Darurat
Profesi Hakim
Achmad Fauzi, Hakim
Pengadilan Agama Kotabaru (Kalsel) dan alumnus UII Jogjakarta
SUMBER
: JAWA POS, 23 April 2012
INDONESIA kehilangan sosok hakim
progresif. Mantan hakim agung Bismar Siregar wafat di usia 84 tahun pada Kamis
(19/4) pukul 12.25 di ruang ICCU Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan.
Keteladanan pemikirannya dalam pembaruan hukum tak terbantahkan lagi. Hukum di
tangannya seperti hidup mengikuti urat nadi perkembangan zaman. Namun,
kepergian almarhum seiring dengan gelombang kegelisahan kelompok hakim
progresif tanah air atas kondisi darurat profesi hakim, yang saat ini tak lagi
diminati.
Karena itu, profesi hakim harus diselamatkan. Sifatnya penting dan segera. Mirip amar putusan pengadilan yang wajib dipatuhi. Caranya tak rumit: Sejahterakan hakim sebagai pejabat negara dan revitalisasi perguruan tinggi (fakultas hukum) agar tetap taat terhadap darmanya.
Isu kesejahteraan hakim di negeri ini menjadi ironi. Di saat hakim di negara maju ribut-ribut menuntut jaminan keamanan dalam bersidang maupun di luar kedinasan, hakim di Indonesia masih berkutat pada persoalan hak dasar, misalnya pemenuhan gaji yang memadai, rumah dinas, dan tunjangan jabatan. Negara sebenarnya tidak akan bangkrut hanya karena menaikkan kesejahteraan hakim. Persoalannya, penyelenggara pemerintahan kurang cermat memprioritaskan pengelolaan keuangan negara.
FH, Dekatilah Realitas
Ini sekaligus tanggung jawab akademis perguruan tinggi (PT) untuk menanamkan rasa bangga atas profesi hakim. Fakultas hukum adalah kawah candradimuka tempat lahirnya para calon hakim berkarakter, tangguh, dan berkualitas.
Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Supremasi Hukum dalam Negara-Negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru, Kajian Filosofis (2000) mengatakan bahwa pendidikan harus mengarah ke dua aspek. Pertama, pendidikan untuk membekali pengetahuan akademis, keterampilan profesional, dan kepatuhan terhadap kaidah ilmu. Kedua, pendidikan membentuk watak menjadi sarjana yang komitmen terhadap kepentingan publik.
Fakultas hukum sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi terikat tridarma pendidikan tinggi, yakni menyelenggarakan pembelajaran yang bersifat keilmuan serta melakukan penelitian dan pengabdian terhadap masyarakat. Darma pengajaran memiliki implikasi terhadap kualitas alumni (output). Seberapa baik output yang dihasilkan, seperti itulah gambaran mengenai pelaksanaan darma pengajaran.
Ada banyak faktor yang turut mendukung peningkatan kadar keluaran pendidikan hukum. Yakni, kurikulum (struktur pengajaran, metode pengajaran, substansi pengajaran, dan administrasi pengajaran), kompetensi pengajar (dosen), sarana dan prasarana, mahasiswa, serta lingkungan sosial yang mengitarinya.
Sistem kurikulum yang disoriented, tenaga pengajar yang kurang kompeten, sarana yang kurang memadai, serta kondisi sosial yang tidak mendukung akan melahirkan keluaran pendidikan hukum yang pas-pasan. Di sini tergambar bahwa cita-cita ideal untuk membangun negara hukum (rechtstaats) dengan putusan-putusan yang bermartabat dan berkeadilan harus berangkat dari hulu persoalan. Yakni, revitalisasi pendidikan agar menunjang tugas pokok hakim. Pengajaran bukannya bersifat tekstual dan doktrinal, melainkan menekankan aspek-aspek riil di dunia peradilan.
Ingat, hakim dalam mengadili tidak semata-mata mempertemukan suatu peristiwa hukum dengan aturan hukum tertentu. Hakim wajib menggali dan menemukan hukum baru yang hidup dan berkembang serta memperhatikan kemajemukan sosial, budaya, dan pendidikan sehingga lebih menjamin kemaslahatan bagi masyarakat pencari keadilan. Dengan kata lain, untuk setiap pengambilan keputusan, hakim memadukan peristiwa hukum, aturan hukum, dan realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Akrabkan dengan Peradilan
Darma penelitian adalah mesin bagi perguruan tinggi untuk melakukan perubahan. Penelitian meliputi penelitian murni dan terapan. Dalam masyarakat ilmiah, penelitian murni selalu diidentikkan dengan upaya pengembangan ilmu semata. Asumsi itu tidak tepat karena peran penelitian murni tidak kalah oleh penelitian terapan. Filsafat adalah hasil penelitian murni. Namun, hasil penelitian filsafat banyak memberikan perubahan bagi tatanan peradaban dunia.
Dalam konteks itu, fakultas hukum punya peluang melakukan penelitian atas produk pengadilan. Namun, semangat tersebut harus nihil dari upaya revisi dan intervensi putusan hakim. Sebab, upaya otoritas kelompok ilmiah merevisi produk yudisial bisa mengancam imunitas dan kebebasan hakim dalam memutus perkara yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaan lembaga peradilan sebagai kekuasaan yang merdeka. Penelitian itu hanya sebagai materi pembelajaran internal agar para penempuh profesi hakim punya bekal memadai dan terlatih menghadapi suatu kasus.
Dissenting opinion atau penulisan pendapat hakim yang berbeda dalam merumuskan putusan juga merupakan hal menarik bagi fakultas hukum untuk dijadikan objek penelitian. Perbedaan pendapat dalam mempertimbangkan putusan dapat ditarik ke meja kajian ilmiah guna pengembangan pendidikan hukum sehingga dirasakan manfaatnya, khususnya bagi mahasiswa yang ingin menjadi hakim.
Darma pengabdian kepada masyarakat harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang punya relevansi dengan pengembangan hukum. Selama ini, pengabdian perguruan tinggi (PT) lebih condong ke kegiatan sosial. Misalnya, menyelenggarakan sunat masal, gotong royong membangun tempat ibadah, menghelat pasar murah, serta turut membantu menangani korban bencana alam. Kegiatan tersebut sejatinya tergolong baik, namun tidak sinambung dengan bidang garap dan tugas-tugas peradilan.
Sudah saatnya fakultas hukum mendekonstruksi bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Bukan lagi dalam bentuk kegiatan sosial an sich, melainkan kegiatan sosial bersifat keilmuan yang berkelindan dengan tugas-tugas pokok profesi hakim.
Akhirulkalam, peran pemerintah dan PT menjadi penentu profesi hakim agar lorong gelap profesi hakim kembali tersinari oleh lahirnya manusia pilihan yang berintegritas moral dan intelektual tinggi seperti sosok Bismar Siregar. ●
Karena itu, profesi hakim harus diselamatkan. Sifatnya penting dan segera. Mirip amar putusan pengadilan yang wajib dipatuhi. Caranya tak rumit: Sejahterakan hakim sebagai pejabat negara dan revitalisasi perguruan tinggi (fakultas hukum) agar tetap taat terhadap darmanya.
Isu kesejahteraan hakim di negeri ini menjadi ironi. Di saat hakim di negara maju ribut-ribut menuntut jaminan keamanan dalam bersidang maupun di luar kedinasan, hakim di Indonesia masih berkutat pada persoalan hak dasar, misalnya pemenuhan gaji yang memadai, rumah dinas, dan tunjangan jabatan. Negara sebenarnya tidak akan bangkrut hanya karena menaikkan kesejahteraan hakim. Persoalannya, penyelenggara pemerintahan kurang cermat memprioritaskan pengelolaan keuangan negara.
FH, Dekatilah Realitas
Ini sekaligus tanggung jawab akademis perguruan tinggi (PT) untuk menanamkan rasa bangga atas profesi hakim. Fakultas hukum adalah kawah candradimuka tempat lahirnya para calon hakim berkarakter, tangguh, dan berkualitas.
Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Supremasi Hukum dalam Negara-Negara Demokrasi Menuju Indonesia Baru, Kajian Filosofis (2000) mengatakan bahwa pendidikan harus mengarah ke dua aspek. Pertama, pendidikan untuk membekali pengetahuan akademis, keterampilan profesional, dan kepatuhan terhadap kaidah ilmu. Kedua, pendidikan membentuk watak menjadi sarjana yang komitmen terhadap kepentingan publik.
Fakultas hukum sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi terikat tridarma pendidikan tinggi, yakni menyelenggarakan pembelajaran yang bersifat keilmuan serta melakukan penelitian dan pengabdian terhadap masyarakat. Darma pengajaran memiliki implikasi terhadap kualitas alumni (output). Seberapa baik output yang dihasilkan, seperti itulah gambaran mengenai pelaksanaan darma pengajaran.
Ada banyak faktor yang turut mendukung peningkatan kadar keluaran pendidikan hukum. Yakni, kurikulum (struktur pengajaran, metode pengajaran, substansi pengajaran, dan administrasi pengajaran), kompetensi pengajar (dosen), sarana dan prasarana, mahasiswa, serta lingkungan sosial yang mengitarinya.
Sistem kurikulum yang disoriented, tenaga pengajar yang kurang kompeten, sarana yang kurang memadai, serta kondisi sosial yang tidak mendukung akan melahirkan keluaran pendidikan hukum yang pas-pasan. Di sini tergambar bahwa cita-cita ideal untuk membangun negara hukum (rechtstaats) dengan putusan-putusan yang bermartabat dan berkeadilan harus berangkat dari hulu persoalan. Yakni, revitalisasi pendidikan agar menunjang tugas pokok hakim. Pengajaran bukannya bersifat tekstual dan doktrinal, melainkan menekankan aspek-aspek riil di dunia peradilan.
Ingat, hakim dalam mengadili tidak semata-mata mempertemukan suatu peristiwa hukum dengan aturan hukum tertentu. Hakim wajib menggali dan menemukan hukum baru yang hidup dan berkembang serta memperhatikan kemajemukan sosial, budaya, dan pendidikan sehingga lebih menjamin kemaslahatan bagi masyarakat pencari keadilan. Dengan kata lain, untuk setiap pengambilan keputusan, hakim memadukan peristiwa hukum, aturan hukum, dan realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Akrabkan dengan Peradilan
Darma penelitian adalah mesin bagi perguruan tinggi untuk melakukan perubahan. Penelitian meliputi penelitian murni dan terapan. Dalam masyarakat ilmiah, penelitian murni selalu diidentikkan dengan upaya pengembangan ilmu semata. Asumsi itu tidak tepat karena peran penelitian murni tidak kalah oleh penelitian terapan. Filsafat adalah hasil penelitian murni. Namun, hasil penelitian filsafat banyak memberikan perubahan bagi tatanan peradaban dunia.
Dalam konteks itu, fakultas hukum punya peluang melakukan penelitian atas produk pengadilan. Namun, semangat tersebut harus nihil dari upaya revisi dan intervensi putusan hakim. Sebab, upaya otoritas kelompok ilmiah merevisi produk yudisial bisa mengancam imunitas dan kebebasan hakim dalam memutus perkara yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaan lembaga peradilan sebagai kekuasaan yang merdeka. Penelitian itu hanya sebagai materi pembelajaran internal agar para penempuh profesi hakim punya bekal memadai dan terlatih menghadapi suatu kasus.
Dissenting opinion atau penulisan pendapat hakim yang berbeda dalam merumuskan putusan juga merupakan hal menarik bagi fakultas hukum untuk dijadikan objek penelitian. Perbedaan pendapat dalam mempertimbangkan putusan dapat ditarik ke meja kajian ilmiah guna pengembangan pendidikan hukum sehingga dirasakan manfaatnya, khususnya bagi mahasiswa yang ingin menjadi hakim.
Darma pengabdian kepada masyarakat harus diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang punya relevansi dengan pengembangan hukum. Selama ini, pengabdian perguruan tinggi (PT) lebih condong ke kegiatan sosial. Misalnya, menyelenggarakan sunat masal, gotong royong membangun tempat ibadah, menghelat pasar murah, serta turut membantu menangani korban bencana alam. Kegiatan tersebut sejatinya tergolong baik, namun tidak sinambung dengan bidang garap dan tugas-tugas peradilan.
Sudah saatnya fakultas hukum mendekonstruksi bentuk pengabdian terhadap masyarakat. Bukan lagi dalam bentuk kegiatan sosial an sich, melainkan kegiatan sosial bersifat keilmuan yang berkelindan dengan tugas-tugas pokok profesi hakim.
Akhirulkalam, peran pemerintah dan PT menjadi penentu profesi hakim agar lorong gelap profesi hakim kembali tersinari oleh lahirnya manusia pilihan yang berintegritas moral dan intelektual tinggi seperti sosok Bismar Siregar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar