Selasa, 04 Agustus 2015

Muhammadiyah di Abad Kedua

Muhammadiyah di Abad Kedua

Hajriyanto Y Thohari ;   Wakil Ketua MPR 2009-2014
                                                       KOMPAS, 03 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Muhammadiyah menggelar muktamar ke-47, 3-7 Agustus 2015, di Makassar. Muktamar pertama di abad yang kedua usianya ini bertema ”Gerakan Pencerahan menuju Indonesia Berkemajuan”, sebuah tema yang menggambarkan wilayah kepeduliannya yang mengatasi batas-batas golongan, suku, etnis, dan agama.

Sebagai gerakan yang telah berumur 103 tahun, bukan masanya lagi bagi Muhammadiyah memperkatakan nasionalisme, patriotisme, inklusivisme, dan pluralisme secara verbal dengan segala jargon kenes seperti yang dilakukan anak-anak baru gede. Muhammadiyah tak lagi berada pada fase diskursif, tetapi sudah lama dalam fase praksis. Ketika orang berwacana tentang toleransi, moderasi, keterbukaan, atau pluralisme, Muhammadiyah mendirikan Universitas Muhammadiyah Sorong (9.000 mahasiswa), Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan Kabupaten Sorong (3.000 mahasiswa), Universitas Muhammadiyah Kupang (4.000 mahasiswa),di mana sivitas akademikanya 55 persen-80 persenberagama Kristiani.

Ketika orang berpidato dengan gagah tentang pentingnya nasionalisme dan patriotisme, Muhammadiyah pada 1918 sudah mendirikan Padvinder Muhammadiyah alias kepanduan Hizbul Wathan (HW), yang namanya saja artinya adalah Tentara dan Pembela Tanah Air. Kiai Ahmad Dahlan tidak menamakannya dengan Kepanduan Hizbullah atau Hizbul Islam, tetapi Hizbul Wathan. Itu artinya jauh sebelum Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan RI (1945), Muhammadiyah sudah menanamkan nilai-nilai cinta Tanah Air kepada bangsanya.

Sangat meyakinkan HW secara ideologis sangatlah patriotik dan nasionalistik. Tak heran jika pada masa lalu, yang tidak terlalu jauh, banyak perwira dan jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah alumnus HW. Fenomena ini adalah sebuah truisme belaka. Pasalnya, Bapak TNI Panglima Besar Jenderal Sudirman adalah pimpinan HW dan pendiri organisasi Pemuda Muhammadiyah (1938). Dari sudut pandang ini, mungkin dapat dikatakan bahwa dalam tubuh TNI mengalir darah Hizbul Wathan Muhammadiyah dan, sebaliknya, dalam tubuh Muhammadiyah juga mengalir darah patriotisme TNI.

Semangat patriotisme inilah yang menjadikan banyak tokoh Muhammadiyah dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Bahkan, Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan, sebagai suami-istri, secara bersama-sama menjadi pahlawan nasional. Tidak mengherankan juga jika Muhammadiyah dari dulu banyak melahirkan dan mewakafkan kader-kader bangsa untuk negara ini. Roh cinta Tanah Air HW ini pula yang mengilhami Ir H Djuanda, kader Muhammadiyah, mengeluarkan Deklarasi Djuanda (1957) yang sangat monumental, yang kemudian diterima dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, tahun 1982.

Memberi sebanyaknya

Dalam sepanjang usia seabad ini, Muhammadiyah tak pernah kehilangan elan vitalnya. Sebagai gerakan, Muhammadiyah terus melaju menuju cita-citanya untuk mewujudkan cetak birunya berdasarkan pandangan dunianya untuk—meminjam ajaran Pak Harran, guru SD Muhammadiyah Gentong, Belitung, kepada sepuluh muridnya dalam film Laskar Pelangi—”memberi sebanyak-banyaknya”. Laksana sebuah lari maraton, tongkat estafet kepemimpinan boleh saja berganti dan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya, tetapi tetap saja Muhammadiyah terus berjalan ke depan, kadang berlari tak pernah henti, untuk memberi dan mengabdi kepada umat, bangsa, dan negara.

Dalam rangka itulah, Muhammadiyah terus berkembang dan kini telah menjelma menjadi gurita raksasa gerakan sosial Islam. Volume aktivitas pergerakan Muhammadiyah telah menjadi sedemikian besar dan mencakup wilayah yang sedemikian luas. Muhammadiyah kini telah menjadi, meminjam kata-kata Tamim Ansary dalam Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes (2009), sebuah narasi besar: cerita atau deskripsi besar dari suatu rangkaian kejadian dan peristiwa.

Sebagai ahli waris tradisi Muslim, lagi-lagi meminjam Tamim Ansary, Muhammadiyah memang dipaksa mencari makna sejarahnya dalam kekalahan: kekalahan negerinya dari Belanda yang memecundangi negeri ini selama—benar atau salah, mitos atau realitas—350 tahun dan kekalahan dari apa yang disebut dengan dunia Islam atas dunia Barat, baik secara ekonomi, politik, dan militer, maupun peradaban sampai hari.

Muhammadiyah mencari makna sejarahnya bukan dalam kemenangan negerinya, Indonesia, juga bukan dalam kemajuan dari apa yang disebut dunia Islam itu sendiri. Meski demikian, Muhammadiyah, toh, tetap menjadi pemain utama di gelanggang sejarah Indonesia dan dunia Islam, betapa pun sedemikian tak adanya kata terakhir ini dalam kenyataan.

Muhammadiyah kini telah menjelma menjadi sebuah gerakan raksasa yang berwajah banyak dalam rangka merekonsiliasikan keimanan dan tindakan nyata melalui banyak aktivitas di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, dan peradaban. Semua itu adalah proyek-proyek sosial untuk menjembatani kesenjangan antara Islam dalam cita-cita (ideal Islam) yang serba anggun dan Islam sejarah (historical Islam) yang serba terbelakang. Mengutip kata-kata Dr Alfian dalam disertasi doktornya, Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadiyah Movement During the Ductch Colonial Period 1912-1942 (1969), Muhammadiyah sebagai gerakan sosial bertujuan memodernisasi umat Islam agar terangkat dari ketertinggalannya sehingga mencapai kedudukan yang terhormat dan posisi terpenting di negara ini.

Muhammadiyah memiliki cetak biru sebagai narasi besar untuk memajukan umat dengan tawarannya yang oleh Ahmad Dahlan disebut sebagai ”Islam yang berkemajuan”. Sangat meyakinkan bahwa untuk mewujudkan cetak biru itu, gerakan ini memerlukan bukan hanyakepemimpinan dan kader-kader yang berkualifikasi tinggi yang siap terjun di semua arena kehidupan, melainkan juga strategi kebudayaan.

Strategi kebudayaan penting karena ada kecenderungan Muhammadiyah mengalami kemiskinan instrumen budaya untuk memperkokoh kohesivitas gerakan. Tanpa instrumen budaya, Muhammadiyah tak bisa menghadapi problem dalam memobilisasi gerakan secara sistematis sekaligus sistematisasi yang dinamis. Sebuah narasi besar harus dihela oleh orang yang sungguh-sungguh paham dan menghayati gerakan ke arah mana hendak menuju.

”Noblesse oblige”

Kini kader-kader Muhammadiyah harus tampil ke depan dengan gigih dan ambisi yang besar. Kader Muhammadiyah harus tetap berpikir dalam wawasan kebangsaan dan terus mengintegrasikan diri dalam arus kebangsaan secara paripurna.

Jangan melayani wacana yang menghabiskan energi untuk meratapi kontestasi dan konflik ideologi prolog dan epilog formasi ideologi nasional tahun 1940-an sampai 1950-an. Kader Muhammadiyah harus bekerja keras untuk menjamin tegak dan utuhnya republik ini dan memantapkan dasar-dasar konstitusional Republik Indonesia, yakni Pancasila dan UUD 1945.

Harus disadari bahwa utuhnya Indonesia bukanlah sesuatu yang taken for granted, melainkan harus terus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan terencana secara sistematis. Betapa benarnya hal itu, terlebih lagi jika kita melihat fakta tambahan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan mungkin yang paling majemuk di dunia. Pluralisme yang multidimensional, tersegmentasi, dan terfragmentasi ini telah membentuk mosaik keindonesiaan yang sangat indah dan memesona, tetapi sekaligus rawan akan skisma manakala tidak dikelola dengan hati-hati.

Pemahaman bahwa Indonesia ini majemuk atau pluralis perlu dimajukan lagi. Jika sebelumnya pluralisme hanyalah kesadaran bahwa kita terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda, kini harus diberi pemahaman baru, yaitu menjadikan pluralisme sebagai prosedur hidup bersama secara nyaman.

Dengan menjadikan pluralisme sebagai pandangan hidup seperti ini, diperlukan strategi kebudayaan yang jitu. Sebagaimana kata sebuah adagium, noblesse oblige (dalam kedudukan yang tinggi ada tanggung jawab), demikianlah Muhammadiyah: tidak boleh lari dari tanggung jawab dalam proyek panjang mewujudkan Indonesia yang berkemajuan.

Dalam konteks dan perspektif ini, Muhammadiyah tidak boleh menghabiskan energi untuk melayani polemik-polemik sektarian warisan lama pasca Perang Shiffin (657 M) dengan Tahkim-nya itu. Alih-alih Muhammadiyah harus tampil ke depan sebagai perekat persaudaraan kebangsaan dan peredam konflik primordial dan sektarian dengan amal-amal nyata (da’wah bi lisani ’l-hal).

Dalam hal ini pun Muhammadiyah harus tetap mempertahankan diri sebagai kekuatan nyata dengan karakter lama, ”sedikit bicara banyak kerja”, yang menjadi semboyan kepanduan HW itu. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar