BBM Jalan Menuju Peta Politik
Supriyadi, Aktivis Sosial, Demonstran Penolak Kenaikan Harga BBM,
Tinggal di Yogyakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 04 April 2012
Benar apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes bahwa seorang atau
kelompok politisi (partai politik/parpol) itu hendaknya seperti ruba yang bisa
memanfaatkan suasana politik dan menerkam mangsa empuk sebagai korbannya.
Bahkan Niccolo Machiavelli mempertegas teori tersebut bahwa seorang politisi
atau kelompok politik harus membabat habis lawan-lawannya demi kekuasaan yang
"abadi".
Begitulah apa yang kini mewarnai perjalanan politik di Indonesia
dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berbagai
parpol bermanuver dengan dua kepentingan, yakni mendapatkan simpati rakyat dan
langkah politik untuk menjadi yang terdepan serta berusaha mengalahkan lawan
politiknya.
Hal itu tercermin dalam sidang paripurna akhir bulan lalu yang
memanas dan menghasilkan keputusan, harga BBM untuk sementara tidak akan naik.
Partai Demokrat (PD) yang terang-terangan mendukung kenaikan harga BBM
mendapatkan perlawanan keras dari berbagai pihak. Sementara, beberapa partai
koalisi membelot dengan dalih mendengarkan aspirasi rakyat dan menyatakan
menolak kenaikan harga BBM.
Dari sidang kenaikan harga BBM tersebut, setidaknya telah jelas
bagaimana pemetaan politik di kancah partai-partai tersebut. Partai-partai
bermanuver sedemikian rupa, sementara massa ricuh dengan suasana demonstrasi.
PD sebagai partai penguasa, sebenarnya telah berhasil memetakan lawan-lawan
politiknya untuk menyongsong pemilihan umum 2014.
Kebijakan untuk menaikkan harga BBM setidaknya memiliki beberapa
orientasi. Pertama, sebagai pengalihan isu. Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya
yang tidak bisa diselesaikan, pastilah kasus baru muncul ke permukaan sebagai
pengalih isu. Ketika kasus hukum sedang panas-panasnya dan menemui jalan buntu,
tiba-tiba isu lain (seperti terorisme) muncul untuk meredam ingatan masyarakat.
Kini pun terjadi, ketika kasus korupsi yang melanda para kader dan anggota
Partai Demokrat, seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum dan
lainnya, menjadi kasus yang tidak menemui solusi, muncullah wacana kenaikan
harga BBM.
Kedua, kebijakan tersebut adalah untuk memetakan perpolitikan
nasional yang belakangan ini tidak jelas karena hampir terpecahnya koalisi
partai-partai. Sebagian partai koalisi membelot dan dengan keras mengkritisi
kebijakan pemerintahan yang dikuasai oleh Partai Demokrat. Hal itu
mengakibatkan ikatan koalisi menjadi berwarna abu-abu. Dengan kebijakan
menaikkan harga BBM yang keputusannya ditempuh melalui sidang, menjadi jelas
peta politiknya. Dengan begitu, untuk menyongsong pemilu pada 2014 mendatang
telah disiapkan berbagai manuver politik.
Ketiga, sebagai manuver berbagai partai untuk meraih simpati
rakyat. Partai-partai politik yang kontra dengan kebijakan kenaikan harga BBM,
secara tegas mengungkapkan bahwa mereka mendegarkan aspirasi rakyat. Alhasil,
manuver mereka adalah menolak kenaikan harga BBM.
Sementara bagi partai yang pro terhadap kebijakan tersebut (partai
penguasa, PD), bermanuver jika suatu saat harga BBM berhasil dinaikkan,
pemerintah akan memberi santunan (BLSM) kepada rakyat sebagai pencitraan. Prediksinya,
pencitraan juga akan dilakukan menyongosong 2014 dengan kembali menurunkan
harga BBM.
Namun demikian, hal ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan
(PD) dalam kancah perpolitikan. Akibat semua hal yang telah diupayakan
tersebut, bisa jadi akan membuat rakyat mengalami krisis kepercayaan terhadap
partai penguasa. Krisis kepercayaan itulah yang berakibat fatal karena akan
menurunkan angka popularitas partai. Ibarat terperosok dalam lubang jebakan
sendiri.
Jika kebijakan kenaikan harga BBM tersebut menjadi peluang bagi
partai politik, tentu sebaliknya bagi rakyat. Rakyat selalu menjadi pihak yang
dikorbankan. Mahasiswa dan berbagai kalangan dari rakyat terpancing untuk
melakukan demonstrasi yang tidak jarang menjadi kericuhan. Selain itu, di
pasaran, harga-harga berbagai kebutuhan telah mengalami kenaikan harga meskipun
untuk sementara waktu harga BBM belum naik.
Rakyat pun juga bisa "berpolitik"
untuk meraup keuntungan, yakni dengan cara menimbun berdrum-drum bensin dan
solar. Bahkan, ada beberapa pejabat yang berada di balik penimbunan tersebut.
Sementara rakyat yang lain justru terlunta-lunta dan semakin sulit menjalani
kehidupannya sehari-hari. Padahal, di negara yang mengaplikasikan demokrasi
sebagai sistemnya, kedaulatan yang sesungguhnya itu berada di tangan rakyat.
Hal itu diperkuat dengan jargon "dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".
Dengan kata lain, rakyat adalah raja di negara demokrasi
sebagaimana posisi raja di negara yang berbentuk kerajaan. Namun demikian, di
negara ini rakyat menjadi alas kaki para pejabat.
Dengan begitu, betapa susahnya menjadi raja (baca: rakyat) di
negara ini. Harta dikuras habis-habisan oleh segelintir orang, sementara rakyat
kesulitan untuk mengais sesuap nasi. Tidak hanya itu, segala kebijakan juga
dibebankan kepada rakyat, termasuk jika harga BBM jadi dinaikkan, sementara
gaji pejabat meninggi.
Bahkan, rakyat dipaksa untuk membayar pajak, akan tetapi sebagian
pajaknya diselewengkan ke rekening-rekening pejabat sehingga menggendut. Dengan
demikian, rakyat adalah tumbal politik di negara yang mengaku menerapkan sistem
demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar