|
“Indonesia masuk fase kedua
pembangunan..., tetapi kemakmurannya bertumpu semata pada ekstraksi sumber daya
alam. Adapun Singapura dan Malaysia bertumpu pada inovasi atau dalam transisi
menuju ke sana.” Tajuk Rencana ”Kompas”
(6/9/2013)
Inovasi menjadi kunci penting kalau
satu negara ingin maju. Isu bahwa pembangunan ekonomi tidak lagi digerakkan
oleh sumber daya alam, tetapi oleh sumber daya manusia sudah lama dicanangkan.
Tajuk Rencana Kompas di
atas berkaitan dengan naiknya posisi RI dari ke-50 ke ke-38 dalam The Global Competitiveness Reports
(GCR) 2013-2014 Forum Ekonomi Dunia (WEF), September.
GCR 2013-2014 menekankan pentingnya
aspek inovasi. Ide yang mengedepankan aspek inovasi amat perlu merangsang
pertumbuhan negara-negara. Bagi negara seperti RI, ini agar jadi strategi
pembangunan untuk tak sekadar mengorek perut bumi.
Namun, pendekatan ini perlu
dicermati, yang saya batasi hanya dalam perspektif inovasi, satu dari 12 pilar
yang menentukan daya saing itu. Ke-11 pilar lain adalah kelembagaan,
infrastruktur, makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan
lanjutan dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar kerja,
perkembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, skala pasar, dan kecanggihan
bisnis.
Inovasi dalam GCR disebut pilar
ke-12, terdiri atas tujuh subpilar. Tujuh subpilar itu adalah kapasitas
melakukan inovasi, kualitas lembaga penelitian ilmiah, pendanaan perusahaan
untuk melakukan riset, kolaborasi universitas dan industri dalam riset,
pengadaan pemerintah untuk produk-produk berteknologi maju, ketersediaan
saintis dan insinyur; serta aplikasi paten melalui Patent Cooperation Treaty
(PCT). Hanya beberapa subpilar yang akan dibahas di sini.
Karena meninggalkan aspek negara
maju dan negara berkembang, dalam beberapa hal tampak kedudukan RI jauh di atas
beberapa negara maju atau negara berkembang yang sedang maju pesat. Misalnya,
dalam hal kapasitas berinovasi, RI menduduki tempat ke-24, melompat dari posisi
ke-30. Jadi, RI berada di atas negara-negara maju: Kanada (27), Italia (31),
Eslandia (32), Spanyol (57), juga Hongkong (29), China (30), dan India (41).
Dikaitkan dengan invensi, yang bisa
berasal dari inovasi, China, misalnya, adalah negara yang aplikasi paten
warganya terbesar di seluruh dunia, mengalahkan AS, Jepang, dan Uni Eropa. Di
RI, pendaftaran paten oleh WNI tak lebih dari 5 persen dari keseluruhan
aplikasi paten. Ke mana hasil inovasi itu? Memang bisa saja inovasi tidak
membuahkan invensi layak paten atau invensi itu tidak dipatenkan.
Inovasi
berlimpah
Berkaitan dengan penilaian atas
kualitas lembaga penelitian saintifik, RI di posisi ke-46, naik 10 peringkat
dari tahun sebelumnya. Jika demikian, mudah-mudahan semua masalah yang melilit
bidang penelitian sudah beres. Itu karena belum lama ini Prof Zuhal, Ketua
Komite Inovasi Nasional, masih mengeluhkan rendahnya anggaran penelitian yang
cuma 0,15 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Mengenai sejauh mana bisnis dan
perguruan tinggi berkolaborasi dalam riset dan pengembangannya, RI ada di kursi
ke-30, juga melompat 10 jenjang. Di bawah RI ada Perancis (32), China (33),
India (47), Spanyol (48), dan Italia (59). Jika demikian, mestinya perguruan
tinggi kita sudah maju karena terlibat intensif dalam riset dengan
perusahaan-perusahaan.
Dipersoalkan pula sejauh mana
keputusan pembelian oleh pemerintah memajukan inovasi. RI naik ke posisi ke-25
(sebelumnya ke-29), di atas negara terpandang, seperti Belanda (26), Swiss
(36), Belgia (45), Austria (47). Eslandia (53), Kanada (55), Inggris (56),
Australia (57), Perancis (60), dan India (92). Boleh jadi inovasi di
negara-negara tersebut sudah berlimpah. Jika demikian, lalu apa artinya
pemeringkatan?
Lantas, sejauh mana ketersediaan
saintis dan insinyur? Pertanyaan ini terlalu sederhana, dikaitkan dengan
sejumlah kekhususan yang melekat pada negara. RI dapat posisi ke-40, naik luar
biasa dari sebelumnya di posisi ke-51, di atas Belanda (41) dan China (44),
negara-negara yang jumlah penduduknya berbeda tajam. Apa arti posisi tinggi RI
dalam ketersediaan tenaga saintifik dan insinyur ini?
Tingginya posisi RI dalam beberapa
subpilar di atas tak menolong dalam hal aplikasi paten melalui PCT. PCT adalah
kesepakatan internasional untuk memudahkan pendaftaran paten di beberapa
negara. Di sini, RI terjatuh dari kursi 101 ke 103. Ini tak mengherankan:
aplikasi paten WNI tak sampai 5 persen dari keseluruhan aplikasi paten
domestik.
Jadi, WEF sudah tepat menggunakan
inovasi sebagai basis utama penilaian. Namun, lembaga itu perlu
mengejawantahkan konsep ini secara tepat dan jelas sehingga tidak menimbulkan
paradoks. Kita perlu dengan cermat memahami keadaan agar tidak terjebak karena
pemaknaan yang salah. Itu karena betapapun posisi RI sudah naik, ia tetap
berada di bawah Malaysia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar