Selasa, 17 April 2012

Demokrasi Buto Cakil


Demokrasi Buto Cakil
J. Kristiadi, Peneliti Senior CSIS
SUMBER : KOMPAS, 17 April 2012



Bulan depan, pertengahan Mei 2012, adalah tahun ke-14 pasca-terjadinya peristiwa yang membuat luka batin bangsa Indonesia. Namun, petaka yang amat memilukan itu ternyata dapat menggerakkan bangsa Indonesia mengubah bencana menjadi energi nasional yang mampu menjungkirbalikkan rezim kekuasaan yang represif. Pada saat bersamaan, bangsa Indonesia memperoleh kesempatan untuk bangkit dan memahat tatanan kekuasaan yang beradab.

Sejarah peradaban umat manusia memang merupakan pergumulan antara tragedi dan peradaban. Kebudayaan ternyata tidak hanya dibangun atas dasar ide-ide besar yang cemerlang dan mulia, tetapi sering kali juga harus melalui berbagai tragedi yang mengiris hati (Charles Segal, 1981, Tragedy and Civilization).

Dalam sekejap, tatanan kekuasaan Indonesia berubah. Kendali kekuasaan negara yang semula hanya di tangan segelintir elite, atas nama reformasi dan demokrasi, menjadi kapling-kapling politik yang dijadikan medan pertarungan kepentingan elite politik baru. Kebebasan menjadi mantra yang tidak jarang menjadi kekuatan anarkis yang mulai sulit dikendalikan.

Namun, di balik ingar-bingar demokrasi, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tetap menjadi penonton. Bahkan, mereka diperlakukan sebagai kasta yang selalu menjadi obyek, komoditas politik, dan korban oleh perilaku sesat para elite politik. Benih-benih peradaban politik diinjak-injak oleh elite politik yang mengatasnamakan rakyat. Oleh karena itu, sinar yang memancar dari keterbukaan politik, sebagai lentera penuntun ke arah tatanan kekuasaan yang beradab, semakin meredup.

Manajemen kekuasaan yang salah urus mengakibatkan rakyat tetap diimpit kesulitan hidup. Karena itu, rakyat semakin meragukan demokrasi yang selalu didengungkan sebagai bangunan politik yang memuliakan kekuasaan, dapat dijadikan sarana mewujudkan kemakmuran dan keadilan.

Rakyat justru menyaksikan jagat politik Indonesia keruh lebih dari satu dasawarsa karena tercemar perselingkuhan transaksi kepentingan dan politik dagang sapi. Akibat perilaku politik serong itu, lahirlah ribuan makhluk politik yang mempunyai karakter dan perilaku Buto Cakil yang mendominasi makrokosmos perpolitikan di Indonesia.

Konon, tokoh raksasa ceking bergigi mencuat ke atas, berdagu maju, dan mempunyai watak angkara murka itu diciptakan pada zaman pemerintahan Sultan Agung. Kemunculannya dalam pewayangan disebut adegan cakilan, sekadar meramaikan suasana karena ia bukan bagian dari pakem dalam lakon apa pun. Kehadirannya selalu diikuti dengan kematian, sangat cepat. Biasanya Buto Cakil berkelahi dengan kesatria dan berakhir tragis karena gerakannya tidak terkontrol, takabur, pongah, dan terburu nafsu sehingga ia mati tertikam kerisnya sendiri. Ia menjadi lambang seseorang yang sering kena petaka karena watak dan perilakunya yang serakah dan grusa-grusu.

Apa yang terjadi dalam jagat pakeliran tidak banyak berbeda dengan dunia politik di Indonesia dewasa ini. Bedanya, tampilan fisik para Buto Cakil di negeri ini lebih tampan dan cantik, kelimis, berbusana mewah, berperilaku santun, murah senyum, serta kadang kala bersikap dermawan. Namun, watak dan perilaku mereka seperti Buto Cakil dalam mengejar kenikmatan kekuasaan.

Agresivitas dan libido kekuasaan mereka dapat dipastikan semakin menggila menjelang kompetisi akbar memperebutkan kekuasaan tahun 2014. Gejala tersebut sudah sangat kasatmata, hampir semua kebijakan publik bermuatan agenda interes politik kelompok sempit. Mereka juga seakan adu cepat mengajukan jago-jago mereka meski masih berlumpur berbagai persoalan.

Politik mati rasa para Buto Cakil tersebut mengakibatkan masyarakat merindukan kembali rezim kekuasaan yang 14 tahun dikutuk dan dicerca karena memonopoli kebenaran. Memori publik dengan cepat digoda oleh kenangan sensasional dan fatamorgana rezim masa lalu yang dianggap bisa menjamin tersedianya kebutuhan dasar yang terjangkau. Impian tersebut sangat berbahaya karena rezim yang represif dan otoriter tidak hanya memproduksi banyak Buto Cakil, tetapi juga akan menciptakan berhala yang bernama Rahwono yang sangat sakti dan tidak dapat mati. Ia adalah raksasa berkepala 10 dan bertangan 20 yang jauh lebih serakah daripada Buto Cakil.

Oleh sebab itu, saat ini seluruh rakyat Indonesia justru harus mengonsolidasikan diri melawan para Buto Cakil. Jangan pernah tergoda dengan mimpi yang menyesatkan. Bangsa Indonesia mempunyai modal kesejarahan yang dapat menjadi fondasi kehidupan yang lebih baik sehingga telah mampu mengukir pakemnya sendiri sebagai bangsa yang mempunyai cita-cita luhur. Episode ini pasti akan dilampaui, sebagaimana pesan dari kearifan lokal di atas karena kesemrawutan politik di negeri tercinta ini hanya sementara, sebagaimana adegan cakilan dalam jagat pakeliran.

Namun, dengan syarat bangsa Indonesia harus mampu menciptakan kesatria pembela rakyat, tahan terhadap godaan kekuasaan, dan berpolitik karena panggilan hidup. Rakyat juga tidak boleh menyerah membangun kekuatan yang dapat memaksa para Buto Cakil bertekuk lutut memenuhi kehendak rakyat. Kekuatan rakyat yang terbukti mampu membangun energi nasional harus dapat pula membuktikan mampu membangun peradaban politik yang amanah bagi kepentingan rakyat banyak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar