Selasa, 04 Agustus 2015

Trialog

Trialog

Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 02 Agustus 2015 

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu yang lalu, masih dalam suasana lebaran, sebagian pemudik sudah balik ke Jakarta, tetapi belum pada kerja, masih nyantai-nyantai di rumah.

Saya seperti biasa olahraga jalan kaki, pagi-pagi, keliling kompleks perumahan saya dan kampung-kampung di sekitar kompleks. Di salah satu kampung itu, tempat permukiman orang Betawi, sambil berjalan santai, saya mencuri dengar percakapan dua ibu muda. Ibu yang pertama (Ibu I) sedang membawa jalan-jalan anak balitanya (sekitar umur 2,5 tahun) dan melewati rumah ibu yang kedua (Ibu II), yang sedang santai berdiri di pintu pagar rumahnya, sambil menonton orang-orang yang lewat (tentunya termasuk saya).

Ketika melihat Ibu I dengan balitanya, Ibu II menyapa si balita (bukan menyapa ibunya), ”Eeeeh.... baru pulang mudik, Neng?” ”Iya... bayu balik, kemayin, cing”, Ibu I menjawab dengan suara dicadelkan dan dikecilkan seakan suara anak bayi yang baru bisa ngomong. ”Seneng, dong. Ketemu sama siapa saja di Jawa, kamu Neng?” lanjut Ibu II (buat orang Betawi, Jakarta tidak terletak di Pulau Jawa, sehingga kalau mereka bilang Jawa, tidak termasuk Jakarta).

”Iya... cium tangan sama embah, sama Pak De....”, jawab Ibu I lagi, yang bukan orang Betawi, tetap dengan suara dicadelkan dan dikecilkan. Sementara itu si balita sendiri berdiri diam, kepalanya mendongak ke atas untuk melihat muka Ibu II yang mungkin kelihatannya aneh buat si balita. Dia tidak sadar bahwa dirinya sedang dijadikan wayang golek, dengan ibunya sendiri sebagai dalang dan Ibu I yang aneh itu sebagai lawan bicaranya.

Yang menarik dari pengalaman curi dengar saya di atas, adalah bahwa ketika Ibu I bertemu dengan Ibu II telah terjadi trialog, yaitu diskusi antartiga pihak yaitu Ibu I dan Ibu II dengan melibatkan balita, bukan dialog langsung antara Ibu I dan Ibu II. Walaupun si balita pasif, tidak ngomong apa-apa (ngomong saja belum bisa, kok), tetapi eksistensi atau keberadaannya diakui, bahkan diajak ngobrol oleh kedua ibu itu.

Buat saya gejala ini menarik, justru karena sering kita jumpai di Indonesia, tetapi hampir tidak pernah saya lihat di luar negeri. Di luar sana, ketika dua orang dewasa bertemu dan salah satunya membawa balita, percakapan tetap akan berlangsung antara dua orang dewasa itu. Salah satu contoh yang saya masih ingat adalah ketika saya masih kuliah di Edinburgh, Skotlandia (Inggris).

Edinburgh adalah kota yang sangat cantik. Bagian tercantik dari kota itu adalah sebuah taman rumput yang sangat luaaaas... di tengah-tengah kota. Taman yang dinamakan the Princess Garden ini terletak di sebuah lembah, dikelilingi bukit di keempat sisinya. Di atas bukit di sisi selatan tegak menjulang Istana Edinburgh, tempat bersemayamnya Duke of Edinburgh, yaitu Pangeran Philips, suami Ratu Elizabeth II yang sekarang sedang bertakhta.

Sepanjang bukit di sisi utara, terentang deretan toko-toko di sepanjang Princess Street, dan di ujung sebelah timur Princess Street adalah railway station yang sangat antik, mirip stasiun kereta api dalam novel Harry Potter, si ahli sihir. Nah, pada suatu pagi yang cerah di musim panas, saya duduk di salah satu bangku yang disediakan berderet-deret untuk pengunjung yang ingin memandangi taman dan Istana Edinburgh.

Saya memegangi sejumlah buku yang mau saya baca untuk membuat tugas, tetapi mata saya lebih rajin memandangi pasangan- pasangan lawan jenis yang sedang asyik bergumul di atas rumput (yang kalau di Indonesia sudah disensor). Pada saat itu di bangku dekat saya duduk seorang ibu muda juga (saya namakan Mom I) yang sedang mengasuh anak bayinya yang terlena di dalam kereta bayinya (di Inggris dinamakan ”pram”) sambil membaca novel entah apa judulnya (waktu itu belum ada Harry Potter).

Tidak lama datang seorang wanita setengah baya (saya namakan saja Mom II), yang minta izin untuk duduk di sebelah Mom I. Mom I dengan ceria mempersilakan Mom II, dan si Mom II pun mengambil tempat duduk sambil mengucapkan beberapa kata basa-basi tentang bayi yang sedang pulas, tetapi dia tidak mengajak bayi itu bercakap-cakap melainkan mengajak langsung Mom I berdialog (karena hanya melibatkan dua orang, namanya bukan trialog), dan seperti setiap orang Inggris di manapun, mereka selalu membuka percakapan dengan topik cuaca.

Mom II, ”What a wonderful morning, to day, isnWhat a wonderful morning, to day, isnt” Mom I, ”Yeah, it is not like this every day, is it ” Mom II, ”No, just last week we had the chilliest summer in British history” dan seterusnya the conversation goes on and on (maaf, yang gak ngerti bahasa Inggrisnya cari saja di Google Translate, ya). Memang orang Skotlandia terkenal ramah, jadi di mana-mana cepat berteman.

Jadi pertanyaannya mengapa ibu-ibu di Kampung Betawi, kok gak ngomongin cuaca, malah ngajak ngomong anak balita yang belum bisa ngomong, sementara para Mom di Inggris sana, malah sibuk serius bicarakan cuaca? Perbedaan ini tidak dapat diterangkan begitu saja dengan ilmu psikologi umum, karena selain perilaku manusia yang universal ada perilaku-perilaku yang khusus, yang terkait dengan kebiasaan dan kebudayaan lokal.

Karena itulah 10-20 tahun terakhir ini muncul cabang psikologi baru, yaitu psikologi ulayat (Indigenous Psychology) yang mempelajari perilaku khusus dalam kaitan budaya tertentu, dan psikologi lintas budaya, yang membandingkan perilaku antarbudaya.

Itulah sebabnya banyak politisi atau pejabat ditingkat pusat (Jakarta) yang sering keblinger dalam membuat keputusan-keputusan, karena yang dipahami oleh orang Jakarta, belum tentu yang berlaku di daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar