Selasa, 10 April 2012

Demokrasi & Pemerintahan yang Efektif


Demokrasi & Pemerintahan yang Efektif
Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR RI
SUMBER : SINDO, 10 April 2012




Dalam buku The Mahabharata of Vyasa karya P Lal (1981) diceritakan secara sangat dramatis bagaimana Kanika, sang penasihat politik Raja Destarasta, memberi nasihat kepada Raja Hastinapura yang buta itu. “Yang Mulia,” demikian nasihatnya, “Seorang raja dapat memerintah dengan berbagai sistem dan cara.

Tapi ingat, tidak ada gunanya seorang raja memberikan perintah jika perintah itu tidak dilaksanakan. Penting bagi seorang raja bisa menyembunyikan kelemahan seperti seekor kura-kura menyembunyikan kepalanya. Maka sedikit berpura-pura tuli dan buta akan menolong
.” Nasihat Kanika itu disampaikan kepada Destarastra yang sedang mengalami kebingungan menghadapi kenyataan semakin merosotnya legitimasi politiknya.

Pemerintahannya mengalami krisis kepercayaan karena semakin tipisnya harapan rakyat terhadap kepemimpinannya sebagaimana yang tampak pada berbagai survei. Tetapi, poin terpenting dari nasihat Kanika adalah bahwa dalam sistem apa pun suatu pemerintahan haruslah berjalan efektif dan efisien. Perintah-perintahnya harus dijalankan oleh para pembantunya dan aparatusnya.

Untuk itulah, pemerintah dari dulu sampai sekarang disebut eksekutif sebab pemerintahlah dan memang hanya pemerintahlah yang memiliki fungsi eksekutorial itu. Dalam konteks dan perspektif inilah, seorang presiden, perdana menteri, kanselir,atau apa pun namanya, bahkan raja sekalipun, sama sekali tidak ada gunanya memberikan perintah jika perintah itu tidak dilaksanakan.

Jika ini yang terjadi, raja atau presiden tersebut berarti tidak bisa lagi menyembunyikan kelemahan, sama persis seperti seekor kurakura yang tidak bisa menyembunyikan kepalanya. Praktis ruang tembaknya akan terbuka lebar dan serangan akan datang dari segala penjuru.

Inefektivitas Eksekutorial

Maka itu, jika suatu pemerintahan tidak bisa menjalankan fungsi eksekutorialnya, perlu diteliti dengan seksama di mana letaknya stagnasi yang mengakibatkan inefektivitas dan inefisiensi eksekutorialnya itu terjadi. Apakah karena faktor yang inheren di dalam pemerintahan seperti lemahnya organisasi pemerintahan atau kelemahan aparatnya, ataukah karena sesuatu yang bersifat sangat fundamental yang sifatnya sistemik.

Yang dimaksud dengan sistemik di sini terutama adalah sistem politik yang sedang dianut oleh negara di mana pemerintahan itu bekerja. Dalam kasus negara kita, banyak kalangan yang menuding faktor yang kedua atau yang terakhir inilah yang terjadi. Tragisnya,yang dituding sebagai biang persoalan atau bahkan ”kambing hitam”-nya adalah sistem demokrasi liberal yang katanya sedang kita jalankan sekarang ini.

Bagi pendukung pandangan yang agak pesimistis ini,pertanyaan selanjutnya yang digulirkan adalah apakah lantas kita biarkan saja demokrasi yang liberal ini terus berlangsung di negeri ini dengan segala kegaduhannya yang semakin memuakkan rakyat ini? Apakah menoleransi demokrasi semacam ini tidak berarti membiarkan sebuah demokrasi yang tidak produktif bagi kesejahteraan rakyat akan terus berlangsung? Lantas bagaimana dengan nasib rakyat yang sebagian besar masih papa dan miskin ini?

Atau yang lebih fundamental lagi, apakah kemiskinan rakyat ini bukan justru diakibatkan oleh praktik demokrasi yang terlalu demokratis seperti ini? Saya ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu keharusan.Tidak seorang pun sekarang ini menolak demokrasi, setidaknya demikianlah yang terjadi di permukaan. Tetapi, terus terang saja bukanlah demokrasi yang liberal seperti sekarang ini. Keharusan untuk menerapkan prinsip demokrasi rasanya kita sepakati bersama.

Tetapi, setelah lebih dari satu dasawarsa ini terbuktilah bahwa kita sebagai bangsa pada sejatinya kurang memiliki modal sosial yang cukup untuk berdemokrasi. Akibat itu, demokrasi hanya dipahami sebagai kebebasan sehingga akhirnya pemerintahan tidak berjalan efektif (sangkil), apalagi efisien (mankus). Jika demokrasi liberal pada 1950-an mengakibatkan pemerintahan jatuhbangun, demokrasi liberal pasca-Reformasi melahirkan pemerintahan yang tidak efektif dan efisien.

 Bagaimana bisa dikatakan efektif manakala pemerintahan negara yang dipimpin Presiden dan Wakil Presiden dalam sistem presidensial ini seringkali justru tidak hadir pada saat dan situasi yang sedemikian rupa di mana kehadiran negara merupakan suatu keharusan dan keniscayaan! Ketika fenomena premanisme marak di seluruh penjuru negara, pemerintah tidak hadir. Ketika gelombang narkoba melanda hampir semua tingkatan masyarakat,bahkan di sekitar pusat-pusat pendidikan (sekolah) dan keluarga pejabat serta aparat keamanan, pemerintah juga tidak berdaya.

Ketika korupsi menggerogoti birokrasi pemerintahan, kepala pemerintahan bahkan menyerahkan pemberantasan korupsi itu kepada lembaga independen yang bernama KPK, tanpa sama sekali bisa memberdayakan lembaga penegak hukum terlebih dulu yang ada di bawah pemerintah seperti kejaksaan, kepolisian, dan badan “pencegah korupsi” inspektorat jenderal atau badan pengawas daerah.

Demikian juga ketika terjadi kerusuhan yang anarkistis, pemerintah gaib. Saban terjadi kerusuhan sosial dan konflik keagamaan pemerintahan negara tidak hadir karena alasan— seperti sering dikatakan petinggi pemerintahan sendiri— bahwa Presiden tidak bisa melakukan intervensi.

Walhasil ketidakhadiran Presiden atau alat negara sebagai simbol negara berarti, benar atau salah, karena faktor-faktor sistemik atau karena infrastruktur politik dan hukum. Setidaknya demikianlah yang dipersepsikan Presiden sebagaimana yang sering dipidatokannya ketika dituduh negara sebagai telah melakukan pembiaran dalam berbagai kasus.

Inefisiensi Pemerintahan Negara

Bagaimana bisa dikatakan bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan telah berjalan efisien apabila kenyataannya untuk keperluan anggaran rutin saja telah menghabiskan 60% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berjumlah Rp1.435 triliun? Sulit untuk mengatakan pemerintahan ini efisien jika anggaran rutin dari tahun ke tahun mencapai jumlah sebesar itu sehingga ada orang menyebutnya sebagai APBN Beamtenstaat yang probirokrasi, yang sebagian besar habis untuk “ongkos tukang”.

Amanat UUD 1945 Pasal 23 ayat 1 bahwa APBN itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat terabaikan dalam sistem demokrasi yang sekarang ini. Dus, terjadi inefisiensi keuangan negara yang berarti sama dan sebangun dengan pemerintahan negara yang tidak efektif. Walhasil yang menonjol dalam demokrasi sekarang ini adalah dan hanyalah kebebasan berbicara, kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Di mata rakyat di desa-desa demokrasi sekarang ini ditandai dengan kebebasan orang untuk mengkritik dan memaki. Ini demokrasi yang tidak produktif bagi kesejahteraan rakyat sehingga tidak relevan dengan nasib rakyat yang sebagian besar masih papa dan miskin ini. Atau yang lebih fundamental lagi ada penilaian bahwa kemiskinan rakyat yang masih sedemikian besar ketika besaran perekonomian Indonesia terbesar ke-14 di dunia ini justru diakibatkan oleh praktik demokrasi yang terlalu demokratis dan liberal seperti ini.

Demokrasi macam apa ini ketika anak-anak muda yang bisa begitu berani mencaci maki Presiden secara terbuka di media masa? Demokrasi macam apa ini jika seseorang bisa memenangkan pemilihan anggota DPR/DPRD, presiden, gubernur, bupati, dan wali kota hanya karena keunggulannya dalam politik transaksional yang bersifat material? Demokrasi macam apa ini jika seseorang menjadi menteri hanya karena menyumbang kepada sebuah partai politik sekian miliar rupiah?

Demokrasi macam apa jika seseorang bisa dicalonkan oleh suatu parpol dalam pemilihan gubernur/bupati hanya karena yang bersangkutan memiliki kemampuan logistik tinggi? Sungguh sebuah demokrasi yang anakronistik: menyalahi zamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar