Anarkisme Demonstrasi
Mohamad Fathollah, Sosiolog UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 31 Maret 2012
Rencana
pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berimbas penolakan di
mana-mana. Demonstrasi menolak keputusan pemerintah tersebut tiap hari semakin
bertambah. Bahkan, tidak jarang disertai kisruh antara demonstran dan pihak
keamanan (polisi).
Anarkisme
semacam itu barangkali serangkaian dari sebuah “fenomena“ yang kerap terjadi belakangan ini. Tidak hanya di
Yogyakarta, di berbagai daerah tindakan anarkistis dapat kita lihat di media.
Walaupun
tindakan anarkistis dapat kita jumpai di mana-mana dan kapan saja. Namun
demikian, aksi anarkistis penolakan penaikan BBM dapat memicu virus baru yang
semakin mengoyak keseimbangan sosial di negeri ini.
Beberapa
bulan terakhir masyarakat juga disuguhi “dramatisasi“
konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mulai dari konflik atas
kepemilikan tanah, konflik migas, atau SARA yang belum usai. Akankan negeri ini
hanya diisi dengan konflik sosial yang tiada juntrungannya? Jangan-jangan
konflik tersebut dinikmati oleh beberapa kelompok untuk mencari keuntungan
parsial belaka.
Aksi Brutal
BBM
merupakan isu seksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Masyarakat kita pada umumnya memang tidak bisa mengelak bergantung pada BBM. Tidak ayal penaikan BBM pada April mendatang memicu penolakan dari masyarakat. Karena, kenaikan harga minyak dunia berakibat pada kanaikan harga kebutuhan pokok dan primer lainnya.
Masyarakat kita pada umumnya memang tidak bisa mengelak bergantung pada BBM. Tidak ayal penaikan BBM pada April mendatang memicu penolakan dari masyarakat. Karena, kenaikan harga minyak dunia berakibat pada kanaikan harga kebutuhan pokok dan primer lainnya.
Tidak
hanya para demonstran yang merasa terbebani atas kenaikan tersebut.
Tentunya pihak keamanan, dalam hal ini polisi, juga merasa keberatan. Bagaimana tidak, kenaikan BBM tidak serta merta menaikkan gaji mereka sebagai bagian dari institusi pemerintah.
Tentunya pihak keamanan, dalam hal ini polisi, juga merasa keberatan. Bagaimana tidak, kenaikan BBM tidak serta merta menaikkan gaji mereka sebagai bagian dari institusi pemerintah.
Dalam
melakukan konfrontasi pada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak prorakyat
(miskin), Soe Hok Gie (2005, 168) menganesiasi dua opsi terhadap masyarakat
(terutama peran pemuda sebagai agen perubahan), yakni apatis dan ikut arus terhadap
kebijakan tersebut atau sebaliknya melakukan kritik konstruktif.
Sikap
apatis pada penaikan harga BBM menjadikan masyarakat cenderung berpola EGP
(emang gue pikirin). Mengacu pada fungsionalisme Parson, penaikan harga BBM
diyakini dapat menjadi fungsional terhadap yang lain.
Bisa saja semua harga mahal sebagai imbas dari penaikan BBM, namun penaikan BBM dapat menjadi ketersediaan keseimbangan pendapatan APBN dari sumber migas.
Bisa saja semua harga mahal sebagai imbas dari penaikan BBM, namun penaikan BBM dapat menjadi ketersediaan keseimbangan pendapatan APBN dari sumber migas.
Demikian
pula aksi menolak penaikan harga BBM secara temporer tidak akan mengubah
kebijakan dan pula tidak mengubah kondisi masyarakat secara simultan.
Masyarakat
yang menolak penaikan harga BBM akan melakukan kritik melalui cara yang mudah
dilakukan. Disebabkan, tidak mempunyai alat kebijakan yang pas sebagai
konfrontasi kebijakan pemerintah. Maka, demonstrasi dipilih sebagai alat utama.
Masyarakat
yang melakukan kritik konstruktif melalui cara demonstrasi menilai bahwa
penaikan harga BBM secara bertahap akan merugikan masyarakat (terutama
menengah-miskin). Harga BBM yang melambung tinggi berdampak pada tambahan primer cost. Sehingga, secara bertahap
daya beli masyarakat menurun.
Di
sinilah aksi secara berkesinambungan terjadi. Semakin banyak penolakan, semakin
meningkat pula potensi ricuh pada saat demonstrasi. Apalagi, aksi yang
melibatkan banyak orang tidak jarang akan ditumpangi “penumpang gelap“. Penumpang gelap bisa mewujud sebagai joki
demonstran atau pihak lain yang menginginkan kericuhan.
Penyampaian
aspirasi lewat aksi demonstrasi bertujuan untuk didengarkan pemerintah.
Sedangkan, pihak polisi sebagai pihak pengaman jalannya demonstrasi. Akan
tetapi, yang terlihat, unjuk rasa berakhir ricuh sehingga yang sampai ke publik
bukannya aksi yang membebaskan, melainkan aksi yang brutal.
Menyoal Protap Kapolri
Selama
ini, aksi brutal demonstran menyebabkan korban luka-luka dan penangkapan.
Bahkan, kampus yang dijadikan tempat sakral mencari ilmu, dengan mudahnya
menjadi ajang penganiayaan.
Terlihat
misalnya, pada aksi yang terjadi di kampus UIN Sunan Kalijaga pada Senin
(19/03). Polisi dengan mudahnya menangkap beberapa demonstran yang diduga
sebagai provokator hingga masuk kampus.
Dalam
kacamata polisi tindakan semacam itu sudah sesuai dengan ketentuan pengamanan
massa aksi. Sebagaimana diketahui bahwa pengamanan polisi terhadap massa aksi
mengacu pada protap (prosedur tetap) Kapolri Nomor 1/X/2010 tertanggal 8
Oktober 2010 tentang Penanggulangan Anarki.
Apabila
mengacu pada protap Kapolri tersebut, pihak polisi leluasa menangkap `sasaran' aksi, termasuk apabila mereka
masuk areal kampus. Dalam
protap tersebut disebutkan pada poin (b) tentang prosedur pengamanan, “Anggota polri apabila mendengar, melihat,
dan mengetahui AG atau GN anarki wajib mengambil tindakan sesuai dengan keadaan
dan berdasarkan penilaian sendiri.“ Bahkan, dalam prosedur terebut
memungkinkan personel polri dapat bertindak dengan senjata api “menenangkan“ aksi.
Protap
Kapolri berdasarkan KUHP pasal 48, 49, 50, dan 51. Juga mengacu pada UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Polri, Protokol VII PBB tanggal 27 Agustus-2 Desember 1990
di Havana Cuba tentang Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata
Api oleh Aparat Penegak Hukum, serta Resolusi PBB 34/169 tanggal 7 Desember
1968 tentang Ketentuan Berperilaku (code
of conduct) untuk Pejabat Penegak Hukum.
Dalam resolusi PBB 34/169 tentang ketentuan
berperilaku kekerasan boleh dilakukan pada pelaku kejahatan. Memaknai
demonstran dalam perspektif resolusi PBB tersebut dapat dikatakan sebagai
penjahat. Padahal, demonstran dan pelaku kejahatan jelas tidak sama. Yang jelas
demonstran bukanlah penjahat sehingga tindakan represif aparat tidak dapat
dibenarkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar