Bang Maman
dan Kegalauan Masyarakat
Sukemi, Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi
Media
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 23 April 2012
DALAM
waktu yang tidak berselang lama, setelah mencuatnya buku lembar kerja siswa
(LKS) muatan lokal yang ditemukan di SD Angkasa Halim Perdanakusuma, Jakarta
Timur, tentang Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta, yang memuat kisah Bang
Maman dari Kali Pasir, kembali kita dikejutkan dengan ditemukannya buku SMA di
Sukabumi, yang isinya terkait dengan paham ideologi bangsa ini.
Entah
sudah berapa kali kisruh isi buku mengemuka dan berulang, serta memunculkan
kegalauan di masyarakat. Kita kemudian berpikir, jangan-jangan peristiwa ini
seperti fenomena `gunung es' yang sesungguhnya cukup besar dan baru diketahui
di bagian permukaannya saja.
Empat Jenis
Sedikitnya
ada empat jenis buku yang ada di lingkungan sekolah. Pertama, buku teks yang
menjadi buku wajib pegangan peserta didik; kedua, buku pegangan guru; ketiga,
buku pengayaan untuk kebutuhan siswa dan guru; dan keempat, buku lembar kerja
siswa khusus untuk peserta didik yang hari-hari ini menjadi pembicaraan karena
isinya telah membuat orang tua dan masyarakat galau, mengingat bagian naskah
dari cerita itu tidak layak disodorkan sebagai bahan bacaan siswa yang baru
duduk di kelas dua.
Dalam
konteks tanggung jawab dan pengawasan, siapa yang semestinya terlibat dengan
keempat jenis buku yang ada di lingkungan sekolah itu sebenarnya jelas. Pusat
Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pen didikan dan Kebudayaan
telah membuat aturan pengawasan dan tanggung jawabnya.
Puskurbuk
melakukan penilaian terhadap buku-buku yang diusulkan para penerbit. Penilaian
dilakukan hanya pada layak tidaknya buku itu dengan kategori yang sudah
disepakati dalam pemberian bintang; tiga, dua, atau satu bintang.
Ada
dua jenis penilaian perbukuan di lingkungan Kemendikbud. Pertama, jika
buku-buku tersebut dikategorikan buku teks (termasuk di dalamnya buku teks yang
menjadi buku wajib pegangan bagi peserta didik dan buku pegangan guru), yang
melakukan penilaian adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang
kemudian penggunaannya ditetapkan Menteri.
Kedua,
jika buku dikategorikan nonteks pelajaran dan buku pengayaan, penilaian
dilakukan Puskurbuk melalui tim independen yang kemudian penggunaannya
ditetapkan Kapuspurbuk. Prosedurnya, penerbit mengajukan buku untuk dinilai,
kemudian tim melakukan penilaian. Mereka berasal dari para ahli independen di
masyarakat.
Butir-butir
instrumen penilaian buku itu meliputi komponen kelayakan materi, komponen kelayakan
penyajian, komponen kelayakan bahasa, dan komponen kelayakan grafi ka. Setiap
komponen memiliki skor yang akan menentukan layak tidaknya buku tersebut. Buku
dinyatakan tidak layak jika total skor dari komponen itu kurang dari 100,
sedangkan buku dengan skor di atas 140 diberi bintang tiga (sangat bagus),
122-140 bintang dua (bagus), dan 100-122 bintang satu (cukup).
Bagaimana
dengan buku LKS? LKS merupakan buku yang semestinya disiapkan dan dibuat guru
karena bagian tidak terpisahkan dari kemandirian guru untuk menyiapkan latihan
soal atau tugas dalam lembar kerja siswa. Buku jenis ini biasanya disiapkan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) sehingga pengawasan dan tanggung jawab
sepenuhnya ada pada guru atau MGMP.
Terkait
dengan buku pengayaan yang bisa menjadi inspirasi, itu harus dipahami sebagai
upaya untuk saling menimba pengalaman melalui buku. Yang masuk kategori itu
tentu saja bisa diklasifikasikan, buku apa saja yang tentu punya nilai positif
bagi pembacanya.
Terkait
dengan pengadaan buku pengayaan, prinsip dasar yang diberikan ialah bagaimana
memberikan pilihan dengan beragamnya jenis dan judul buku sebanyak mungkin
sesuai dengan dasar-dasar keilmuan dengan nilai-nilai demokratisasi. Dengan
demikian, itu ibarat manajemen warung Padang, pemerintah menyajikan dan
menyediakan banyak pilihan untuk dipilih sesuai dengan kebutuhan. Pihak
sekolah, termasuk guru, diberi kebebasan untuk memilih.
Karena
itu, dalam kasus buku LKS Bang Maman dari Kali Pasir, yang diterbitkan
penerbit, guru, pengarang, pihak sekolah, dan juga penerbit harus bertanggung
jawab. Kita tidak bisa membiarkan anak didik diracuni. Karena itu, kita akan
meluncurkan tim kombinasi antara inspektorat dan kawan-kawan litbang, untuk
melacak penerbit siapa dan pengarang siapa sebagai bagian yang harus
mempertanggungjawabkan. Termasuk, guru dan pemikiran dengan cerita-cerita yang
tidak layak dikonsumsi sesuai dengan usia. Jika materi tidak sesuai, LKS itu
harus ditarik.
Ibarat Oksigen
Sebagai
jendela ilmu, kehadiran buku pada hakikatnya bebas nilai dan merupakan
kebutuhan dasar manusia dalam melengkapi perkembangan keilmuan.
Buku
pada hakikat nya guru karena buku adalah ilmu yang dituliskan. Oleh karena itu,
sesungguhnya tidak ada pendidikan tanpa buku. Sebagai bagian dari education for all, harus diambil pula
idiom books for all.
Selain
itu, buku sebagai sebuah informasi. Tesis besarnya ialah kebutuhan dasar
manusia. Karena itu, menjadi hak tiap orang untuk mendapatkannya. Itu sebabnya
buku bisa diibaratkan sebagai oksigen. Tentunya, semua orang ingin menghirup
oksigen yang bersih yang segar. Jangan sampai masyarakat menghirup oksigen yang
terkontaminasi karena bisa membawa penyakit.
Atas
dasar itu pula kita berharap para penerbit, pengarang, dan masyarakat yang
peduli terhadap dunia perbukuan bisa menjamin bahwa buku yang dibuat, dicetak,
diedarkan, dan diperjualbeli kan adalah buku yang punya nilai positif, yang
dapat memengaruhi kehidupan masyarakat lebih baik lagi. Dengan kata lain, harus
bisa menjamin oksigen yang berupa buku itu murni dan menyehatkan sehingga
ujungnya ialah bagaimana peran buku dalam membangun optimisme masyarakat,
optimisme bangsa.
Pada
titik inilah orang dewasa, entah itu pengarang, orangtua, guru, atau penerbit,
bisa memahami keberadaan buku terutama buku-buku yang diperuntukkan bagi
peserta d didik dan berada di lingkungan d dunia pendidikan.
Ke
depan, para penulis dan penerbit buku juga harus bisa menyiapkan buku-buku
khusus untuk mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, bukubuku pendidikan
karakter, dan buku-buku entrepreneurship (kewirausahaan) yang sangat dibutuhkan
saat ini untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Bagi
Kemendikbud, kita berharap kehadiran buku dapat meningkatkan program minat
baca. Arah yang akan dijalankan ialah availability,
accessibility, dan quality. Itu
sebabnya, dalam hal penyediaan buku, yang harus pula dipikirkan ialah bagaimana
buku yang sudah ada dan tersedia dapat diakses masyarakat dengan mudah.
Artinya, harganya murah sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat, selain
kualitas isinya juga baik.
Perlu Ditata
Buku
sebagai `oksigen' memang sesuatu yang diidealkan. Namun jika melihat pasar
perbukuan dan banyaknya pengarang buku yang demikian tumbuh dinamis, terutama
buku-buku untuk kebutuhan pendidikan, kiranya ke depan Kemendikbud perlu
melakukan penataan.
Sebagai
regulator di bidang pendidikan, tidak ada salahnya ke depan Kemendikbud
memperbarui dan membuat aturan-aturan yang sifatnya dapat mengakomodasi dan
memberikan panduan bagi percetakan atau penerbit, maupun pengarang.
Memang
aturan yang ada sekarang sudah cukup baik, tapi diyakini dengan dinamisnya
perkembangan dunia perbukuan dan penerbitan, serta bertambah banyaknya jumlah
pengarang, diperlukan payung aturan yang perlu disempurnakan atau memang
benar-benar baru.
Dari
payung baru itu, hal yang paling penting dan harus didahulukan ialah aturan
yang trkait dengan pengarang atau penulis buku. Ini penting karena kehadiran
buku yang diharapkan sebagai ‘oksigen’ sangat ditentukan dari konten atau
muatan dalam buku itu sendiri, dan itu ada pada tangan dan diri penulis atau
pengarang.
Karena
itu, ke depan--tanpa bermaksud mendahului aturan yang harus dibuat dan juga
tanpa ingin menciptakan birokrasi baru--seorang pengarang atau penulis buku
untuk dunia pendidikan harus mendapatkan semacam sertifi kat yang didapat dari
hasil uji kompetensi.
Kompetensi
yang harus dimiliki tentu tidak sebatas mengerti dan memahami materi dari buku
yang ditulis (baca: kemampuan akademik) serta mampu merangkai kata menjadi
kalimat dalam bahasa yang mudah dimengerti untuk berbagai tingkatan peserta
didik (baca: kemampuan linguistik), tapi juga mengerti dan memahami psikologi
pendidikan dan psikologi anak.
Kemampuan
komprehensif ini penting, mengingat kehadiran buku di lingkungan dunia
pendidikan amat strategis. Salah saja di dalam kita mengemas dan menyajikannya,
kasus seperti Bang Maman dan buku SMA di Sukabumi akan terulang. Ke depan kita
berharap kasus-kasus seperti itu tidak akan terulang lagi. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar