Sabtu, 14 April 2012

Dahlan Iskan dan Potret Pelayanan Jalan Tol


Dahlan Iskan dan Potret Pelayanan Jalan Tol
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
SUMBER : KORAN TEMPO, 14 April 2012


Belum hilang ingatan publik, saat Dahlan Iskan "ngamuk" membuka paksa pintu tol Semanggi pada 20 Maret 2012. Dahlan kesal, di tengah kemacetan mengular, kok beberapa pintu tol Semanggi masih terkunci. Aksi Dahlan Iskan untuk memecahkan kebuntuan di jalan tol ternyata tidak hanya berhenti di pintu tol Semanggi. Dahlan juga melakukan aksi serupa saat terjebak macet di pintu tol Ancol beberapa waktu kemudian. Pintu tol Ancol dibuka, dan beberapa kendaraan dibebaskan melintas, tanpa bayar. Belakangan, Dahlan Iskan meminta maaf karena ternyata ruas (pintu) tol Ancol adalah milik swasta (bukan milik PT Jasa Marga).

Dalam konteks pelayanan jalan tol, aksi Dahlan Iskan menarik dicermati, bukan hanya pada konteks mikro (hilir), tetapi juga konteks makro (hulu). Pada konteks hilir, aksi Dahlan Iskan sangat bisa dipahami: bahwa potret pelayanan jalan tol di Indonesia masih belum optimal. Hal yang lazim dikeluhkan adalah antrean kendaraan di pintu tol, atau bahkan kemacetan di sepanjang jalan tol; khususnya jalan tol dalam kota. Karena itu, wajar jika Dahlan Iskan memberikan ultimatum bahwa pengelola jalan tol harus mampu meningkatkan pelayanan jalan tol, dengan cara mengurangi tingkat antrean kendaraan di pintu tol, misalnya tidak lebih dari lima kendaraan.

Ultimatum Dahlan Iskan sejalan dengan regulasi yang ada. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol menyebutkan, jalan tol mempunyai tingkat pelayanan, keamanan, dan kenyamanan yang lebih tinggi dari jalan umum (vide Pasal 5 ayat 1). Karenanya, masih menurut PP Nomor 15 Tahun 2005, jalan tol harus mempunyai standar pelayanan, yakni mencakup kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, dan keselamatan (Pasal 5, ayat 2).

Secara lebih mikro (detail), potret pelayanan jalan tol juga dilegalisasi oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Nomor 392/PRT/M/2005 tentang Standar Pelayanan Minimal. Via Peraturan Menteri PU tersebut, operator jalan tol diminta membuat standar pelayanan minimal, berupa kondisi jalan tol, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, dan unit pertolongan/penyelamatan serta bantuan pelayanan.

Karena itu, kegeraman Dahlan Iskan terhadap performa pelayanan operator jalan tol bisa dipahami. Apalagi jika disandingkan dengan performa pelayanan jalan tol di Malaysia, yang notabene dulu belajar dari pengelolaan jalan tol di Indonesia (tol Jagorawi, 1987). Sebagai perbandingan, di Malaysia, sejak 1999 telah diterapkan electronic toll collection system. Sementara PT Jasa Marga menerapkan e-toll baru dua tahun silam. Dengan pola yang demikian (ETCS), 75 persen transaksi konsumen jalan tol di Malaysia sudah bersifat cashless (non-tunai), dan hanya 25 persen yang menggunakan transaksi tunai. Di Indonesia sebaliknya, 25 persen dengan cashless, dan 75 persen dengan transaksi tunai.

Meski demikian, pada konteks makro (hulu), aksi Dahlan Iskan untuk mendorong perubahan signifikan performa pelayanan jalan tol sepertinya sulit terwujud, khususnya di ruas jalan tol dalam kota. Sebab, jika kasusnya adalah antrean kendaraan atau bahkan kemacetan di jalan tol, itu tidak serta-merta terkait pada performa atau kinerja operator jalan tol an sich. Hal itu sangat terkait dengan, misalnya, tingginya jumlah penggunaan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi. Artinya, jika persoalan utamanya adalah kemacetan (antrean kendaraan), hal itu tidak akan pernah terselesaikan jika hanya hanya operator jalan tol saja yang "ditekan". Bahkan yang terjadi sebaliknya, tingkat kemacetan di jalan tol dalam kota akan semakin parah.

Lihat saja fakta ini; pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta mencapai 12,5 persen per tahun. Sedangkan pertumbuhan ruas jalan kurang dari 1 persen. Menurut data Polda Metro Jaya, per hari tidak kurang dari 315 mobil baru yang dibuatkan STNK-nya. Itu semua membutuhkan ruang untuk bergerak, khususnya akses jalan tol. Menambah ruas pintu keluar jalan tol praktis tak bisa dilakukan juga. Ini terjadi karena buruknya penataan ruang di Kota Jakarta. Paling banter yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan akses pintu keluar tol (dan ini hanya bersifat temporal).

Jadi, secara lebih gamblang, pada konteks mikro, memang masih terbuka peluang yang sangat lebar bagi pengelola jalan tol untuk meningkatkan pelayanannya pada konsumennya. Misalnya, dengan memperpendek waktu transaksi, atau bahkan memperbanyak akses pintu keluar. Termasuk juga mengoptimalkan shift karyawan yang bertugas. Pengalaman di Malaysia patut dicontoh oleh operator jalan tol, khususnya oleh PT Jasa Marga.

Namun, pada konteks makro, tangan kuasa operator jalan tol tak akan mampu mengubah performa pelayanannya, jika tidak bersinergi dengan kebijakan lain; khususnya di bidang manajemen transportasi, bahkan penataan ulang tata ruang. Karena itu, aksi Dahlan Iskan idealnya tidak hanya berhenti pada tataran mikro, tetapi seharusnya bermanuver pada konteks kebijakan makro. Misalnya, mempercepat pembangunan sarana transportasi massal cepat (MRT).

Eksistensi MRT akan mendorong pengguna kendaraan pribadi berpindah menjadi pengguna MRT, dan atau angkutan umum lain yang manusiawi. Dengan demikian, kepadatan kendaraan pribadi di jalan tol bisa berkurang. Dahlan Iskan juga harus mendorong percepatan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, misalnya dengan pola electronic road pricing. Tanpa terobosan kebijakan di level makro, harapan Dahlan Iskan dan masyarakat konsumen untuk mewujudkan performa pelayanan jalan tol yang nir-macet sangat sulit terwujud. Bahkan hanya menjadi mimpi belaka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar