Anak Zina,
Solusi MK, dan Tarjih
Nadjib Hamid, Sekretaris
PW Muhammadiyah Jatim dan Mahasiswa S-3 Hukum Islam
IAIN Sunan Ampel
SUMBER
: JAWA POS, 23 April 2012
POLEMIK memanas setelah Mahkamah Konstitusi
(MK) memutuskan anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan bapaknya. Syaratnya, hubungan darah itu dibuktikan berdasar ilmu
pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum.
Keputusan yang didukung para pegiat perlindungan hak anak itu ditampik sebagian tokoh Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, menilai putusan MK telah membuka peluang bagi berkembangnya perzinaan dan ''merusak'' tatanan hukum Islam, terutama urusan warisan.
Mimbar salat Jumat pun digunakan khatib untuk mengecam putusan terobosan itu. Lontaran di atas mimbar Jumat yang monolog tentu tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa-bisa meresahkan tanpa solusi. Maka, kemarin (22/4) Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur melakukan kajian ilmiah.
Perlu diingat lagi, hukum Islam dalam fikih bukanlah hukum yang statis. Dinamikanya terjadi seiring dengan perkembangan masyarakat. Ada kaidah fikih: al hukmu yaduru maal illah wujudan wa adaman (keberlakuan suatu aturan atau hukum terkait dengan ada atau tidaknya alasan). Hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan illatul hukmi (sebab hukum)-nya.
Fikih memang merupakan produk intelektual. Yakni, usaha manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syariah secara sistematis sesuai dengan situasi sosial yang berkembang.
Dalam konteks status dan hak anak di luar nikah, fikih klasik secara tegas menyatakan hanya ada hubungan perdata dengan ibu dan keluarga pihak ibu karena faktanya si anak dikandung oleh si ibu tersebut. Hal itu didasarkan pada Hadis Rasulullah SAW bahwa al-waladu lilfirasy. Sedangkan dengan bapak, tidak ada hubungan karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia anaknya, tidak ada akad nikah.
Implikasi dari ketentuan itu sangatlah berat dirasakan bagi para perempuan dan anak yang dilahirkan bila tanpa ikatan nikah. Mereka selama ini tidak bisa menuntut hak apa pun di pengadilan, lebih-lebih si anak. Ada yang bilang, itu akibat perbuatan yang dilakukan suka sama suka.
Tapi, terhadap anak? Mereka tidak pernah berkehendak lahir menjadi anak zina atau sejenisnya. Tapi, dalam praktiknya, anak-anak hasil perzinaan sulit memperoleh hak-hak perdatanya. Mau sekolah susah, mau menikah susah, mau apa saja yang memerlukan administrasi kependudukan tidak mudah. Mereka dipaksa menanggung beban dosa orang tuanya. Padahal, dalam Islam tidak ada doktrin dosa warisan. Anak itu dilahirkan suci (fitrah). Setiap orang hanya dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan dan tidak dibebani dosa orang lain (QS: Al Najm 38-39).
Karena itu, demi rasa keadilan dan seiring dengan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), kini para ulama perlu mereaktualisasi (meminjam istilah Munawir Sjadzali) ketentuan fikih klasik tersebut. Problem sekarang lebih kompleks. Hubungan nasab seorang anak dengan ibunya ditantang adanya fenomena ibu pengganti (surrogate mother). Dia memang mengandung, tapi titipan dari ovum wanita lain. Tantangan lain, kini iptek dapat menentukan secara pasti hubungan nasab antara anak dan bapaknya melalui tes deoxyribonucleic acid (DNA).
Saya sependapat dengan KH Mu'ammal Hamidy dan Dr Saad Ibrahim MA. Menurut wakil ketua PWM Jatim tersebut, bahwa sejalan dengan prinsip: hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan, hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui tes DNA. Konsekuensi itu, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya.
Argumennya, akurasi tes DNA sangat tinggi sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, bahkan jika dibanding dengan didasarkan atas adanya akad nikah. Termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar karena ibunya itulah yang mengandung dalam kasus ibu pengganti.
Diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dan bapaknya akan memberikan jaminan pasti bagi anak tersebut. Baik itu yang berkaitan dengan kepastian nasab maupun dengan hak-haknya yang lain.
Tak kalah penting, hukum mutakhir ini akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri. Jika tidak mau memenuhi kewajiban, si bapak dapat digugat di pengadilan. Dengan digugat, aibnya diketahui publik. Itu merupakan hukuman sosial yang berat bagi para lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Tentang kekhawatiran akan tumbuh suburkan perzinaan, para lelaki calon pelaku akan berpikir panjang karena kelak harus bertanggung jawab kalau sampai lahir bayi. Digugat dan diungkap di pengadilan merupakan ''hukuman'' tersendiri. Apalagi, gugatan itu datang ketika mereka sudah tua.
Majelis Tarjih pun akhirnya memutuskan bahwa anak zina atau anak yang lahir di luar nikah, sepanjang ada hubungan darah yang dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum, adalah anak yang sah. Keputusan itu sejalan dengan putusan MK.
Seperti kata Mahfud M.D., putusan MK sesuai dengan prinsip universal perlindungan atas hak asasi manusia. Dia juga yakin, putusan itu sesuai dengan semangat ajaran Islam. Jadi, tak perlu grogi dengan beda pendapat. Allahu a'lam. ●
Keputusan yang didukung para pegiat perlindungan hak anak itu ditampik sebagian tokoh Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI), misalnya, menilai putusan MK telah membuka peluang bagi berkembangnya perzinaan dan ''merusak'' tatanan hukum Islam, terutama urusan warisan.
Mimbar salat Jumat pun digunakan khatib untuk mengecam putusan terobosan itu. Lontaran di atas mimbar Jumat yang monolog tentu tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa-bisa meresahkan tanpa solusi. Maka, kemarin (22/4) Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur melakukan kajian ilmiah.
Perlu diingat lagi, hukum Islam dalam fikih bukanlah hukum yang statis. Dinamikanya terjadi seiring dengan perkembangan masyarakat. Ada kaidah fikih: al hukmu yaduru maal illah wujudan wa adaman (keberlakuan suatu aturan atau hukum terkait dengan ada atau tidaknya alasan). Hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan illatul hukmi (sebab hukum)-nya.
Fikih memang merupakan produk intelektual. Yakni, usaha manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syariah secara sistematis sesuai dengan situasi sosial yang berkembang.
Dalam konteks status dan hak anak di luar nikah, fikih klasik secara tegas menyatakan hanya ada hubungan perdata dengan ibu dan keluarga pihak ibu karena faktanya si anak dikandung oleh si ibu tersebut. Hal itu didasarkan pada Hadis Rasulullah SAW bahwa al-waladu lilfirasy. Sedangkan dengan bapak, tidak ada hubungan karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dia anaknya, tidak ada akad nikah.
Implikasi dari ketentuan itu sangatlah berat dirasakan bagi para perempuan dan anak yang dilahirkan bila tanpa ikatan nikah. Mereka selama ini tidak bisa menuntut hak apa pun di pengadilan, lebih-lebih si anak. Ada yang bilang, itu akibat perbuatan yang dilakukan suka sama suka.
Tapi, terhadap anak? Mereka tidak pernah berkehendak lahir menjadi anak zina atau sejenisnya. Tapi, dalam praktiknya, anak-anak hasil perzinaan sulit memperoleh hak-hak perdatanya. Mau sekolah susah, mau menikah susah, mau apa saja yang memerlukan administrasi kependudukan tidak mudah. Mereka dipaksa menanggung beban dosa orang tuanya. Padahal, dalam Islam tidak ada doktrin dosa warisan. Anak itu dilahirkan suci (fitrah). Setiap orang hanya dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan dan tidak dibebani dosa orang lain (QS: Al Najm 38-39).
Karena itu, demi rasa keadilan dan seiring dengan perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), kini para ulama perlu mereaktualisasi (meminjam istilah Munawir Sjadzali) ketentuan fikih klasik tersebut. Problem sekarang lebih kompleks. Hubungan nasab seorang anak dengan ibunya ditantang adanya fenomena ibu pengganti (surrogate mother). Dia memang mengandung, tapi titipan dari ovum wanita lain. Tantangan lain, kini iptek dapat menentukan secara pasti hubungan nasab antara anak dan bapaknya melalui tes deoxyribonucleic acid (DNA).
Saya sependapat dengan KH Mu'ammal Hamidy dan Dr Saad Ibrahim MA. Menurut wakil ketua PWM Jatim tersebut, bahwa sejalan dengan prinsip: hukum berubah mengikuti perubahan zaman, tempat, dan keadaan, hubungan nasab antara anak zina dan bapaknya dapat ditentukan secara pasti melalui tes DNA. Konsekuensi itu, keduanya saling mewarisi, termasuk juga dengan keluarga pihak bapaknya.
Argumennya, akurasi tes DNA sangat tinggi sehingga lebih logis dijadikan dasar menentukan hubungan nasab, bahkan jika dibanding dengan didasarkan atas adanya akad nikah. Termasuk juga jika dibandingkan dengan penentuan hubungan nasab seorang anak dengan ibunya atas dasar karena ibunya itulah yang mengandung dalam kasus ibu pengganti.
Diakuinya secara hukum hubungan nasab antara anak dan bapaknya akan memberikan jaminan pasti bagi anak tersebut. Baik itu yang berkaitan dengan kepastian nasab maupun dengan hak-haknya yang lain.
Tak kalah penting, hukum mutakhir ini akan memaksa bapak tersebut bertanggung jawab memikul konsekuensi logis dari perbuatannya sendiri. Jika tidak mau memenuhi kewajiban, si bapak dapat digugat di pengadilan. Dengan digugat, aibnya diketahui publik. Itu merupakan hukuman sosial yang berat bagi para lelaki yang tidak bertanggung jawab.
Tentang kekhawatiran akan tumbuh suburkan perzinaan, para lelaki calon pelaku akan berpikir panjang karena kelak harus bertanggung jawab kalau sampai lahir bayi. Digugat dan diungkap di pengadilan merupakan ''hukuman'' tersendiri. Apalagi, gugatan itu datang ketika mereka sudah tua.
Majelis Tarjih pun akhirnya memutuskan bahwa anak zina atau anak yang lahir di luar nikah, sepanjang ada hubungan darah yang dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum, adalah anak yang sah. Keputusan itu sejalan dengan putusan MK.
Seperti kata Mahfud M.D., putusan MK sesuai dengan prinsip universal perlindungan atas hak asasi manusia. Dia juga yakin, putusan itu sesuai dengan semangat ajaran Islam. Jadi, tak perlu grogi dengan beda pendapat. Allahu a'lam. ●
karena memang sang anak tidak memiliki dosa apapun
BalasHapusselalu asa sisi positif dan negatif
BalasHapus