Minggu, 01 April 2012

Anarkisme Demonstrasi


Anarkisme Demonstrasi
Mohamad Fathollah, Sosiolog UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 31 Maret 2012



Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berimbas penolakan di mana-mana. Demonstrasi menolak keputusan pemerintah tersebut tiap hari semakin bertambah. Bahkan, tidak jarang disertai kisruh antara demonstran dan pihak keamanan (polisi).

Anarkisme semacam itu barangkali serangkaian dari sebuah “fenomena“ yang kerap terjadi belakangan ini. Tidak hanya di Yogyakarta, di berbagai daerah tindakan anarkistis dapat kita lihat di media.

Walaupun tindakan anarkistis dapat kita jumpai di mana-mana dan kapan saja. Namun demikian, aksi anarkistis penolakan penaikan BBM dapat memicu virus baru yang semakin mengoyak keseimbangan sosial di negeri ini.

Beberapa bulan terakhir masyarakat juga disuguhi “dramatisasi“ konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari konflik atas kepemilikan tanah, konflik migas, atau SARA yang belum usai. Akankan negeri ini hanya diisi dengan konflik sosial yang tiada juntrungannya? Jangan-jangan konflik tersebut dinikmati oleh beberapa kelompok untuk mencari keuntungan parsial belaka.

Aksi Brutal

BBM merupakan isu seksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Masyarakat kita pada umumnya memang tidak bisa mengelak bergantung pada BBM. Tidak ayal penaikan BBM pada April mendatang memicu penolakan dari masyarakat. Karena, kenaikan harga minyak dunia berakibat pada kanaikan harga kebutuhan pokok dan primer lainnya.

Tidak hanya para demonstran yang merasa terbebani atas kenaikan tersebut.
Tentunya pihak keamanan, dalam hal ini polisi, juga merasa keberatan. Bagaimana tidak, kenaikan BBM tidak serta merta menaikkan gaji mereka sebagai bagian dari institusi pemerintah.

Dalam melakukan konfrontasi pada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak prorakyat (miskin), Soe Hok Gie (2005, 168) menganesiasi dua opsi terhadap masyarakat (terutama peran pemuda sebagai agen perubahan), yakni apatis dan ikut arus terhadap kebijakan tersebut atau sebaliknya melakukan kritik konstruktif.

Sikap apatis pada penaikan harga BBM menjadikan masyarakat cenderung berpola EGP (emang gue pikirin). Mengacu pada fungsionalisme Parson, penaikan harga BBM diyakini dapat menjadi fungsional terhadap yang lain.
Bisa saja semua harga mahal sebagai imbas dari penaikan BBM, namun penaikan BBM dapat menjadi ketersediaan keseimbangan pendapatan APBN dari sumber migas.

Demikian pula aksi menolak penaikan harga BBM secara temporer tidak akan mengubah kebijakan dan pula tidak mengubah kondisi masyarakat secara simultan.
Masyarakat yang menolak penaikan harga BBM akan melakukan kritik melalui cara yang mudah dilakukan. Disebabkan, tidak mempunyai alat kebijakan yang pas sebagai konfrontasi kebijakan pemerintah. Maka, demonstrasi dipilih sebagai alat utama.

Masyarakat yang melakukan kritik konstruktif melalui cara demonstrasi menilai bahwa penaikan harga BBM secara bertahap akan merugikan masyarakat (terutama menengah-miskin). Harga BBM yang melambung tinggi berdampak pada tambahan primer cost. Sehingga, secara bertahap daya beli masyarakat menurun.

Di sinilah aksi secara berkesinambungan terjadi. Semakin banyak penolakan, semakin meningkat pula potensi ricuh pada saat demonstrasi. Apalagi, aksi yang melibatkan banyak orang tidak jarang akan ditumpangi “penumpang gelap“. Penumpang gelap bisa mewujud sebagai joki demonstran atau pihak lain yang menginginkan kericuhan.

Penyampaian aspirasi lewat aksi demonstrasi bertujuan untuk didengarkan pemerintah. Sedangkan, pihak polisi sebagai pihak pengaman jalannya demonstrasi. Akan tetapi, yang terlihat, unjuk rasa berakhir ricuh sehingga yang sampai ke publik bukannya aksi yang membebaskan, melainkan aksi yang brutal.

Menyoal Protap Kapolri

Selama ini, aksi brutal demonstran menyebabkan korban luka-luka dan penangkapan. Bahkan, kampus yang dijadikan tempat sakral mencari ilmu, dengan mudahnya menjadi ajang penganiayaan.

Terlihat misalnya, pada aksi yang terjadi di kampus UIN Sunan Kalijaga pada Senin (19/03). Polisi dengan mudahnya menangkap beberapa demonstran yang diduga sebagai provokator hingga masuk kampus.

Dalam kacamata polisi tindakan semacam itu sudah sesuai dengan ketentuan pengamanan massa aksi. Sebagaimana diketahui bahwa pengamanan polisi terhadap massa aksi mengacu pada protap (prosedur tetap) Kapolri Nomor 1/X/2010 tertanggal 8 Oktober 2010 tentang Penanggulangan Anarki.

Apabila mengacu pada protap Kapolri tersebut, pihak polisi leluasa menangkap `sasaran' aksi, termasuk apabila mereka masuk areal kampus. Dalam protap tersebut disebutkan pada poin (b) tentang prosedur pengamanan, “Anggota polri apabila mendengar, melihat, dan mengetahui AG atau GN anarki wajib mengambil tindakan sesuai dengan keadaan dan berdasarkan penilaian sendiri.“ Bahkan, dalam prosedur terebut memungkinkan personel polri dapat bertindak dengan senjata api “menenangkan“ aksi.

Protap Kapolri berdasarkan KUHP pasal 48, 49, 50, dan 51. Juga mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, Protokol VII PBB tanggal 27 Agustus-2 Desember 1990 di Havana Cuba tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum, serta Resolusi PBB 34/169 tanggal 7 Desember 1968 tentang Ketentuan Berperilaku (code of conduct) untuk Pejabat Penegak Hukum.

Dalam resolusi PBB 34/169 tentang ketentuan berperilaku kekerasan boleh dilakukan pada pelaku kejahatan. Memaknai demonstran dalam perspektif resolusi PBB tersebut dapat dikatakan sebagai penjahat. Padahal, demonstran dan pelaku kejahatan jelas tidak sama. Yang jelas demonstran bukanlah penjahat sehingga tindakan represif aparat tidak dapat dibenarkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar