Kamis, 20 Agustus 2015

Perang!

Perang!

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
                                                       KOMPAS, 19 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada perubahan signifikan sistem perekonomian Tiongkok. Negara ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat ini sedang mencari pijakan baru menyengsarakan banyak negara di dunia. Pelemahan mata uang renminbi (uang rakyat, juga disebut sebagai yuan), proses yang sudah berlangsung lama, di tengah memburuknya situasi ekonomi Tiongkok karena rendahnya ekspor, menjadi ancaman serius banyak negara.

Tindakan Tiongkok kali ini menghadirkan kenyataan baru ketika depresiasi yuan berhadap-hadapan dengan upaya stabilisasi pemerintahan komunis RRT dalam skema yang lazim disebut sebagai you guanli fudong huilu zhidu (sistem mengelola nilai tukar mata uang). Artinya, kita memasuki era fluktuasi mata uang dari hari ke hari ketika bank sentral Zhongguo Renmin Yinhang (Bank Rakyat Tiongkok) memengaruhi nilai tukar melalui jual-beli mata uang dan dikenal juga sebagai dirty float.

Tiongkok melakukan depresiasi yuan sebagai langkah melakukan liberalisasi perdagangan yuan, memperoleh peran dalam special drawing rights (SDR) dalam keranjang mata uang dunia sistem Dana Moneter Internasional (IMF), serta jalan utama RRT menuju globalisasi yuan membebaskan diri dari mata uang dollar AS. Masalahnya, upaya ini memiliki risiko tambahan karena mata uang yang bergerak bebas sering kali menjauh dari keinginan pemerintah.

Celakanya, perubahan mata uang yuan terhadap dollar AS selama beberapa tahun ini langsung berdampak pada apresiasi mata uang dunia lainnya. Terhadap mata uang Jepang yen, misalnya, apresiasi yuan sudah mencapai sekitar 80 persen. Jadi, batas yang diberlakukan atas fluktuasi yuan sekitar 4 persen relatif sangat kecil berbanding dengan dollar AS.

Ada beberapa hal menjadi perhatian kita. Pertama, benar ada indikasi kebijakan ekonomi RRT sedang bergerak menuju liberalisasi. Namun, indikasi lain yang terjadi adalah kebijakan politik dan sosial di negara berpenduduk terbesar di dunia ini sedang mengarah ke bentuk otokrasi yang sesungguhnya.

Kedua, melemahnya yuan juga cerminan menurunnya perekonomian Tiongkok. Perlu diingat, Tiongkok adalah negara komunis dengan berbagai informasi dikendalikan mesin agiprop (agitasi dan propaganda) yang puluhan tahun bekerja mengendalikan massa rakyat. Apakah betul depresiasi yuan berkisar 4 persen seperti yang diumumkan Pemerintah RRT?

Kalau ada keraguan atas data yang dinyatakan oleh Beijing, pertanyaannya adalah, berapa persen sebenarnya laju pertumbuhan PDB Tiongkok sekarang ini? Bulan Juli lalu, penjualan mobil di Tiongkok turun 7 persen, begitu juga pasar komoditas dan industri yang rontok selama tiga tahun terakhir ini.

Tindakan depresiasi yuan sudah mulai menggelisahkan banyak negara, termasuk Indonesia, ketika rupiah melemah secara drastis. India, Afrika Selatan, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, ataupun Vietnam sudah mulai mengancam akan membalas ketika dampak apresiasi yuan mengganggu perekonomian negara-negara tersebut. Bisa dibayangkan, defisit perdagangan Indonesia sebesar 14 miliar dollar AS dengan RRT akan berubah menjadi angka berapa?

Ada beberapa faktor yang menjelaskan kegelisahan berbagai negara dunia dengan tindakan unilateral apresiasi yuan. Pertama, upaya Tiongkok ini merupakan bagian strategi disebut jie chuan chuhai (meminjam perahu berlayar ke lautan) sebagai cara membangun jaringan distribusi di dalam sistem negara asing untuk mengawasi dan menyalurkan produk sendiri.

Kedua, kalau melihat struktur investasi Tiongkok di sejumlah negara di dunia, selama beberapa tahun terakhir ini investasi RRT yang mencapai 1 triliun dollar AS terkonsentrasi di energi, transportasi, dan besi-besian. Di Indonesia, dalam kurun 10 tahun investasi RRT sebesar 31,6 miliar dollar AS terkonsentrasi pada energi (16,8 miliar dollar AS), besi (9,3 miliar dollar AS), dan transportasi (3,5 miliar dollar AS).

Artinya, melemahnya banyak mata uang negara-negara Asia dan Afrika memberikan kemudahan bagi investor RRT memperoleh keperluan sumber dayanya secara murah melalui berbagai penanaman modal badan usaha negaranya. Ini yang menjelaskan niatan inisiatif RRT konsep ”satu sabuk satu jalan” (OBOR) membangun proyek infrastruktur secara masif.

Ketiga, samar-samar mulai terlihat apa yang ingin dilakukan RRT adalah mengembangkan apa yang disebut sebagai ”zona yuan” (renminbi qu) dimulai dengan negara-negara tetangga yang ”mudah diatur.” Regionalisasi renminbi akan menjadi peluang penting sebagai saluran pembuangan persoalan ekonomi domestik yang terus merosot secara tajam, khususnya penyediaan lapangan kerja.

Bisa dipastikan kalau tidak ada perbaikan memadai dalam nilai tukar mata uang berbagai regional yang terkungkung dalam pertarungan yuan-dollar AS, sebuah perang baru akan muncul. Berbagai tindakan balasan akan bermunculan, melibatkan banyak pemain (termasuk Jepang dengan ekonomi yang terkapar) memasuki siklus baru penataan ulang ekonomi dan perdagangan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar