Agitrop
Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
SUMBER : KORAN TEMPO, 14 April 2012
Di
zaman saya kuliah dulu (saya lulus doktorandus psikologi UI tahun1968), PKI (Partai
Komunis Indonesia) masih sangat merajalela. Partai itu punya organisasi
mahasiswa underbouw (organisasi sekoci) bernama CGMI (Consentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia) yang walaupun menyatakan diri independen sangat kentara
halauannya kepada PKI.
Visi
CGMI,sepanjang ingatan saya, adalah mendukung pemerintah (Presiden Sukarno),
memperjuangkan nasib buruh, petani dan nelayan, anti-PRRI, antimahasiswa yang
pro-Masyumi (walaupun Partai Masyumi sudah lebih dahulu dibubarkan Bung Karno),
dan ingin menyaingi TNI dengan membentuk angkatan bersenjata kelima yang
diawaki buruh, tani, dan melayan. Ketika didirikan pada 1956, ormas ini mengaku
punya anggota 1.180 mahasiswa yang tersebar di Yogyakarta, Bandung, Bogor, dan
Jakarta. Pada 1960 jumlah anggota berkembang menjadi 7.000 dan pada 1963 konon
17.000.
Pada 1965, saya rasa jumlah mereka di UI banyak sekali, termasuk beberapa teman saya yang kemudian (pasca-G-30-S) di-DO (dropout) oleh tim screening bentukan Dewan Mahasiswa UI. Pertumbuhan jumlah anggota yang begitu cepat, saya yakin, tidaklepasdariprogramPKI yang disebut agitprop. Singkatan dari agitasi dan propaganda. Istilah ini diadopsi dari bahasa Rusia untuk menamakan sebuah kementerian di pemerintahan Uni Soviet ketika itu. Propaganda berarti mempromosikan ideologi.
Agitasi adalah upaya secara sistematis memengaruhi massa untuk bertindak tertentu dengan cara membangkitkan emosi massa untuk merealisasi ideologi itu. Slogan-slogan yang digunakan saat itu, seingat saya lagi, adalah proletar (rakyat miskin) melawan borjuis (orang kaya, kapitalis), kapbir (kapitalis birokrat), tujuh setan desa, setan-setan kota, dll (dan lupa lagi).
Mahasiswa,yang tentu saja berdarah muda, tentu senang dengan ideologi-ideologi yang menantang seperti itu, apalagi dikemas dengan acara-acara wisata bersama, malam kesenian, dsb. Musuhmusuh CGMI adalah organisasi- organisasi mahasiswa keagamaan (HMI, GMM, PMII, ketiganya Islam; PKRI,Katolik dan GMKI,Kristen) serta Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta, yang sering diplesetkan: Ikatan Mahasiswa Dansa).
Di dunia demokratis, agitprop berkonotasi negatif karena dianggap melanggar HAM (kebebasan berpendapat),bersifat memaksakan kehendak, dan mengajak orang untuk tidak rasional.Dalam agitprop, emosi yang paling penting.Tapi di masa itu metode agitprop ini efektif luar biasa.Apalagi ketika itu bangsa Indonesia punya agitator paling jagoan yang bernama Bung Karno.
Dengan pidatonya yang berapi-api, Bung Karno bisa memerintahkan bangsa Indonesia merebut Irian Barat (walaupun dengan kelengkapan militer seadanya) dan mengganyang Malaysia, walaupun banyak orang tidak paham kenapa Malaysia harus diganyang (arti harfiahnya: dimakan). Di sisi lain,walaupun namanya bukan agitprop, teknik menjual ide dan mendorong orang untuk melakukan sesuatu guna merealisasi ide itu hari ini sudah merupakan hal yang biasa dalam ilmu komunikasi.
Propaganda dalam dunia bisnis hari ini adalah marketing, yaitu menawarkan produk dengan segala keunggulannya. Agitasi adalah iklan-iklan di televisi atau imbauan para salesman dari rumah ke rumah atau rayuan-rayuan gombal para SPG kutilang darat (kurus tinggi langsing dada rata) di pameran-pameran automotif atau SMS KTA (kredit tanpa ampun) yang menjanjikan bunga bank 0%. Di dunia politik hari ini kita sudah terbiasa dengan kampanye pemilu, pilpres atau pilkada. Itulah propaganda.
Dilanjutkan dengan ancaman-ancaman atau janji-janji terselubung atau terang-terangan, termasuk “serangan fajar”. Itulah agitasi. Dalam demo-demo juga ada agitator atau yang lebih dikenal dengan istilah provokator atau dengan istilah kerennya disebut korlap (koordinator lapangan), yang tugasnya adalah menyemangati terus massa agar lebih beringas dan beringas lagi untuk melawan polisi-polisi yang tadinya alim tapi bisa berubah jadi berangasan.
Siaran-siaran talk showsTV berikut para pakarnya yang terus-menerus menjelekjelekkan pemerintah dan menghasut penonton untuk berbuat sesuatu guna menjatuhkan SBYBoed juga tergolong agitator canggih.Buktinya opini publik sangat terpengaruh dan ketika diperlukan tindakan konkret (seperti turun ke jalan) banyak yang siap untuk ikut.Jalan-jalan dan kantor-kantor pemerintah (termasuk Gedung DPR/MPR dan Istana Presiden) dipenuhi massa yang berhadap-hadapan dengan polisi yang kepalanya sudah penuh dengan doktrin-doktrin HAM.
Ketika polisi yang sudah berideologi HAM itu dituding melanggar HAM dan karenanya boleh dizalimi,polisi malah mengamini.Setiap ada tudingan polisi melanggar HAM, polisi hanya mencoba membantah. Ada seorang kapolres ketika dituduh mahasiswa telah mengirim intel ke kampus buru-buru membantah, “Tidak ada intel di kampus.” Kalau sudah terdesak, misalnya bahwa memang ada anggota polisi yang memukuli mahasiswa, polisi malah mengakui kesalahan dan berjanji akan menghukum anggota (bukan sekadar oknum lagi) yang bersalah.
Paling-paling polisi hanya meminta pengertian masyarakat bahwa polisi juga manusia. Namun meminta pengertian atau mengimbau bukan cara yang baik.Polisi akan makin terpurukkalaubercitra diriseperti itu. Polisi lambat laun akan jadi percaya sendiri bahwa memang polisi itu jahat, serbasalah,dan serbatidak bisa. Seperti anak kecil yang oleh mamanya setiap hari dibilang “nakal”, dia bisa jadi anak dan orang dewasa yang nakal betulan.
Para perwira yang merasa diri salah dan pelanggar HAM, di lapangan akan ragu-ragu bertindak, akibatnya anggota serbasalah. Maju kena, mundur kena.Apalagi ada beberapa perwira lapangan yang karena ketakutan berbuat kesalahan malah cuci tangan kalau ada anggota berbuat yang dianggap oleh publik sebagai melanggar HAM. Padahal sebenarnya tugas polisi adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban.
Ketika massa sudah anarkistis dan membahayakan jiwa orang lain, apalagi membahayakan jiwa anggota polisi sendiri, seperti menggunakan cairan kimia, polisi berhak melumpuhkan si pelaku, termasuk dengan menembaknya dengan peluru tajam. Hal ini sudah dipraktikkan untuk memberantas terorisme. Hari ini bom-bom masih terus berlanjut di Indonesia (seperti di Irak atau di Pakistan) kalau Densus 88 tidak menangkapi, bahkan menewaskan orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku.
Tapi dalam pengendalian kerusuhan massa, praktik tegas seperti ini belum dilaksanakan. Patutlah kalau unras (unjuk rasa) makin lama makin anarkistis. Saya bukan ahli hukum, tetapi setiap anggota polisi tahu pasal-pasal yang saya maksud. Maka di sinilah perlunya fungsi agitprop untuk Humas Polri.Tentu saja namanya tidak usah agitprop.Tapi salah satu tugas Divisi Humas Polri adalah mempropagandakan bahwa Polri adalah pelindung masyarakat, penjaga ketertiban, dan penegak hukum.
Artinya kalau ada yang mengancam keamanan masyarakat atau melanggar hukum, polisi berhak bertindak tegas. Di sini HAM tidak berlaku karena kepentingan masyarakat yang lebih luas harus diberi prioritas. Masyarakat lebih berhak dilindungi haknya ketimbang pendemo yang anarkistis. Bersamaan dengan propaganda diperlukan upaya sistematis untuk mengagitasi masyarakat untuk memusuhi semua bentuk unjuk rasa yang anarkistis.
Perang pendapat harus dilakukan melalui media-media yang digunakan oleh “lawan”, termasuk media sosial (Twitter, Facebook, dll), media massa (tv, radio, koran, dll), dan media intergrup serta interpersonal. Semua ini belum pernah terpikirkan oleh Polri, tetapi Polri akan terpuruk terus selama pihak pendemo menggunakan prinsip “tujuan menghalalkan cara”, suatu prinsip perjuangan yang juga dianut oleh PKI dan ormas-ormas anteknya.
Tentunya Polri tidak harus menghalalkan semua cara demi kamtibmas.Tapi Polri harus lebih kreatif dalam teknologi dan metodologi kehumasannya jika hendak kembali pada fungsinya yang seusai dengan undang-undang. ●
Pada 1965, saya rasa jumlah mereka di UI banyak sekali, termasuk beberapa teman saya yang kemudian (pasca-G-30-S) di-DO (dropout) oleh tim screening bentukan Dewan Mahasiswa UI. Pertumbuhan jumlah anggota yang begitu cepat, saya yakin, tidaklepasdariprogramPKI yang disebut agitprop. Singkatan dari agitasi dan propaganda. Istilah ini diadopsi dari bahasa Rusia untuk menamakan sebuah kementerian di pemerintahan Uni Soviet ketika itu. Propaganda berarti mempromosikan ideologi.
Agitasi adalah upaya secara sistematis memengaruhi massa untuk bertindak tertentu dengan cara membangkitkan emosi massa untuk merealisasi ideologi itu. Slogan-slogan yang digunakan saat itu, seingat saya lagi, adalah proletar (rakyat miskin) melawan borjuis (orang kaya, kapitalis), kapbir (kapitalis birokrat), tujuh setan desa, setan-setan kota, dll (dan lupa lagi).
Mahasiswa,yang tentu saja berdarah muda, tentu senang dengan ideologi-ideologi yang menantang seperti itu, apalagi dikemas dengan acara-acara wisata bersama, malam kesenian, dsb. Musuhmusuh CGMI adalah organisasi- organisasi mahasiswa keagamaan (HMI, GMM, PMII, ketiganya Islam; PKRI,Katolik dan GMKI,Kristen) serta Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta, yang sering diplesetkan: Ikatan Mahasiswa Dansa).
Di dunia demokratis, agitprop berkonotasi negatif karena dianggap melanggar HAM (kebebasan berpendapat),bersifat memaksakan kehendak, dan mengajak orang untuk tidak rasional.Dalam agitprop, emosi yang paling penting.Tapi di masa itu metode agitprop ini efektif luar biasa.Apalagi ketika itu bangsa Indonesia punya agitator paling jagoan yang bernama Bung Karno.
Dengan pidatonya yang berapi-api, Bung Karno bisa memerintahkan bangsa Indonesia merebut Irian Barat (walaupun dengan kelengkapan militer seadanya) dan mengganyang Malaysia, walaupun banyak orang tidak paham kenapa Malaysia harus diganyang (arti harfiahnya: dimakan). Di sisi lain,walaupun namanya bukan agitprop, teknik menjual ide dan mendorong orang untuk melakukan sesuatu guna merealisasi ide itu hari ini sudah merupakan hal yang biasa dalam ilmu komunikasi.
Propaganda dalam dunia bisnis hari ini adalah marketing, yaitu menawarkan produk dengan segala keunggulannya. Agitasi adalah iklan-iklan di televisi atau imbauan para salesman dari rumah ke rumah atau rayuan-rayuan gombal para SPG kutilang darat (kurus tinggi langsing dada rata) di pameran-pameran automotif atau SMS KTA (kredit tanpa ampun) yang menjanjikan bunga bank 0%. Di dunia politik hari ini kita sudah terbiasa dengan kampanye pemilu, pilpres atau pilkada. Itulah propaganda.
Dilanjutkan dengan ancaman-ancaman atau janji-janji terselubung atau terang-terangan, termasuk “serangan fajar”. Itulah agitasi. Dalam demo-demo juga ada agitator atau yang lebih dikenal dengan istilah provokator atau dengan istilah kerennya disebut korlap (koordinator lapangan), yang tugasnya adalah menyemangati terus massa agar lebih beringas dan beringas lagi untuk melawan polisi-polisi yang tadinya alim tapi bisa berubah jadi berangasan.
Siaran-siaran talk showsTV berikut para pakarnya yang terus-menerus menjelekjelekkan pemerintah dan menghasut penonton untuk berbuat sesuatu guna menjatuhkan SBYBoed juga tergolong agitator canggih.Buktinya opini publik sangat terpengaruh dan ketika diperlukan tindakan konkret (seperti turun ke jalan) banyak yang siap untuk ikut.Jalan-jalan dan kantor-kantor pemerintah (termasuk Gedung DPR/MPR dan Istana Presiden) dipenuhi massa yang berhadap-hadapan dengan polisi yang kepalanya sudah penuh dengan doktrin-doktrin HAM.
Ketika polisi yang sudah berideologi HAM itu dituding melanggar HAM dan karenanya boleh dizalimi,polisi malah mengamini.Setiap ada tudingan polisi melanggar HAM, polisi hanya mencoba membantah. Ada seorang kapolres ketika dituduh mahasiswa telah mengirim intel ke kampus buru-buru membantah, “Tidak ada intel di kampus.” Kalau sudah terdesak, misalnya bahwa memang ada anggota polisi yang memukuli mahasiswa, polisi malah mengakui kesalahan dan berjanji akan menghukum anggota (bukan sekadar oknum lagi) yang bersalah.
Paling-paling polisi hanya meminta pengertian masyarakat bahwa polisi juga manusia. Namun meminta pengertian atau mengimbau bukan cara yang baik.Polisi akan makin terpurukkalaubercitra diriseperti itu. Polisi lambat laun akan jadi percaya sendiri bahwa memang polisi itu jahat, serbasalah,dan serbatidak bisa. Seperti anak kecil yang oleh mamanya setiap hari dibilang “nakal”, dia bisa jadi anak dan orang dewasa yang nakal betulan.
Para perwira yang merasa diri salah dan pelanggar HAM, di lapangan akan ragu-ragu bertindak, akibatnya anggota serbasalah. Maju kena, mundur kena.Apalagi ada beberapa perwira lapangan yang karena ketakutan berbuat kesalahan malah cuci tangan kalau ada anggota berbuat yang dianggap oleh publik sebagai melanggar HAM. Padahal sebenarnya tugas polisi adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban.
Ketika massa sudah anarkistis dan membahayakan jiwa orang lain, apalagi membahayakan jiwa anggota polisi sendiri, seperti menggunakan cairan kimia, polisi berhak melumpuhkan si pelaku, termasuk dengan menembaknya dengan peluru tajam. Hal ini sudah dipraktikkan untuk memberantas terorisme. Hari ini bom-bom masih terus berlanjut di Indonesia (seperti di Irak atau di Pakistan) kalau Densus 88 tidak menangkapi, bahkan menewaskan orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku.
Tapi dalam pengendalian kerusuhan massa, praktik tegas seperti ini belum dilaksanakan. Patutlah kalau unras (unjuk rasa) makin lama makin anarkistis. Saya bukan ahli hukum, tetapi setiap anggota polisi tahu pasal-pasal yang saya maksud. Maka di sinilah perlunya fungsi agitprop untuk Humas Polri.Tentu saja namanya tidak usah agitprop.Tapi salah satu tugas Divisi Humas Polri adalah mempropagandakan bahwa Polri adalah pelindung masyarakat, penjaga ketertiban, dan penegak hukum.
Artinya kalau ada yang mengancam keamanan masyarakat atau melanggar hukum, polisi berhak bertindak tegas. Di sini HAM tidak berlaku karena kepentingan masyarakat yang lebih luas harus diberi prioritas. Masyarakat lebih berhak dilindungi haknya ketimbang pendemo yang anarkistis. Bersamaan dengan propaganda diperlukan upaya sistematis untuk mengagitasi masyarakat untuk memusuhi semua bentuk unjuk rasa yang anarkistis.
Perang pendapat harus dilakukan melalui media-media yang digunakan oleh “lawan”, termasuk media sosial (Twitter, Facebook, dll), media massa (tv, radio, koran, dll), dan media intergrup serta interpersonal. Semua ini belum pernah terpikirkan oleh Polri, tetapi Polri akan terpuruk terus selama pihak pendemo menggunakan prinsip “tujuan menghalalkan cara”, suatu prinsip perjuangan yang juga dianut oleh PKI dan ormas-ormas anteknya.
Tentunya Polri tidak harus menghalalkan semua cara demi kamtibmas.Tapi Polri harus lebih kreatif dalam teknologi dan metodologi kehumasannya jika hendak kembali pada fungsinya yang seusai dengan undang-undang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar