Selasa, 03 April 2012

Antiklimaks Kebijakan BBM


Antiklimaks Kebijakan BBM
A Prasetyantoko, Ketua LPPM, Unika Atma Jaya, Jakarta  
SUMBER : SINDO, 03 April 2012



Kenaikan harga BBM yang rencananya berlaku 1 April 2012, gagal dilaksanakan. Melalui rapat paripurna, DPR memutuskan tambahan Pasal 7 ayat 6a pada UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.

Intinya, pemerintah baru boleh mengubah harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) mengalami perubahan sebesar 15% selama 6 bulan. Bagi pemerintah yang sudah bersiap-siap menaikkan harga BBM, keputusan tersebut menjadi sebuah antiklimaks. Bagi partai oposisi dan para demonstran yang menolak pilihan kenaikan BBM, tentu saja juga merupakan antiklimaks. Karena meskipun harga BBM tidak jadi naik dalam waktu dekat, tetapi tetap terbuka kemungkinan sewaktu- waktu harga BBM dinaikkan.

Meskipun pada ranah legislasi masih terbuka kemungkinan untuk mengajukan pembatalan Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun faktanya RAPBN-P 2012 sudah disetujui. Persoalannya, bagaimana tindak lanjut putusan tersebut? Ada dua pilar pokok yang harus diperhatikan. Pertama, membenahi politik anggaran. Kedua,mengubah arah kebijakan energi. Tanpa menggarap kedua pilar tersebut, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan terus-menerus diombangambingkan oleh fluktuasi harga minyak di pasar dunia.

Politik Anggaran

Sebenarnya, pemerintah juga berada pada posisi sulit. Karena, asumsi APBN-P 2012 dengan nilai subsidi BBM Rp137 triliun dan subsidi listrik Rp 64,9 triliun itu disusun dengan skenario harga BBM naik sebesar Rp 1.500.Jika harga BBM tidak bisa dinaikkan dalam waktu dekat, maka pemerintah harus menutup besaran subsidi dari pos lain. Pilihannya, dengan melakukan efisiensi pada Kementrian dan Lembaga (K/L). Meskipun begitu, jangan sampai kebijakan efisiensi anggaran tersebut justru kontraproduktif terhadap perekonomian. Karena fungsi belanja pemerintah sejatinya untuk menstimulus perekonomian.

Sehingga, jika pemotongan anggaran dilakukan, kemampuan K/L untuk memompa perekonomian menjadi terbatas. Sebaiknya pemerintah melakukan kajian terhadap kinerja K/L, dan menentukan tolok ukur keberhasilan penggunaan anggaran. Semakin buruk K/L dalam penyerapan anggaran, semakin besar potongan yang dilakukan. Dengan begitu, efisiensi dilakukan dengan berbasis pada kinerja K/L. Selain itu, pemerintah juga bisa menggunakan Sisa Anggaran Lebih (SAL) 2010 sebesar Rp51 triliun.Atau hasil dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp25 triliun.

Secara umum, paling tidak ada dua beban besar pemerintah terhadap APBN-P 2012.Pertama, anggaran harus menjadi instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan yang disepakati sebesar 6,5% pada tahun ini. Jika pemerintah gagal memformulasikan kebijakan fiskal yang handal, maka tidak menutup kemungkinan asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN-P 2012 tidak bisa dicapai. Dan itu akan menjadi catatan tersendiri bagi pertanggungjawaban presiden terhadap DPR.

Harus diakui, tantangan global masih belum boleh diremehkan.Meskipun perekonomian Amerika Serikat (AS) sudah mulai stabil, tetapi masih jauh dari posisi aman. Perekonomian AS memang tidak lagi muram (gloom), tetapi juga belum ceria betul (boom). Atau istilahnya, less gloom but no boom. Begitu pun kawasan Uni-Eropa. Meskipun mereka hampir mencapai kesepakatan untuk mengumpulkan dana talangan hingga mencapai 1 triliun euro, tetapi berbagai kemungkinan buruk masih tetap bisa terjadi. Tantangan fiskal kedua, terkait besaran defisit.

Sebagaimana diatur UU,defisit anggaran tidak boleh melewati 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sebenarnya, prinsip ini mengikuti ketentuan yang diadopsi oleh negara-negara Uni- Eropa, atau yang dikenal sebagai Traktat Maastricht. Sekarang ini, posisi defisit anggaran pusat sebesar 2,23%. Jika dikonsolidasikan dengan defisit pemerintah daerah (APBD), maka besaran defisit kurang lebih 2,8%. Artinya, sulit menutup anggaran dengan penerbitan utang baru.

Politik Energi

Kapan pemerintah berhak menaikkan harga BBM? Dengan penambahan pasal 7 ayat 6a tersebut, pemerintah baru bisa menaikkan harga BBM jika harga rata-rata ICP sudah mencapai USD120,75 per barel. Dengan asumsi harga minyak ICPsebesar USD 105,maka rumusnya 105 + (105x15%)= USD120,75. Jika dihitung mulai bulan Oktober 2011 hingga akhir Maret 2012, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah berada pada harga USD116 per barel.

Sebenarnya, skenario awal versi pemerintah yang mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter (atau 33,3%) bukanlah sesuatu yang baru. Kita pernah mengalami beberapa kali kebijakan menaikkan harga BBM. Pada Mei 2008 pemerintah juga melakukan kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 31%. Bahkan pada 2005, kenaikan dilakukan dua kali, bulan Maret dan Oktober. Sehingga, besaran kenaikannya sepanjang tahun mencapai 3 kali lipat atau sebesar 96,1%. Dampak inflasi yang ditimbulkannya pun sebenarnya tidak terlalu berat untuk tahun ini.

Menurut hitungan BPS, kenaikan harga BBM Rp1.500 per liter, dampak langsungnya pada inflasi sebesar 0,9%. Dan jika ditambah dengan dampak langsungnya (second round effect) sebesar dua kali dampak langsung, maka dampak inflasi tak langsungnya sebesar 1,8%. Sehingga, total dampaknya mencapai 2,7%. Setelah dijumlahkan dengan asumsi inflasi pemerintah tahun ini sebesar 5,3%, maka didapat perkiraan inflasi sebesar 7%. Versi Bank Indonesia (BI) hampir sama, yaitu jika kenaikan sebesar Rp1.000, inflasi tahun ini akan menjadi sekitar 6,8% sementara jika kenaikannya Rp1.500, inflasi akan menjadi 7,1%.

Jika dibanding dengan periode yang lalu, secara ekonomi, kenaikan kali ini lebih baik. Artinya, dampak makroekonominya cenderung terjaga (manageable). Mengingat kondisi makro kita juga sedang dalam posisi bagus. Di tengah tarik-menarik soal harga BBM, nampaknya tidak akan mempengaruhi penilaian lembaga pemeringkat terhadap prospek perekonomian Indonesia. Standard & Poor’s (S&P) diproyeksikan akan memberikan predikat investment grade kepada kita, dalam beberapa bulan ke depan.

Sebagaimana diketahui, dua lembaga pemeringkat lainnya, yaitu Fitch Ratings dan Moody’s Investors Service, sudah memberikan predikat level investasi pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini. Jika ketiga lembaga pemeringkat paling besar dunia sudah memberikan predikat tersebut, niscaya modal asing akan semakin deras masuk ke Indonesia, sehingga bunga pinjaman surat utang bisa semakin turun. Dengan demikian, semakin tersedia alternatif pendanaan pembangunan.

Momentum tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemerintah. Salah satunya, untuk mengembangkan politik energi yang baik. Selama ini kita terlalu bertumpu pada energi fosil. Sementara,potensisumber daya alternatif terbuka sangat lebar, karena Indonesia kaya akan akan sumber daya air, angin dan cahaya matahari. Energi panas bumi (geotermal), merupakan salah satu alternatif yang paling mungkin dikembangkan, mengingat potensi panas bumi Indonesia diperkirakan sebesar 28.000 megawatt, sekitar 40% dari potensi dunia. Nilai tersebut sama dengan 1,1 juta barel minyak per hari.

Jika energi panas bumi dikembangkan, paling tidak bisa untuk menghidupi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di daerah Jawa– Bali dan Sumatra. Sehingga, tak menggantungkan pada sumber daya solar dan batu bara. Saat ini, kapasitas terpasang PLTP baru sebesar 1.214 MW. Sudah saatnya pemerintah mengembangkan strategi “bauran energi”, yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan sumber daya energi, sekaligus menurunkan ketergantungan pada BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar