Jakarta
Bebas Macet dalam Tiga Tahun?
Danang Parikesit, Ketua Umum Masyarakat Transportasi
Indonesia,
Board Member of Indonesia Infrastructure
Initiative
SUMBER : KORAN TEMPO, 12 April 2012
Beberapa hari terakhir ini saya berpikir
keras untuk menyelesaikan masalah kemacetan Jakarta dalam tiga tahun. Tantangan
besar yang dimunculkan oleh salah seorang calon Gubernur DKI Jakarta tersebut
perlu mendapat respons serius dari banyak kalangan, terutama para ahli
transportasi dan perkotaan. Bagaimana bisa kemacetan ini bisa hilang dalam
waktu tiga tahun? Apa yang harus dilakukan? Apa program kunci yang perlu
dilaksanakan?
Jelaslah saya tidak akan mengasumsikan bahwa
Jakarta Satu mengenalkan kebijakan plat nomor ganjil-genap, melarang penduduk
tidak ber-KTP Jakarta melakukan perjalanan masuk-keluar DKI, atau menutup
Jakarta untuk sepeda motor yang semuanya itu bukan pilihan bijaksana dan
merupakan political suicide. Untuk menjawab beberapa pertanyaan
tersebut, ada beberapa hal yang harus diperjelas terlebih dulu sebelum
melakukan simulasi kebijakan sebagai berikut.
Pertama, pengertian kemacetan membutuhkan
ukuran kuantitatif yang bisa menerangkan istilah ini secara lebih akurat.
Kemacetan adalah pengertian awam yang menunjukkan perbedaan antara ekspektasi
dan kenyataan yang dialami masyarakat pada saat melakukan perjalanan. Kemacetan
adalah relatif. Ukuran yang lebih tepat barangkali adalah menggunakan kecepatan
perjalanan atau waktu perjalanan.
Sebagai contoh, survei ARSDS (1985), SITRAMP Phase 1 Travel Speed Survey (2000), JUTPI Travel Speed Survey (2011), menunjukkan bahwa, pada jam
sibuk, waktu perjalanan dari Pasar Minggu ke Manggarai berubah dari 22 menit
(1985) menjadi 36 menit (2000) dan 95 menit (2011). Sementara itu, dari
Cilandak ke Monas meningkat dari 38 menit (1985) menjadi 49 menit (2000), dan
mengalami kenaikan signifikan menjadi 100 menit (2011). Karena itu, saya
menilai perlulah kiranya kita menyetujui rencana waktu perjalanan atau
kecepatan pada koridor utama Jakarta yang akan kita capai dalam tiga tahun
mendatang.
Sesungguhnya hampir tidak mungkin
menghilangkan kemacetan, dan yang bisa kita lakukan adalah mengelola kemacetan
itu pada level yang acceptable. Dalam kasus ini, saya ingin membuat
asumsi bahwa kita akan mengubah kecepatan perjalanan pada jam sibuk bagi
koridor selatan-utara Jakarta dari 6-9 km per jam menjadi 15-18 km per jam.
Kecepatan tersebut sebanding dengan Bangkok hari ini atau lebih rendah
dibanding Tokyo (20-22 km per jam). Dengan demikian, kita akan semakin akurat
dalam mendeskripsikan tujuan kebijakan transportasi yang akan dilakukan.
Sebagai sebuah kota, Jakarta harus kompetitif terhadap perkotaan dunia lainnya.
Asumsi tersebut akan memudahkan kita merancang apa yang perlu dilakukan untuk
menaikkan kecepatan perjalanan dalam tiga tahun.
Kedua, Jakarta telah memiliki on-going
project yang tentunya tidak akan dihentikan oleh Gubernur yang akan datang
karena merupakan program nasional jangka panjang. Ada tiga proyek angkutan umum
perkotaan yang menjadi komitmen, yaitu penuntasan 14 atau 15 koridor busway,
penyelesaian penataan layanan KA komuter Jabodetabek dan peningkatan kapasitas loop
line yang membutuhkan pembangunan 26 flyover baru, serta pembangunan
MRT Jakarta yang didanai pinjaman pemerintah Jepang.
Proyek KA Jabodetabek membutuhkan
lebih-kurang Rp 3 triliun dana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan proyek MRT
Jakarta tidak akan beroperasi sampai 2016 atau 2017, sehingga sangat sulit kita
memperoleh hasilnya pada 2015. Itu saja dengan catatan bahwa masalah-masalah
teknis di lapangan, seperti kasus protes warga Fatmawati, bisa tertangani
dengan baik. Karena itu, dalam tiga tahun ke depan, kita mengasumsikan bahwa
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya bisa merealisasi 14-15 koridor busway
yang akan bisa mengangkut maksimum 1,5 juta penumpang per hari.
Proyek lain, seperti electronic road
pricing (ERP) yang akan dilaksanakan pada 2013, apabila optimistis baru
akan beroperasi pada 2015. Dengan menggunakan skema public-private
partnership, biaya implementasi ERP mungkin bukan menjadi isu. Tetapi
penegakan hukumnya akan merupakan tantangan sendiri. Di sisi lain, proyek enam
ruas jalan tol yang diinisiasi oleh Sutiyoso dan Foke merupakan problematika
sendiri, karena akan menegasikan upaya mendorong penggunaan angkutan umum.
Apabila disatukan, proyek-proyek itu diperkirakan akan mendongkrak kecepatan
pada jam sibuk hingga 10-12 km per jam pada koridor utama.
Ketiga, kajian mengenai Jakarta dan
Jabotabek/Jabodetabek terdokumentasi dengan baik sejak 1978 dengan studi
mengenai jalan lingkar Jakarta. Sejak itu pula, dikenali bahwa persoalan
Jakarta tidaklah bisa diselesaikan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta saja. Kasus
mutakhir perlunya kerja sama antardaerah adalah terhambatnya proyek Angkutan
Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB), yang bertujuan mengurai kemacetan di
perbatasan Jakarta-Bekasi. APTB yang dijalankan dengan 15 bus itu ditentang
oleh angkutan umum rute Cikarang-Pulogadung, sehingga operasinya dihentikan.
Dengan 4 juta perjalanan per hari dari dan ke
wilayah luar Jakarta, kemampuan bekerja sama ini harus dibuktikan oleh Gubernur
DKI Jakarta. Mengapa komitmen ini penting? Harus disadari bahwa 4 juta orang
ini adalah kelompok kelas menengah terdidik, tidak terorganisasi, bukan pemilih
Gubernur DKI Jakarta, namun mereka juga adalah pengguna media sosial yang
merupakan "tukang protes". Gubernur harus mengakomodasi kebutuhan
mereka, dan itu bukan soal mudah.
Dalam waktu tiga tahun, dengan skema kerja
sama yang solid, layanan antardaerah ini bisa dibangun, namun bukan tanpa kerja
keras untuk merestrukturisasi trayek angkutan umum. Kalau saja 30 persen
perbaikan trayek mampu dilaksanakan, dan investasi angkutan umum untuk menambah
10 ribu kendaraan baru direalisasi, disertai dengan dilakukan investasi
besar-besaran prasarana pedestrian, akses ke halte, dan pembangunan fasilitas park
n ride, maka kita akan mampu menambah pengguna angkutan umum menjadi
sebesar 19-22 persen dari kondisi 14 persen pada 2011. Apabila dikombinasikan
dengan penuntasan busway, itu artinya akan membebaskan ruang jalan dan
memungkinkan kecepatan perjalanan naik menjadi sebesar 14 km per jam.
Di samping beberapa hal tersebut di muka,
tentunya ada banyak soal lain yang harus menjadi catatan kita semua untuk
memperbaiki transportasi Jakarta dalam tiga tahun ke depan. Mengendalikan
pengembang properti, yang menjadi magnet perjalanan sekaligus mesin uang DKI
Jakarta, dan meningkatkan APBD DKI Jakarta untuk memenuhi persyaratan investasi
pemerintah daerah sebesar Rp 2-4 triliun per tahun, serta mampu mengajak bupati
dan wali kota Bodetabek untuk bekerja bersama-sama dan berkesinambungan, adalah
kunci keberhasilan Jakarta Satu.
Apabila semuanya bisa kita lakukan, saya
memperkirakan kita akan memperoleh pengurangan kemacetan Jakarta. Dalam tiga
tahun ke depan, kita belum akan mencapai kecepatan jam puncak 18-20 km per jam,
dan jelas tidak menghilangkan kemacetan Jakarta. Yang dilakukan mungkin tidak
untuk menyamai Bangkok atau Tokyo, tetapi pasti akan menjadi fondasi yang baik
untuk menjadi kota dunia yang kompetitif, barangkali 10 tahun yang akan datang.
Hidup Jakarta! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar