Gurun
Goenawan Mohamad ;
Esais; Mantan Pemimpin Redaksi
Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
03 Agustus 2015
Di sebuah gurun pasir, seorang gembala menyingkir dari
kemarahan seorang nabi. Dalam kisah terkenal Jalaluddin Rumi ini—dalam kitab Masnawi—Musa
mendengar doa yang aneh dari mulut gembala itu: "Oh, Tuhan, di manakah
Kau? Bolehkah aku jadi sahaya-Mu, menjahit kasut-Mu dan menyisir rambut-Mu?
Bolehkah aku mencuci baju-Mu dan membasmi kutu-Mu dan membawakan-Mu
susu?...."
Bagi Musa, doa yang terlampau bergelora itu awal
kekafiran: menyamakan Tuhan dengan manusia yang butuh air susu adalah sikap
yang kurang ajar.
Maka Musa berteriak: "Sumbat mulutmu dengan kain!....
Kalau tak kauhentikan tenggorokanmu memuntahkan kata-kata seperti itu, api akan
datang dan membakar orang-orang...."
Mendengar itu si gembala berhenti berdoa. "Ah, Musa,
telah kaubakar sukmaku dengan penyesalan...."
Ia pun merobek gamisnya dan seraya napasnya melenguh
dalam, ia menengok ke ujung gurun dan dengan seketika pergi.
Di saat itu, demikian dikisahkan Rumi, Tuhan menegur Musa:
"Telah kaupisahkan hamba-Ku dari Aku. Engkau datang untuk merukunkan,
atau untuk meretakkan? Jangan kau memisah-misahkan; hal yang Aku benci adalah
perceraian. Telah Kuberikan kepada tiap orang bentuk ekspresi yang
tersendiri.... Aku tak bergantung pada kemurnian maupun najis, tak bergantung
pada kemalasan maupun kegairahan sembahyang."
Mendengar teguran Tuhan, Musa bergegas lari ke tengah
gurun mengejar sang gembala. Ketika mereka bertemu lagi, sang Nabi
memberitahukan kabar gembira itu: "Sudah datang perkenan Tuhan: kau tak
perlu mencari aturan atau cara untuk sembahyang. Ungkapkan saja apa yang
dikehendaki hatimu."
Tapi—dan ini yang tak disangka-sangka dari dongeng Rumi
ini—sang gembala menjawab: "Ah, Musa, aku telah melampaui itu: aku kini
tenggelam, berendam, dalam air mata tangisku."
Sang gembala tak hendak kembali ke dalam acuan Musa. Nabi
itu tetap bertumpu pada "perkenan", perizinan, sabda. Dengan kata
lain: rumusan hukum. Sang gembala lebih menyukai keakraban yang total dengan
Tuhan yang dicintainya. Masnawi Rumi tampaknya menunjukkan bahwa Musa—yang
dalam Alkitab dikisahkan sebagai penerima 10 Aturan Tuhan—tak memahami
sepenuhnya apa yang dikatakan Tuhan: "Mereka yang memperhatikan aturan
berbicara dan berperilaku adalah satu hal; mereka yang terbakar oleh cinta
[kepada Tuhan] adalah hal lain."
Sang gembala tak mau menyerah kepada jalan yang dianggap
linear: hukum. Ia memilih tinggal di gurun. Di tengah bentangan pasir dan
batu karang itu, batas-batas tak jelas. Juga tak penting. Garis lurus bisa
ditarik tanpa ada barat atau timur. Ke arah mana menghadap Tuhan? "Di
dalam Ka'bah," tulis Rumi, "perlukah kepastian kiblat?"
Saya pernah membaca sebuah pembahasan yang menganggap
gurun dalam bagian Masnawi ini sebagai sebuah kiasan yang penting ketika
berbicara tentang iman—yang sering disederhanakan dan disebut sebagai
"agama".
Beberapa ratus tahun setelah Rumi, Derrida menampilkan
lagi imaji itu. Dalam La Religion, ketika membahas pengalaman religius
manusia, ia menyebut "gurun di dalam gurun": ketika manusia
mengalami secara total "ketiadaan", ketika aku, dalam pengalaman
mistis itu, seakan-akan hilang tanpa jejak, lebur dalam haribaan Yang Lain.
"Gurun di dalam gurun" itu, sebagaimana umumnya
agama-agama, mengandung janji, pengharapan yang "messianik": nun
nanti di ufuk sana, di bawah kaki langit, ada Yang Lain ke mana kita tabah
dan tawakal akan sampai. Tapi janji itu tak bisa digambarkan lebih dulu. Ia
mengisyaratkan sesuatu yang tak terhingga.
Bersama itu, "gurun di dalam gurun" itu juga
khôra: "tempat" yang bukan tempat, sesuatu yang sama sekali berbeda
dari apa pun. Dengan kata lain, dalam iman selalu terkandung hal-hal yang tak
bisa diringkas tapi memanggil kita untuk terus-menerus mencari. Bersama itu
pula kita mengenal dan menghargai apa yang mustahil namun bernilai—misalnya
janji Keadilan yang akan datang.
Dengan demikian iman mengandung keberanian—yang umumnya
pudar ketika diringkus jadi sebuah sistem dan ditertibkan dengan hukum-hukum
yang menjaga jalan lurus. Dalam The Prayers and Tears of Jacques Derrida:
Religion without Religion, John D. Caputo menggambarkan "agama"
dalam pemikiran Derrida sebagai "sebuah iman tanpa dogma yang maju
dengan risiko di dalam malam yang gelap pekat".
Malam di gurun....
Jauh dari padang pasir, hidup di antara pantai kepulauan
dan samudra, mungkin bagi kita lebih pas metafora lain untuk menggambarkan
iman yang tanpa dogma: lautan. Iman yang tak dibatasi sistem adalah samudra
yang merupakan kancah gerak yang tak pernah berhenti. Arah hanya dikenal di
bintang-bintang. Ombak seakan-akan itu-itu juga, tapi sesungguhnya senantiasa
berbeda, berubah. Itu sebabnya lautan, yang menampung air dari pelbagai
sungai, sebenarnya tak pernah bernama, sampai datang para penakluk dan
pembuat peta.
Iman memang kemudian diberi label ("Islam",
"Kristen", "Yahudi", "Hindu", dan sejenisnya).
Ia diletakkan dalam sebuah peta. Tapi ibarat lautan, ia tetap mengandung
risiko. "Unggahlah muatan dan berangkatlah berlayar," tulis Rumi.
"Tak seorang pun bisa tahu pasti akankah kapal tenggelam atau sampai ke
pelabuhan."
Dalam ketakpastian itulah keyakinan, atau iman, menyatakan
diri. Itu berarti ia lebih kuat ketimbang konsep dan ajaran. "Berapa
banyak lagi kalimat, konsep, dan kiasan? Aku inginkan api yang membakar,
membakar, membakar"—Masnawi 2: 1760. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar