APBN-P 2012,
Cermin Kepanikan atau Realitas?
Sonny Harry B Harmadi, Kepala Lembaga Demografi dan staf pengajar
tetap FEUI
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 23 April 2012
“Berbagai perubahan asumsi dasar ekonomi
makro dalam APBN-P 2012 menunjukkan perekonomian global belum juga membaik.
Namun, satu hal yang perlu kita sadari bahwa ternyata APBN-P 2012 tidak
fleksibel akibat peruntukan belanja yang `kaku'."
PEMBAHASAN
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2012 telah
berakhir pada 31 Maret lalu. Namun, perdebatan tentang penaikan harga BBM
bersubsidi pada Rapat Paripurna DPR ternyata lebih menjadi isu besar ketimbang
agenda utama, yaitu penetapan APBN-P 2012.
Pemerintah
tampaknya menyadari adanya sinyal kurang menguntungkan dari perekonomian global
yang dapat berimbas pada melesetnya beberapa asumsi dasar ekonomi makro 2012.
Oleh karena itu, pemerintah beranggapan bahwa APBN 2012 yang telah ditetapkan
tahun lalu tidak lagi sesuai dengan kondisi yang ada dan segera membutuhkan
perubahan. Apakah pemerintah sedang mengalami kepanikan? Ataukah realitas yang
ada memang ‘memaksa’ pemerintah untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang
dianggap perlu? Hal-hal apa saja yang perlu kita cermati dalam APBN-P 2012?
Perubahan Asumsi Dasar
APBN
2012 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,7% pada 2012.
Indonesia diperkirakan akan mengalami pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan
ekonomi dunia yang hanya 4,0% (IMF). Namun, IMF pada Januari 2012 mengoreksi
proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi hanya 3,3%. Rendahnya laju
pertumbuhan ekonomi dunia dipicu kontraksi ekonomi Eropa yang diperkirakan
mencapai -0,5%. Pemerintah China bahkan ikut merevisi proyeksi pertumbuhan
ekonomi mereka pada Maret 2012 dari 8,0% menjadi 7,5%. India di waktu yang
hampir bersamaan mengoreksi proyeksi pertumbuhan mereka dari 7,5% menjadi 6,9%.
Dunia
belum mampu lepas dari krisis. Tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia
menangkap sinyal itu dengan mengubah asumsi dasar pertumbuhan ekonomi.
Dalam
APBN-P 2012, pemerintah menurunkan asumsi pertumbuhan ekonomi menjadi 6,5%.
Tampaknya pemerintah terlalu optimistis dengan hal itu, mengingat Bank Dunia
memperkirakan pertumbuh an ekonomi Indonesia hanya akan mencapai 6,2%. IMF
bahkan lebih pesimistis dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
diperkirakan mencapai 6,1%. Untuk mencapai target pertumbuhan 6,5%, tentunya
dibutuhkan upaya ekstra dalam bentuk counter
cyclical akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan turunnya
permintaan ekspor dari Indonesia.
Krisis
global diperparah munculnya beberapa masalah geopolitik di Sudan, Suriah, dan
Yaman. Ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz menciptakan tekanan terhadap
peningkatan harga minyak dunia. Selat Hormuz menjadi jalur distribusi seperenam
minyak mentah global. Dampaknya harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) juga terus
tertekan dan mengalami kenaikan. APBN 2012 mengasumsikan ICP hanya sebesar
US$90 per barel. Padahal kenyataannya, selama periode Januari 2012 hingga Maret
2012, rata-rata ICP sudah mencapai US$122 per barel. Artinya, terjadi deviasi
sebesar 35,5% dari asumsi awal.
Dalam
APBN-P 2012, pemerintah menaikkan asumsi ICP menjadi US$105 per barel. Itu
sebenarnya juga terlalu optimistis mengingat belum ada tanda-tanda kepastian
akan turunnya harga minyak dunia. Realisasi ICP terakhir dengan angka di bawah
US$105 per barel terjadi pada Februari 2011 yang lalu. Sejak Maret 2011, harga
minyak mentah Indonesia tidak pernah di bawah US$109,3 per barel.
Kita
tidak perlu terkejut jika dalam realisasi 2012 ini jumlah subsi di BBM akan membengkak
jauh di atas target 137,4 triliun rupiah. Pertama, karena harga minyak tinggi
yang melampaui asumsi, dan yang kedua karena meningkatnya volume konsumsi BBM
bersubsidi akibat disparitas harga dengan BBM nonsubsidi. Dalam APBN-P 2012
disepakati basis perhitungan volume konsumsi BBM bersubsidi hanya 40 juta
kiloliter. Setelah melihat tren realisasi yang ada, pemerintah memperkirakan
konsumsi BBM bersubsidi bisa mencapai 46 juta kiloliter. Itu sama artinya bahwa
pemerintah harus menyediakan tambahan subsidi BBM setiap bulan sebesar Rp5,7
triliun.
Berdasarkan
perkembangan terakhir realisasi lifting minyak Januari 2012 yang hanya mencapai
884 ribu barel per hari, asumsi target lifting dalam APBN 2012 dari yang semula
950 ribu barel per hari oleh pemerintah diturunkan menjadi 930 ribu barel per
hari.
Pemerintah
juga menaikkan asumsi infl asi dari 5,3% menjadi 6,8%. Itu tidak terlepas dari
efek psikologis di pasar selama periode ‘gonjang-ganjing’ rencana kenaikan
harga BBM bersubsidi. Pengaruh expected
inflation itu sulit dihindari karena pasar sudah telanjur mengantisipasi
rencana penaikan BBM bersubsidi dengan kenaikan harga-harga barang lainnya.
Defisit Anggaran
Berbagai perubahan asumsi dasarekonomi makro menghasilkan
perkiraan defisit anggaran mencapai 190,1 triliun (2,23% produk domestik bruto/PDB).
Defisit anggaran dalam APBN-P 2012 itu lebih besar jika dibandingkan dengan
APBN 2012 yang hanya sebesar 124 triliun (1,5% PDB). Bagaimanapun juga pemerintah
harus berupaya untuk menjaga fiscal sustainability dengan mencegah defisit
anggaran tetap di bawah 3% dari PDB. Pengendalian rasio defisit terhadap PDB menyangkut
kemampuan menghimpun dana masyarakat untuk menu tupi defisit yang ada. Hal itu
mengingat sebagian besar pembiayaan defisit anggaran menurut skema pemerintah
diharapkan berasal dari pembiayaan dalam negeri.
Jika
volume konsumsi BBM bersubsidi melebihi 46 melebihi 46 juta kiloli ter, defisit
anggaran bisa melampaui 3% dari PDB yang artinya melam paui batas aman
kesinambungan fiskal. Konsekuen sinya akan terjadi pelanggaran terhadap
Undang-Undang No 17/2003 ten tang Keuangan Negara yang membatasi defisit
nggaran maksimal 3% dari PDB. Beban subsidi semakin berat mengingat lifting minyak
gagal mencapai target. Realisasi rata-rata lifting minyak periode Desember 2010
hingga November 2011 hanya mencapai 899 ribu barel per hari, atau jauh lebih
rendah daripada asumsi APBN-P 2012 sebesar 930 ribu barel per hari.
Struktur Belanja
Dalam
struktur APBN-P 2012, porsi belanja modal hanya mencapai 16% dari keseluruhan
belanja pemerintah pusat. Itu lebih rendah daripada belanja pegawai yang
mencapai 20% dan subsidi sebesar 24%. Hampir 83% alokasi subsidi digunakan
untuk subsidi BBM dan listrik.
Realitas
menunjukkan pemerintah menghadapi dilema akibat kurangnya fleksibilitas dalam
belanja negara. Tidak fleksibelnya anggaran dapat disebabkan dua hal, yaitu
secara teknis karena adanya `pemagaran' alokasi anggaran dan secara politis
karena proses persetujuan anggaran yang melibatkan lobi politik di dewan
perwakilan rakyat (DPR).
Belanja
negara terdiri dari dua jenis, yaitu belanja pemerintah pusat dan transfer ke
daerah. Pemerintah tidak memiliki banyak keleluasaan dalam pos transfer ke
daerah. Untuk belanja pemerintah pusat, sebagian besar harus digunakan untuk
tiga jenis alokasi, yaitu belanja pegawai, subsidi, dan anggaran pendidikan.
Sesuai
dengan amanat konstitusi, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN. Perlu
disadari pemerintah dan kita semua bahwa jika subsidi BBM tiba-tiba membengkak
akibat kenaikan ICP dan volume konsumsi BBM bersubsidi, di saat yang bersamaan,
alokasi anggaran untuk pendidikan pun harus meningkat. Tanpa peningkatan
alokasi anggaran, terancam proporsi anggaran pendidik an di bawah 20% APBN dan
terjadi pelanggaran terhadap konstitusi.
Porsi
bantuan sosial (seperti program keluarga harapan, jaminan persalinan, dan
berbagai program kesejahteraan lainnya) dalam APBN-P 2012 yang hanya sebesar 5%
menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, kurangnya komitmen untuk mengatasi
permasalahan kesejahteraan penduduk. Kedua, pemerintah sebenarnya terjebak
kebingungan karena tidak dapat fl eksibel dalam alokasi anggaran.
Perdebatan
dalam APBN tidak boleh melupakan makna pembangunan yang sebenarnya, yaitu
peningkatan kualitas hidup penduduk. Kita juga tidak seharusnya hanya fokus
pada isu subsidi BBM saja, tetapi lebih memaknai esensi APBN-P 2012 dalam
perspektif kesejahteraan jangka panjang meskipun terdapat fakta bahwa besarnya
subsidi BBM akan membebani anggaran.
Target
pencapaian MDGs tersisa kurang dari tiga tahun lagi. Pada 2015 Indonesia
bersama negara-negara lain di dunia berkomitmen mencapai target untuk delapan
tujuan pembangunan milenium. Perhatian terhadap pencapaian MDGs dalam alokasi
anggaran kali ini tampaknya terabaikan. Pembahasan APBN perubahan tidak banyak
menyentuh isu pencapaian MDGs. Padahal setidaknya terdapat empat indikator yang
sulit untuk dicapai serta membutuhkan komitmen anggaran pemerintah yang cukup
besar, yaitu angka kematian ibu, sanitasi, penanggulangan HIV/AIDS dan penyakit
menular lainnya, serta permasalahan lingkungan.
Berbagai
perubahan asumsi dasar ekonomi makro dalam APBN-P 2012 menunjukkan perekonomian
global belum juga membaik. Namun, satu hal yang perlu kita sadari bahwa
ternyata APBN-P 2012 tidak fleksibel akibat peruntukan belanja yang ‘kaku’.
Bayangkan saja jika suatu saat anggaran kesehatan, perumahan, perhubungan,
pertanian, dan sebagainya ditetapkan harus mencapai persentase tertentu dari
APBN, tidak akan ada keleluasaan dalam penetapan APBN. Masalah fleksibilitas
anggaran yang cenderung ‘kaku’ perlu diselesaikan secara serius untuk
menghindari buruknya efektivitas dan efi siensi anggaran serta menjaga
kesinambungan fiskal di masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar