Mengembalikan Wibawa Peradilan Indonesia
Frans H Winarta ;
Ketua Umum PERADIN;
Guru Besar FH Universitas Pelita
Harapan
|
KORAN
SINDO, 06 Agustus 2015
Para pendiri bangsa (founding fathers) pastilah akan kecewa
melihat situasi peradilan di Indonesia saat ini. Di mana ihwal yang tidak
seharusnya dilakukan serta ihwal yang seharusnya dihindari malah dibenarkan
dan semakin dilegitimasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sampai 2015 sudah ada belasan
advokat yang ditangkap serta divonis oleh pengadilan akibat suap. Hal ini
juga mempermalukan citra profesi advokat sebagai profesi yang seharusnya
terhormat (officium nobile).
Lembaga peradilan Indonesia saat ini diibaratkan seperti benang ruwet.
Korupsi yudisial terjadi dari
pusat pemerintahan Jakarta hingga pelosok daerah. Dari pejabat tinggi negara
hingga petugas administrasi di kelurahan. Dari pengusaha kelas kakap hingga
pengendara bermotor yang kena tilang di jalan. Yang menyedihkan adalah
bentuk-bentuk korupsi tersebut seolah dibenarkan karena telah terbiasa.
Sistem yang bobrok menjadi terbentuk karena kesalahkaprahan tersebut.
Bagaimanapun permasalahan yang ada
harus dengan sabar diurai meski membutuhkan waktu yang lama. Siapa yang salah
bukanlah yang terpenting, melainkan bagaimana solusinya agar ke depan ini
bisa diberantas melalui program revolusi mental pemerintah saat ini.
Kemajuan
Pemberantasan Korupsi
Melihat pada apa yang terjadi
dalam perkara suap di PTUN Medan, di mana pihak yang beperkara diduga
melakukan korupsi yudisial juga ditangkap oleh KPK, merupakan sebuah kemajuan
besar dalam proses pemberantasan korupsi saat ini.
Biasanya hanya hakim, jaksa,
advokat yang ditangkap, namun tidak untuk pencipta skenario (doen pleger) yang berada di belakang
layar. Pemberantasan korupsi hingga ke akarnya inilah yang diperlukan bagi
penegakan hukum dan reformasi hukum di Indonesia.
Sungguh ironis, sebagai negara
yang begitu religius, Indonesia malahan menjadi salah satu negara paling
korup di antara 174 negara lain menurut survei Lembaga Transparency International (TI) 2014. Indonesia mendapatkan skor
34 di mana skor 100 dianggap negara paling bersih dan skor paling rendah
berarti negara paling korup.
Jauh tertinggal dari skor negara
Denmark (92) dan Singapura (84). Sangat disayangkan wibawa peradilan
Indonesia masih rendah, padahal pengadilan merupakan masa depan Indonesia, di
mana putusan-putusan pengadilan harus dibuat seadil-adilnya dengan
kebijaksanaan (wisdom) hakim sebagai
ruhnya.
Sebagai hakim, polisi, jaksa,
advokat, janganlah menerima suap meski lembaran-lembaran berwarna hijau itu
terlihat begitu menggiurkan. Tidak dipungkiri bahwa kesejahteraan keluarga
mungkin merupakan salah satu pertimbangandilakukannya korupsiyudisial
tersebut.
Namun,
perlu diingat kembali bahwa bangsa ini tidak akan menjadi bangsa yang besar
jika keserakahan telah merasuki para wakil Tuhan ini, bukan moral dan
integritas. Bukan keadilan dan kebenaran yang diberikan hakim kepada pencari keadilan
(justitiabelen), namun sebaliknya,
ketidakpastian hukum.
Moral
dan integritas haruslah dipupuk sedini mungkin, sekaligus rasa malu dan
gengsi untuk melakukan tindakan korupsi yudisial. Pendidikan di Indonesia
tidaklah kalah saing dengan negara-negara lainnya.
Yang
terpenting sumber daya manusia kita haruslah unggul sehingga pola pikir dan
mental yang dibentuk tidaklah tertinggal dengan sumber daya manusia di
negara-negara maju.
Revolusi
mental harus dimulai dari penegak hukum Indonesia. Hukum adalah sumber dari
segala keteraturan dan ketertiban sosial. Jika hukum berhasil ditegakkan
tanpa pandang bulu, keteraturan dan ketertiban sosial akan tercapai.
Seperti
yang dikemukakan Roscoe Pound, fungsi hukum adalah sebagai rekayasa sosial.
Hukum janganlah berada di belakang mengikuti perkembangan masyarakat. Hukum
harus berada di depan dan menjadi pionir bagi masyarakat, membentuk kebiasaan
dalam masyarakat, serta mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang
tunduk dan menghormati hukum (law as a
tool of social engineering).
Lembaga
peradilan dapat berperan besar dalam membentuk suatu masyarakat adil dan
makmur melalui putusan-putusannya yang memengaruhi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Singapura merupakan negara yang berhasil mempraktikkan hukum
sebagai rekayasa sosial.
Awal
1950-an hukum belum ditegakkan di Singapura sehingga narkoba, prostitusi, dan
kejahatan merajalela. Namun, lihatlah negara Singapura saat ini, menjadi
salah satu negara yang disegani di Asia, bahkan dunia karena keteraturan dan
ketertibannya serta penegakan hukum yang konsisten.
Pembangunan
mereka dimulai dari pembangunan hukum, disusul pembangunan ekonomi, keuangan,
industri, dan teknologi tinggi. Ini berbanding terbalik dengan pembangunan
kita.
Tindakan
konkret harus dilakukan Presiden RI bersamasama dengan Mahkamah Agung RI,
KPK, Polri, KY, serta organisasi advokat secara bersinergi untuk memahami
dengan benar visi revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan
begitu, semangat revolusi mental yang merupakan wujud kepedulian pemerintah
terhadap masa depan bangsa dapat tercapai.
Pemerintah
dan lembaga peradilan dipisah untuk tujuan checks and balances antara
eksekutif dan yudikatif dengan tujuan saling mengawasi satu sama lain, namun
tetap selaras dalam satu tujuan politik hukum yaitu memberantas korupsi
melalui revolusi mental para penegak hukum dan hakim.
Perlu
dilakukan gerakan radikal antikorupsi yang tidak hanya sebagai jargon. Di
negeri makmur yang berasaskan Pancasila iniperluditingkatkankampanye
antikorupsi dan suap. Sementara perlu direnungkan kembali apa yang Soekarno
sekali waktu pernah ucapkan dalam pidatonyadulu, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu
akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.
Semoga
revolusi mental dan gerakan anti korupsi ini tidak menjadi jargon kosong
belaka tetapi direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar