Rabu, 05 Agustus 2015

Gurun

Gurun

Goenawan Mohamad ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                     TEMPO.CO, 03 Agustus 2015    

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di sebuah gurun pasir, seorang gembala menyingkir dari kemarahan seorang nabi. Dalam kisah terkenal Jalaluddin Rumi ini—dalam kitab Masnawi—Musa mendengar doa yang aneh dari mulut gembala itu: "Oh, Tuhan, di manakah Kau? Bolehkah aku jadi sahaya-Mu, menjahit kasut-Mu dan menyisir rambut-Mu? Bolehkah aku mencuci baju-Mu dan membasmi kutu-Mu dan membawakan-Mu susu?...."

Bagi Musa, doa yang terlampau bergelora itu awal kekafiran: menyamakan Tuhan dengan manusia yang butuh air susu adalah sikap yang kurang ajar.
Maka Musa berteriak: "Sumbat mulutmu dengan kain!.... Kalau tak kauhentikan tenggorokanmu memuntahkan kata-kata seperti itu, api akan datang dan membakar orang-orang...."

Mendengar itu si gembala berhenti berdoa. "Ah, Musa, telah kaubakar sukmaku dengan penyesalan...."

Ia pun merobek gamisnya dan seraya napasnya melenguh dalam, ia menengok ke ujung gurun dan dengan seketika pergi.

Di saat itu, demikian dikisahkan Rumi, Tuhan menegur Musa: "Telah kaupisahkan hamba-Ku dari Aku. Engkau datang untuk merukunkan, atau untuk meretakkan? Jangan kau memisah-misahkan; hal yang Aku benci adalah perceraian. Telah Kuberikan kepada tiap orang bentuk ekspresi yang tersendiri.... Aku tak bergantung pada kemurnian maupun najis, tak bergantung pada kemalasan maupun kegairahan sembahyang."

Mendengar teguran Tuhan, Musa bergegas lari ke tengah gurun mengejar sang gembala. Ketika mereka bertemu lagi, sang Nabi memberitahukan kabar gembira itu: "Sudah datang perkenan Tuhan: kau tak perlu mencari aturan atau cara untuk sembahyang. Ungkapkan saja apa yang dikehendaki hatimu."

Tapi—dan ini yang tak disangka-sangka dari dongeng Rumi ini—sang gembala menjawab: "Ah, Musa, aku telah melampaui itu: aku kini tenggelam, berendam, dalam air mata tangisku."

Sang gembala tak hendak kembali ke dalam acuan Musa. Nabi itu tetap bertumpu pada "perkenan", perizinan, sabda. Dengan kata lain: rumusan hukum. Sang gembala lebih menyukai keakraban yang total dengan Tuhan yang dicintainya. Masnawi Rumi tampaknya menunjukkan bahwa Musa—yang dalam Alkitab dikisahkan sebagai penerima 10 Aturan Tuhan—tak memahami sepenuhnya apa yang dikatakan Tuhan: "Mereka yang memperhatikan aturan berbicara dan berperilaku adalah satu hal; mereka yang terbakar oleh cinta [kepada Tuhan] adalah hal lain."

Sang gembala tak mau menyerah kepada jalan yang dianggap linear: hukum. Ia memilih tinggal di gurun. Di tengah bentangan pasir dan batu karang itu, batas-batas tak jelas. Juga tak penting. Garis lurus bisa ditarik tanpa ada barat atau timur. Ke arah mana menghadap Tuhan? "Di dalam Ka'bah," tulis Rumi, "perlukah kepastian kiblat?"

Saya pernah membaca sebuah pembahasan yang menganggap gurun dalam bagian Masnawi ini sebagai sebuah kiasan yang penting ketika berbicara tentang iman—yang sering disederhanakan dan disebut sebagai "agama".

Beberapa ratus tahun setelah Rumi, Derrida menampilkan lagi imaji itu. Dalam La Religion, ketika membahas pengalaman religius manusia, ia menyebut "gurun di dalam gurun": ketika manusia mengalami secara total "ketiadaan", ketika aku, dalam pengalaman mistis itu, seakan-akan hilang tanpa jejak, lebur dalam haribaan Yang Lain.

"Gurun di dalam gurun" itu, sebagaimana umumnya agama-agama, mengandung janji, pengharapan yang "messianik": nun nanti di ufuk sana, di bawah kaki langit, ada Yang Lain ke mana kita tabah dan tawakal akan sampai. Tapi janji itu tak bisa digambarkan lebih dulu. Ia mengisyaratkan sesuatu yang tak terhingga.

Bersama itu, "gurun di dalam gurun" itu juga khôra: "tempat" yang bukan tempat, sesuatu yang sama sekali berbeda dari apa pun. Dengan kata lain, dalam iman selalu terkandung hal-hal yang tak bisa diringkas tapi memanggil kita untuk terus-menerus mencari. Bersama itu pula kita mengenal dan menghargai apa yang mustahil namun bernilai—misalnya janji Keadilan yang akan datang.

Dengan demikian iman mengandung keberanian—yang umumnya pudar ketika diringkus jadi sebuah sistem dan ditertibkan dengan hukum-hukum yang menjaga jalan lurus. Dalam The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion, John D. Caputo menggambarkan "agama" dalam pemikiran Derrida sebagai "sebuah iman tanpa dogma yang maju dengan risiko di dalam malam yang gelap pekat".

Malam di gurun....

Jauh dari padang pasir, hidup di antara pantai kepulauan dan samudra, mungkin bagi kita lebih pas metafora lain untuk menggambarkan iman yang tanpa dogma: lautan. Iman yang tak dibatasi sistem adalah samudra yang merupakan kancah gerak yang tak pernah berhenti. Arah hanya dikenal di bintang-bintang. Ombak seakan-akan itu-itu juga, tapi sesungguhnya senantiasa berbeda, berubah. Itu sebabnya lautan, yang menampung air dari pelbagai sungai, sebenarnya tak pernah bernama, sampai datang para penakluk dan pembuat peta.

Iman memang kemudian diberi label ("Islam", "Kristen", "Yahudi", "Hindu", dan sejenisnya). Ia diletakkan dalam sebuah peta. Tapi ibarat lautan, ia tetap mengandung risiko. "Unggahlah muatan dan berangkatlah berlayar," tulis Rumi. "Tak seorang pun bisa tahu pasti akankah kapal tenggelam atau sampai ke pelabuhan."

Dalam ketakpastian itulah keyakinan, atau iman, menyatakan diri. Itu berarti ia lebih kuat ketimbang konsep dan ajaran. "Berapa banyak lagi kalimat, konsep, dan kiasan? Aku inginkan api yang membakar, membakar, membakar"—Masnawi 2: 1760.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar