereka mencoba mencari celah untuk memberi kesan
kepada rakyat bahwa mereka sebenarnya tidak terlalu antusias dengan penaikan
harga BBM.
Sikap Ambivalen
Politisi
PKS, yang sebenarnya tergabung dalam koalisi partai pendukung pemerintah,
menunjukkan sikap yang aneh dari fatsun politik. Yakni, menolak kebi jakan
menaikkan harga BBM, padahal mereka tergabung sebagai partai pendukung. Jika
dikatakan berbeda pendapat ialah soal wajar dalam demokrasi, tentu orang
bertanya, apakah dengan tetap mempertahankan menteri mereka dalam kabinet
koalisi tetapi bersikap menolak kebijakan pemerintah koalisi tidak mencerminkan
sikap ambivalen?
Jika
preseden semacam itu terus berlanjut dalam dua tahun sisa masa pembentukan SBY,
dapat dibayangkan, ke depan Partai Demokrat secara perlahan tetapi pasti akan
ditinggalkan mitra koalisi atas nama `berbeda
pendapat dibenarkan dalam demokrasi'. Sebagai partai oposan yang konsisten
dalam status tersebut, PDIP menolak penaikan harga BBM. Menurut PDIP, masih ada
jalan lain ketimbang pemerintah menaikkan harga BBM. Cuma persoalannya, apakah
jalan lain tersebut merupakan jalan terbaik?
Dalam
politik, memerintah dan menjadi oposisi memang sama terhormatnya. Namun menjadi
oposisi memang lebih baik karena mudah melihat celah kelemahan mereka yang
memerintah. Kalau pemerintah harus mencari jalan keluar dan bertindak agar menyelesaikan
masalah, oposisi cenderung membayangkan apabila mereka memerintah mereka pasti
punya alternatif yang lebih baik.
PDIP
sebaiknya memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah
bangsa ini, sebab nasib `wong cilik'
dipertaruhkan. Jangan sampai nasib wong cilik dipertaruhkan melalui
demonstrasi, unjuk rasa, dan retorika politik yang akhirnya membuat kita
bertanya-tanya mau ke mana Republik ini dibawa politisi.
Dengan
mengusung nama rakyat dan atas nama rakyat, pelbagai argumentasi diberikan baik
oleh pihak yang pro maupun kontra. Jika 80% `rakyat pemilik mobil' yang relatif
hidup mapan menikmati subsidi BBM selama ini, mengapa mereka keberatan untuk
membeli BBM yang subsidinya dikurangi hanya 30%?
Penaikan
harga BBM sebenarnya tidak memberatkan bagi 80% pemilik mobil, tetapi nasib 70%
wong cilik di Republik ini, termasuk pengusaha angkutan kota, nelayan, petani
miskin, dan sebagainya, harus menjadi fokus perhatian pemerintah.
Penaikan
tarif BBM masih jauh dari harga keekonomisan yang ideal. Bayangkan bila kita
harus membeli BBM seharga Rp11 ribu seperti yang harus dibayar rakyat Kamboja
(GNP per kapita ± US$600, atau Myanmar sekitar US$700). Jika isu penaikan harga
BBM sudah beralih dari ranah ekonomi menjadi komoditas politik, tidak
mengherankan kalau yang berkembang di masyarakat cuma wacana yang menghabiskan
energi dan mengalihkan fokus kita dari usaha menyejahterakan masyarakat.
Dalam
hal ini, rakyat, wong cilik, masyarakat miskin, apapun namanya , menjadi
bingung. Nama mereka disebut-sebut oleh politisi, didengung-dengungkan oleh
mahasiswa, diteriakkan oleh demonstran, tetapi nasib mereka tidak berubah.
Padahal, pengurangan subsidi memberi secercah harapan atas perbaikan nasib
mereka. Tidak demikian halnya menurut politisi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar