Sabtu, 14 April 2012

Catatan tentang Gempa Aceh


Catatan tentang Gempa Aceh
Agustan, Perekayasa Bidang Dinamika Kebumian
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012


Gempa besar kembali mengguncang Aceh dan sekitarnya, 11 April 2012. Gempa ini termasuk yang jarang terjadi karena dua hal: masuk kategori outer-rise dan doublet.
Gempa outer-rise berarti terjadi di luar zona subduksi dan gempa doublet berarti terjadi dua kali gempa dalam waktu dan lokasi yang berdekatan dan dengan kekuatan yang hampir sama pula. Intensitas guncangan gempa outer-rise terasa lebih kuat karena energi yang dilepaskan terakumulasi dalam waktu singkat. Gempa Aceh dengan magnitudo 8,5 pada Rabu lalu berkekuatan setara dengan 500.000 kali ledakan bom atom Hiroshima yang dilepaskan secara bersamaan hanya dalam waktu 40 detik.

Tidaklah mengherankan apabila dampak guncangan terasa sampai wilayah yang jauh. Guncangan gempa tersebut dilaporkan terasa sampai di Bangkok. Sebaliknya, pada gempa Aceh, 26 Desember 2004, yang berkekuatan lebih besar, 9,2 skala Richter (SR), guncangannya hanya terasa sampai di pesisir barat Malaysia.

Berbahaya

Gempa outer-rise berkorelasi erat dengan tingkat stress atau tekanan pada zona interplate, yaitu zona pertemuan lempeng tektonik. Pada gempa Aceh, zona tersebut merupakan pertemuan antara Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Sunda. Meski jarang terjadi, gempa ini lebih berbahaya dibandingkan dengan kedua jenis gempa yang lain.

Gempa Aceh kali ini juga merupakan anomali karena terjadi pada zona yang terkunci secara kuat. Padahal, biasanya outer-rise terjadi pada zona ”transisi”, yaitu zona peralihan dari zona yang terkunci kuat (seperti kawasan pesisir barat Sumatera) ke zona yang tidak terkunci atau terkunci secara lemah, seperti kawasan di selatan Nusa Tenggara.

Gempa outer-rise bisa saja terjadi pada zona yang terkunci secara kuat, antara lain jika sebelumnya terpicu oleh gempa megathrust yang besar. Apabila mengikuti asumsi ini, gempa outer-rise pada Rabu lalu merupakan rentetan dari gempa megathrust yang mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004. Namun, masih perlu analisis lebih lanjut mengingat mekanisme gempa pada 11 April 2012 didominasi komponen horizontal (strike-slip), sementara gempa pada 26 Desember 2004 didominasi komponen vertikal (thrust fault).

Selain gempa outer-rise memang dikenal juga gempa megathrust dan gempa tsunami, yang oleh Kanamori (2008) dikategorikan berdasarkan spektrum energinya. Jika dikaitkan dengan lokasi pusat gempa, pusat gempa outer-rise terletak di dalam patahan satu lempeng tektonik yang berada di luar zona subduksi. Sebaliknya, pusat gempa megathrust terletak pada pertemuan dua lempeng yang disebut zona subduksi.

Meski berkekuatan besar, gempa outer-rise yang berlokasi di sebelah barat Aceh kali ini mempunyai mekanisme geser (strike-slip). Dengan demikian, komponen horizontal adalah yang dominan sehingga tidak membangkitkan gelombang tsunami yang besar.

Kondisi tersebut berbeda dengan kejadian gempa outer-rise pada 19 Agustus 1977 di selatan Sumba yang didominasi oleh komponen vertikal karena berlangsung mekanisme patahan turun (normal-fault). Gempa berkekuatan 8,3 SR inilah yang membangkitkan tsunami dan menelan korban 189 jiwa. Contoh lain gempa outer-rise adalah gempa di selatan Jawa pada 26 Juni 2007 yang berkekuatan 6,0 SR.

Dengan demikian, dapat dikatakan, dampak negatif gempa outer-rise yang jarang terjadi ini lebih lengkap. Tidak hanya guncangannya yang lebih keras dan jangkauannya yang lebih jauh, tetapi juga menjadi lebih berbahaya apabila mekanisme gempanya didominasi oleh komponen vertikal (dip-slip) karena potensi tsunami menjadi sangat besar.

Gempa ”doublet”

Seperti disebutkan di atas, gempa yang baru saja terjadi juga memiliki karakteristik sebagai gempa doublet. Gempa pertama terjadi pada pukul 15.38 dengan kekuatan 8,5 SR dan gempa kedua terjadi pada pukul 17.43 dengan kekuatan 8,8 SR.


Kejadian gempa doublet (dua gempa yang terjadi dengan perbedaan kekuatan tidak lebih dari 0,2 unit atau jarak antartitik pusat tidak lebih dari 100 kilometer atau terjadi dalam waktu berdekatan) juga pernah beberapa kali terjadi di Indonesia.

Di antaranya, gempa Papua pada 3 Januari 2009 dengan kekuatan 7,6 SR dan 7,4 SR, berbeda tiga jam antar-kejadian.

Demikian pula gempa Bengkulu pada 12 September 2007 dengan kekuatan 8,4 SR dan 7,9 SR yang berselang 12 jam antar-kejadian. Yang terakhir gempa Aceh yang terjadi pada 11 April 2012 dengan kekuatan 8,5 SR dan 8,8 SR, dengan selisih waktu dua jam.

Berdasarkan sistem kegempaan di kawasan barat Sumatera, pelepasan energi melalui gempa outer-rise pada 11 April 2012 ini tak berarti mengurangi potensi pelepasan energi besar di segmen Mentawai yang selama ini diwaspadai. Oleh karena itu, pemantauan dan penelitian terhadap fenomena gempa di kawasan ini tetap harus dilakukan dengan komitmen penuh.

Kita perlu belajar dari negara-negara tetangga, yang notabene bukan negara pusat gempa, melainkan memberi perhatian serius pada gawar dini dan penanggulangan gempa dengan mendirikan lembaga-lembaga penelitian baru.

Mereka sadar betul bahwa gempa, terutama jenis outer-rise, dapat berdampak regional. Maka, bagi Indonesia, peristiwa gempa outer-rise ini hendaknya semakin meningkatkan upaya mitigasi bencana karena memang kita ”kaya” akan jenis gempa yang merusak dan akhir-akhir ini semakin sering terjadi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar