Minggu, 01 April 2012

BBM, Polisi, dan Demonstrasi


BBM, Polisi, dan Demonstrasi
Iksan Basoeky, Peneliti pada Pusat Studi Agama dan Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yoyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 31 Maret 2012



Bentrok antara polisi dan gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Merdeka (ARM) di Yogyakarta (19/3) dalam rentetan demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM, merupakan bentuk tontonan kekerasan yang sangat mengerikan. Polisi yang setidaknya bisa merespons masalah dengan bijak, justru malah ikut terlibat anarki.

Dalam insiden berdarah tersebut, polisi bertindak malakukan serangan balik hingga sampai masuk ke dalam kampus. Jelas, tindakan pembalasan tersebut bukan merupakan solusi masalah, tetapi justru menambah persoalan semakin runyam. Seharusnya, sebagai aparat keamanan, polisi tahu diri bahwa keberadaan mereka adalah untuk mengayomi dan menyelesaikan problem yang terjadi di masyarakat.

Namun, akibat ketidaksadaran mereka, yang dihasilkan adalah disharmonisasi dan konflik kekerasan. Bahkan, kalau boleh dibilang, tindakan polisi tersebut telah menyalahi aturan yang disandangkan pada meraka sejak awal bertugas dan menjalankan tanggung jawab. Tindakan anarkistis seperti yang kita lihat di Yogyakarta ini adalah buah dari watak represif yang tak patut hukum.

Sebagai rakyat kecil, tentunya kita sadar bahwa di mana-mana polisi mengenalkan konsep pengembangan dirinya lewat apa yang disebut pemolisian masyarakat (community policing).

Konsep ini percaya bahwa polisi akan berhasil mengemban misinya, jika polisi melebur bersama masyarakat, menempatkan dirinya agar terbantu oleh masyarakat untuk kemudian bersama-sama mengatasi masalah hukum, ketertiban, dan keamanan masyarakat yang semakin hari kian kompleks.

Masyarakat setidaknya merasa menyesal dengan tindakan anarkistis yang dilakukan pihak kepolisian di Yogyakarta tersebut. Aksi saling bentrok dan lempar batu antara polisi dan mahasiswa dalam menolak kenaikan harga BBM itu tentunya sangat miris. Apalagi, dalam kejadian tersebut polisi masuk ke lingkungan universitas.

Buntutnya, dalam menyikapi masa lah tersebut, aparat kepolisian lebih terlihat sebagai “preman jalanan” dan pengguna alat kekerasan negara ketimbang pelindung atau pengayom masya rakat. Serangan balik yang condong destruktif itu setidaknya mangakibatkan banyak yang terluka. Hal ini tentunya da lam penyelengaraan hukum tidak dapat dibenarkan, apalagi masuk kampus.

Walaupun polisi merasa diserang per tama kali dengan alasan ingin mencari dan melakukan penangkapan terhadap mahasiswa yang melakukan anarki, namun alasan yang demikian kurang tepat. Apalagi, disikapi secara emosional ikut melanggar hukum dan melakukan kekerasan.

Diakui atau tidak, perilaku yang ditontonkan kepolisian telah mencederai seluruh aparat kepolisian di negeri ini. Mereka yang terlibat perbuatan kekerasan mau tidak mau harus ditindak dengan tegas, kalau perlu mendapatkan sanksi. Jika tidak, polisi akan dipandang dengan baju kekuatan untuk melakukan perbuatan “konyol” dan bersifat kekerasan, bukan meredam masalah tetapi menambah masalah, dan tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Inilah yang sekiranya mulai sekarang perlu ditegaskan dari oknum kepolisian. Masa depan polisi dan orang-orang yang masuk dalam stuktur kepolisian tetap berada dalam bingkai aturan yang ber laku. Mereka (polisi) seyogianya menyelesaikan masalah dengan lebih mengembangkan metode pendekatan negosiasi persuasif, yang diyakini lebih ampuh menyelesaikan masalah yang terjadi dalam demonstrasi dewasa ini.

Penyerangan pada Senin, 19 Maret 2012, setidaknya mengingatkan kita pada catatan sejarah aksi mahasiswa pada 1998 saat menurunkan rezim Orde Baru. Pada peristiwa itu, polisi melarang gerakan mahasiswa untuk melakukan aksi demontrasi dan menekan para mahasiswa turun jalan, seperti sekarang ini.

Polisi sebagai penegak hukum dalam melaksanakan tugas mestinya selalu memegang prinsip-prisip demokrasi, keadilan yang berpijak pada pelaksanaan aturan yang telah dibuat guna menjaga ketertiban soisal dan perdamaian di masyarakat.

Begitu juga dengan pemerintah yang harus tegas memberi sanksi aturan. Setiap penegak hukum harus mengutamakan pendekatan nonkekerasan dan harus mendahulukan prinsip sosial kemasyarakatan.

Dalam rentetan penyelesaiannya, aparat kepolisian harus sadar terhadap perbuatan mereka. Bahwa tindakan brutal dan bentrokan yang berujung pada konflik massa yang demikian telah menyalahi wewenang dalam kepolisian dan itu tidak patut hukum. Dengan kesadaran itu mereka juga akan paham bahwa sesuatu yang melanggar aturan harus dipertanggujawabkan.

Gerakan mahasiswa bukanlah musuh yang harus dibalas dengan kekerasan, namun apabila terdapat kekeliruan harus diluruskan. Tindakan selanjutnya, sebagai gerakan intelektual-akademis juga diharapkan peka membaca persoalan kenaikan BBM.
Setidaknya, mereka tidak gampang terpancing emosi untuk menimbulkan anarki. 
Sebab, hal itu akan mencoreng nama baik mereka sebagai kaum intelektual dan gerakan penyampai aspirasi masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar