BBM, Polisi, dan Demonstrasi
Iksan Basoeky, Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yoyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 31 Maret 2012
Bentrok
antara polisi dan gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Merdeka
(ARM) di Yogyakarta (19/3) dalam rentetan demonstrasi penolakan kenaikan harga
BBM, merupakan bentuk tontonan kekerasan yang sangat mengerikan. Polisi yang
setidaknya bisa merespons masalah dengan bijak, justru malah ikut terlibat
anarki.
Dalam
insiden berdarah tersebut, polisi bertindak malakukan serangan balik hingga
sampai masuk ke dalam kampus. Jelas, tindakan pembalasan tersebut bukan
merupakan solusi masalah, tetapi justru menambah persoalan semakin runyam.
Seharusnya, sebagai aparat keamanan, polisi tahu diri bahwa keberadaan mereka
adalah untuk mengayomi dan menyelesaikan problem yang terjadi di masyarakat.
Namun,
akibat ketidaksadaran mereka, yang dihasilkan adalah disharmonisasi dan konflik
kekerasan. Bahkan, kalau boleh dibilang, tindakan polisi tersebut telah
menyalahi aturan yang disandangkan pada meraka sejak awal bertugas dan
menjalankan tanggung jawab. Tindakan anarkistis seperti yang kita lihat di
Yogyakarta ini adalah buah dari watak represif yang tak patut hukum.
Sebagai
rakyat kecil, tentunya kita sadar bahwa di mana-mana polisi mengenalkan konsep
pengembangan dirinya lewat apa yang disebut pemolisian masyarakat (community policing).
Konsep
ini percaya bahwa polisi akan berhasil mengemban misinya, jika polisi melebur
bersama masyarakat, menempatkan dirinya agar terbantu oleh masyarakat untuk kemudian
bersama-sama mengatasi masalah hukum, ketertiban, dan keamanan masyarakat yang
semakin hari kian kompleks.
Masyarakat
setidaknya merasa menyesal dengan tindakan anarkistis yang dilakukan pihak
kepolisian di Yogyakarta tersebut. Aksi saling bentrok dan lempar batu antara
polisi dan mahasiswa dalam menolak kenaikan harga BBM itu tentunya sangat
miris. Apalagi, dalam kejadian tersebut polisi masuk ke lingkungan universitas.
Buntutnya,
dalam menyikapi masa lah tersebut, aparat kepolisian lebih terlihat sebagai “preman jalanan” dan pengguna alat
kekerasan negara ketimbang pelindung atau pengayom masya rakat. Serangan balik
yang condong destruktif itu setidaknya mangakibatkan banyak yang terluka. Hal
ini tentunya da lam penyelengaraan hukum tidak dapat dibenarkan, apalagi masuk
kampus.
Walaupun
polisi merasa diserang per tama kali dengan alasan ingin mencari dan melakukan
penangkapan terhadap mahasiswa yang melakukan anarki, namun alasan yang
demikian kurang tepat. Apalagi, disikapi secara emosional ikut melanggar hukum
dan melakukan kekerasan.
Diakui
atau tidak, perilaku yang ditontonkan kepolisian telah mencederai seluruh aparat
kepolisian di negeri ini. Mereka yang terlibat perbuatan kekerasan mau tidak
mau harus ditindak dengan tegas, kalau perlu mendapatkan sanksi. Jika tidak,
polisi akan dipandang dengan baju kekuatan untuk melakukan perbuatan “konyol” dan bersifat kekerasan, bukan
meredam masalah tetapi menambah masalah, dan tidak berpihak kepada rakyat
kecil.
Inilah
yang sekiranya mulai sekarang perlu ditegaskan dari oknum kepolisian. Masa
depan polisi dan orang-orang yang masuk dalam stuktur kepolisian tetap berada dalam
bingkai aturan yang ber laku. Mereka (polisi) seyogianya menyelesaikan masalah
dengan lebih mengembangkan metode pendekatan negosiasi persuasif, yang diyakini
lebih ampuh menyelesaikan masalah yang terjadi dalam demonstrasi dewasa ini.
Penyerangan
pada Senin, 19 Maret 2012, setidaknya mengingatkan kita pada catatan sejarah
aksi mahasiswa pada 1998 saat menurunkan rezim Orde Baru. Pada peristiwa itu,
polisi melarang gerakan mahasiswa untuk melakukan aksi demontrasi dan menekan
para mahasiswa turun jalan, seperti sekarang ini.
Polisi
sebagai penegak hukum dalam melaksanakan tugas mestinya selalu memegang
prinsip-prisip demokrasi, keadilan yang berpijak pada pelaksanaan aturan yang
telah dibuat guna menjaga ketertiban soisal dan perdamaian di masyarakat.
Begitu
juga dengan pemerintah yang harus tegas memberi sanksi aturan. Setiap penegak
hukum harus mengutamakan pendekatan nonkekerasan dan harus mendahulukan prinsip
sosial kemasyarakatan.
Dalam
rentetan penyelesaiannya, aparat kepolisian harus sadar terhadap perbuatan
mereka. Bahwa tindakan brutal dan bentrokan yang berujung pada konflik massa
yang demikian telah menyalahi wewenang dalam kepolisian dan itu tidak patut
hukum. Dengan kesadaran itu mereka juga akan paham bahwa sesuatu yang melanggar
aturan harus dipertanggujawabkan.
Gerakan
mahasiswa bukanlah musuh yang harus dibalas dengan kekerasan, namun apabila
terdapat kekeliruan harus diluruskan. Tindakan selanjutnya, sebagai gerakan
intelektual-akademis juga diharapkan peka membaca persoalan kenaikan BBM.
Setidaknya, mereka tidak gampang terpancing
emosi untuk menimbulkan anarki.
Sebab, hal itu akan mencoreng nama baik mereka
sebagai kaum intelektual dan gerakan penyampai aspirasi masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar