Sabtu, 14 September 2013

Si Dul, Anak Musisi Asli

Si Dul, Anak Musisi Asli
Ahmad Syafi’i Mufid  ;   Peneliti Utama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama, Juara Pertama Keluarga Sakinah Teladan Nasional 2013
KORAN SINDO, 14 September 2013



Si Doel (Dul), Anak Betawi Asli—dongeng rakyat Betawi yang sangat legendaris— itu, kini seakan mengalami transformasi budaya. Jika dulu Si Doel kerjaannya sembahyang dan mengaji, kini hampir semua ”Si Doel”—anak-anak yang lahir dan besar di Betawi— kerjaannya bukan sembahyang dan mengaji, tapi main musik dan menyanyi. 

Budaya Pop Barat dan Pop Korea yang bergelimang kemewahan dan kecantikan/ kegantengan, kini telah membius warga ”Betawi” untuk hidup seperti idola-idola mereka. Tari dan nyanyian pop telah berhasil menggantikan tradisi ngaji Alquran di surau-surau di sekujur wilayah DKI. Sanggar tari dan nyanyi telah menggantikan surau untuk sosialisasi dan pelestarian budaya Betawi asli. 

Transformasi budaya inilah yang menjadikan ”Si Dul” Anak Musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianty, menjadi ”ikon” anak-anak Betawi masa kini! Si Dul yang belia, masa depannya telah terbayang indah karena tak lama lagi ia akan menjadi ikon penyanyi pop terkenal karena ayah dan ibunya adalah penyanyi, musisi, dan penggubah lagu. 

Ayah ibunya yang bertangan dingin dalam melahirkan penyanyi populer di Indonesia, niscaya akan mengorbitkan anaknya kelak ketika usia anaknya (Al, El, dan Dul) sudah cukup matang untuk menjadi penyanyi pop terkenal di Indonesia. Uang dan popularitas seakan sudah niscaya berada dalam genggaman Si Dul 

Tapi, apa yang terjadi setelah tragedi Si Dul yang menewaskan enam orang di tol Jagorawi, Ahad pagi lalu? Ternyata di sana terkuak segudang masalah! Si Dul Anak Musisi Asli, ternyata— pinjam istilah Kak Seto—adalah seorang anak yang salah asuh. Keretakan rumah tangga orang tuanya membuat Si Dul mengalami keretakan sosial. 

Di pihak lain, Ahmad Dhani—orang tua yang tidak mendapat hak asuh secara hukum, berhasil melecehkan hukum dengan secara sepihak mengklaim dirinya sebagai pihak yang pantas mendapat hak asuh untuk Si Dul. Istrinya, Maia, tak bisa berbuat apa-apa, konon untuk mengurangi konflik berkepanjangan dengan suaminya. Begitulah—setelah ”mendapat hak asuh ilegal” Ahmad Dhani pun memanjakan anaknya. 

Di usia amat dini, Si Dul tidak hanya diajari musik dan nyanyi, tapi juga menyetir mobil. Usia sembilan tahun, Si Dul sudah mampu menyetir mobil. Untuk menunjukkan kasih sayangnya, si bungsu pun diberikan mobil mewah Mitsubishi Lancer EX keluaran terbaru dan dibiarkannya menyetir mobil sendiri di jalan umum. Padahal, usia Dul baru 13 tahun, yang tak memungkinkannya mendapatkan SIM dari Polda Metro Jaya. 

Menyetir mobil memang gampang. Siapa pun bisa, termasuk anak-anak yang tubuhnya sudah cukup. Tapi, menyetir mobil bukan sekadar bisa dan tidak secara fisik, tapi juga bisa dan tidak secara psikologis. Setir mobil memang bisa dikendalikan, tapi psikologis? Itulah yang tidak dimiliki anak-anak. Dalam kondisi tertentu—entah ada ketegangan, pikiran kacau, atau marah—anak-anak sulit mengendalikan faktor psikologisnya sehingga amat berbahaya dalam mengemudikan kendaraan bermotor. 

Dalam konteks inilah, kenapa Si Dul tidak bisa menguasai kendaraannya, meski dalam kondisi sadar dia sebetulnya bisa menyetir mobil. Akibatnya, kecelakaan pun tak terhindarkan. Enam orang tewas akibat mobil Si Dul yang tak bisa dikendalikan menabrak mobil minibus Daihatsu Gran Max. Siapa yang salah? Pertanyaan ini jawabnya panjang dan penuh perdebatan! Tapi satu hal yang pasti, Si Dul adalah korban kehidupan metropolitan. 

Orang-orang kaya metropolitan banyak yang beranggapan, kasih sayang kepada anak bisa didekati dengan pemberian uang dan barang-barang yang disukainya. Sekolah dan guru dianggap sebagai pihak yang bisa membimbing dan mendidik anaknya. Padahal, anakanak berada di sekolah hanya 5–7 jam saja. Selebihnya anakanak berada di luar sekolah. Jika berada di luar sekolah, jelas itu merupakan tanggung jawab orang tua. 

Tapi sayangnya, orang-orang tua di kota metropolitan banyak yang menyibukkan diri untuk urusan-urusan pribadi dan bisnisnya. Pendidikan anak telah diserahkan ke sekolah dan pembantu rumah tangga! Apa jadinya? Anak-anak mengalami keterasingan dengan lingkungannya. Kompensasinya: jika anak-anak yang berasal dari keluarga biasa pelampiasannya tawuran, maka anak-anak dari keluarga kaya kompensasinya minum-minuman keras di diskotek, kebut-kebutan mobil, dan menenggak pil psikotropika. 

Akhirnya tragedi ”Si Dul Anak Musisi” mengingatkan kita bahwa anak-anak tidak hanya butuh uang, tapi juga butuh kasih sayang. Dan, kasih sayang itu bukan mewujud dalam limpahan barang mahal dan mewah, tapi mewujud dalam bentuk perhatian dan keteladanan yang benar. Dan, apa yang disebut keteladanan dan perhatian yang benar, semuanya merujuk kepada ajaran agama, moral, dan tata krama kehidupan. 

Dari sudut pandang nama sang anak musisi—Abdul Qadir Jailani—Ahmad Dhani sebetulnya punya harapan mulia: ingin anaknya menjadi seorang yang alim dan sufistik. Abdul Qadir Jailani adalah seorang sufi agung dari Irak yang dikenal sebagai Sayyidul Aulia, pemimpin para wali. Jika pemberian nama terhadap anak adalah cermin harapan orang tua, maka Ahmad Dhani sesungguhnya telah memberikan amanah untuk ”Si Dul” agar belajar agama yang baik sehingga kelak menjadi orang alim dan saleh seperti Syaikh Abdul Qadir Jailani. 

Tapi rupanya ”jalan hidup” tidak seindah harapan! Dunia musik dan artis pop masa kini telah membawa Ahmad Dhani dalam kehidupan glamor yang lebih duniawi ketimbang ukhrawi. Dan, Tuhan tampaknya tengah mengingatkan Ahmad Dhani akan harapan terhadap putra bungsunya itu. Dengan demikian, secara sufistik, kecelakaan yang menimpa Si Dul, merupakan ”peringatan sekaligus berkah” terhadap Ahmad Dhani dan Maia Estianty untuk kembali merenungi perjalanan hidupnya. 

Kemampuan bermusik dan bernyanyi yang luar biasa dari Maia dan Dhani hendaknya menjadi jalan untuk mendekat kepada Tuhan, bukan sebaliknya. Itulah hikmah di balik tragedi Si Dul Anak Musisi. Dalam Islam, banyak sufi yang dikenal juga sebagai penyair dan musisi. Salah satunya yang amat terkenal adalah Maulana Jalaluddin Rumi yang makamnya kini berada di Turki. Rumi dengan puisi dan syairnya telah menyadarkan Timur dan Barat akan keindahan hidup religius dan spiritual. 

Lirik lagu dan musik oleh Rumi jadi sarana untuk bermunajat kepada Tuhan— munajat untuk bagaimana mendapatkan cinta Ilahi, bukan ”Munajat Mendapatkan Cinta Perempuan”-nya Ahmad Dhani. Tentu saja hikmah itu bukan hanya untuk Ahmad Dhani dan Maia Estianty. Siapa pun dapat mengambil hikmah dari kasus tersebut. Tuhan selalu ingin memperbaiki jalan hidup hambahamba-Nya yang beriman! ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar