Rabu, 25 September 2013

Bagaimana Mengurangi Jumlah Mobil?

Bagaimana Mengurangi Jumlah Mobil?
Kristiya Kartika ;  Ketua Umum Inkindo 2002-2006
MEDIA INDONESIA, 25 September 2013


JUDUL tulisan ini tidak ada kaitannya dengan kebijakan tentang industri mobil, termasuk mobil murah yang ramah lingkungan. Juga tidak bermaksud membuat patah semangat upaya menggalakkan mobil nasional. Judul ini hanya berpretensi jika kepemilikan mobil dibatasi, tentu mengurangi tingkat kemacetan di jalan raya. Perlu dicari upaya yang objektif-rasional agar masyarakat dalam beraktivitas tidak bergantung kepada penggunaan mobil pribadi.

Terlepas dari tingkat kesanggupan ekonomi untuk membeli mobil, realitas pada masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta dan sekitarnya, hampir setiap anggota keluarga memerlukan mobil pribadi. Berbagai kebutuhan membuat mobil pribadi menjadi pilihan rasional.

Menetapkan kebijakan yang bermuara pada pembatasan penggunaan mobil oleh masyarakat, meski untuk waktu-waktu tertentu, merupakan pilihan yang kurang adil. Membatasi secara eksplisit kepemilikan atas mobil, juga kurang tepat. Pilihan yang paling tepat ialah diciptakan suasana yang mendukung, mendorong, dan merangsang agar masyarakat dari berbagai lapisan bergairah bepergian menuju tempat kerja, ke sekolah, shopping, maupun ke tempat-tempat lain dengan murah, tenang, dan aman. Kebijakan itu tidak berisi `larangan', tetapi `rangsangan' untuk memilih cara baru yang lebih baik.

Suasana semacam itu bisa tercipta dengan dibangun secara besar-besaran sarana dan prasarana bagi masyarakat umum seperti mass rapid transit (MRT), monorel, jalur bus khusus, dan jalan layang bagi pejalan kaki yang bisa dinikmati dan menarik. Pengguna sarana dan prasarana tersebut tidak berdesakan, tidak kepanasan, tidak kehujanan, tidak kegelapan, tidak mencekam, dan tidak bayar, serta bisa memperpendek jarak. Jadi, sarana/prasarana jalan layang untuk pejalan kaki bukan hanya berfungsi untuk penyeberangan jalan.

Paradigma baru

Sejak Joko Widodo (Jokowi) menjadi Gubernur DKI, konsentrasi pada masalah infrastruktur transportasi bagi mayoritas warga Jakarta dan sekitarnya menjadi sangat terasa. Ada perbedaan strategis tentang konsep penanganan transportasi di Jakarta antara Jokowi-Ahok dan para pendahulu mereka.
Paradigma lama yang masih digunakan di Indonesia khususnya untuk Jakarta pada era sebelumnya memprioritaskan pembangunan jaringan jalan/jembatan baru sebagai jalan keluar menghadapi kemacetan atau kerumitan lalu lintas. Postulat (dalil) yang digunakan bahwa dengan membangun jaringan jalan/jembatan baru, dampak pertambahan kepemid likan atas mobil oleh masyarakat yang pasti mengakibatkan makin macetnya lalu lintas bisa diatasi.

Titik beratnya bukan bagaimana masyarakat diberi pilihan baru agar dalam bepergian tidak harus menggunakan mobil pribadi. Sebenarnya sudah banyak opini yang diajukan berbagai kalangan, yang pada intinya mengkritisi paradigma lama tersebut. Namun kenyataannya, sampai saat terakhir pun masih ada beberapa yang belum bisa menerima perlunya sebuah paradigma baru. Yang terjadi kemudian, sebuah jalan layang di kawasan Jakarta Selatan yang baru beberapa waktu diresmikan, kini sudah meng alami kemacetan.

Memang paradigma lama cenderung bersifat elitis. Hanya mencari jalan keluar dari kemacetan yang dialami anggota masyarakat kelas menengah ke atas, khususnya pemilik mobil pribadi. Adapun anggota masyarakat strata menengah ke bawah yang tidak memiliki dan tidak mengandalkan mobil pribadi sebagai alat transportasi sehari-hari kurang diperhatikan. Kemacetan itu juga membebani anggota masyarakat menengah ke bawah yang makin banyak menggunakan alat transportasi umum. Artinya, jalan/jembatan yang setiap saat dibangun tetap saja didominasi oleh mobil-mobil pribadi, sementara kendaraan transportasi umum dilarang memasuki jalan-jembatan tertentu.

Paradigma baru yang sudah harus diterapkan, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, ialah membangun dalam kapasitas besar moda transportasi umum yang sejuk, bersih, aman, tepat waktu, dan murah dengan trayek dari pinggiran kota ke arah yang mendekati pusat kota. Moda transportasi yang sudah direncanakan sudah tepat, yaitu pembangunan MRT serta peningkatan kualitas dan kuantitas jalur khusus bus (bus way). Sementara di pusat kota, peran monorel yang ada connection dengan MRT dan bus way sangat penting. Di samping itu sangat penting mem bangun jalan layang khusus bagi pejalan kaki dalam jarak yang jauh, misalnya dari kawasan yang menghubungkan sepanjang Jalan Sudirman dan MH Thamrin. Jalan layang bagi pejalan kaki yang ada hubung an dengan MRT, bus way, bahkan monorel sebaiknya disertai pendingin udara, tertutup kaca dan beratap, terang, serta tidak bayar.

Membangun jalan layang bagi pejalan kaki sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, apalagi jika sampai di kawasan Senayan, bisa di posisi samping atas jalan Sudirman-Thamrin. Jika di Jalan Rasuna Said juga dibangun jalan layang untuk pejalan kaki, di samping monorel yang sudah direncanakan, bisa diperkirakan betapa banyak anggota masyarakat yang kesehariannya menggunakan moda transportasi tersebut, bukan mobil pribadi.

Bukan masalah teknis

Realisasi paradigma baru tidak akan terhadang masalah teknis. Baik teknis dalam konteks teknologi maupun teknis dalam makna pembiayaan. Untuk pembuktian tesis tersebut, kita bisa menggunakan dua kota di Asia Tenggara sebagai benchmark, yaitu Manila dan Kuala Lumpur. Dua kota tersebut tentu berbeda dengan Washington DC, Amsterdam, Paris, atau Tokyo.

Pada 1997-1998, ketika kita sedang sibuk dengan agenda politik yang bermuara pada lahirnya era reformasi, sebenarnya sejak sekitar 1994-an telah direncanakan pembangunan MRT dari Lebak Bulus ke Sudirman. Gagasan pentingnya membangun MRT juga mendapat lampu hijau Presiden Soeharto. Ternyata baru pada era Jokowi-Ahok menjadi pemimpin Ibu Kota, proyek tersebut mendapat perhatian serius lagi. Sekitar 2004, Presiden Megawati telah mencanangkan proyek monorel di lintas Senayan, yang faktanya telah dibangun beberapa persiapan konstruksi di sepanjang jalan di Senayan, Gatot Subroto, sampai Rasuna Said. Namun, ketika SBY menjadi presiden, proyek tersebut juga berhenti total. 

Sekali lagi baru setelah Jokowi-Ahok memimpin Jakarta, proyek tersebut menjadi prioritas kembali. Terhadap dua proyek yang bisa dikategorikan prorakyat itu, sesungguhnya semua pihak sama-sama mengakui tingkat urgensinya, tapi mungkin urgensi politik yang menjadi pertimbangan utama, sehingga masih terjadi kemacetan.

Di Manila dan Filipina pada umumnya, saat ini MRT yang membelah Kota Manila sangat membantu mengurangi kemacetan. Seperti di beberapa kota besar yang lain, MRT di Manila berpengaruh terhadap berkurangnya penggunaan mobil pribadi. Sementara di Kuala Lumpur, di samping jalan bebas hambatan yang membelah negeri dan menghubungkan langsung Singapura, Malaysia, dan Thailand, juga ada moda transportasi umum yang saling berhubungan yaitu monorel, MRT, dan jalan layang bagi pejalan kaki yang cukup panjang di tengah kota. Telah dibangun pula underpass yang berfungsi sebagai jalan tembus untuk mobil, yang sekaligus berfungsi sebagai terowongan yang menyalurkan air ke laut saat banjir.

Bahkan pada 2004, dalam sebuah forum resmi Asosiasi Perusahaan Konsultan Se-Asia-Pasifik, Presiden Asosiasi Perusahaan Konsultan Malaysia menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur di Malaysia telah selesai. Dalam arti semuanya sudah lengkap sesuai dengan target dan kebutuhan. Berikutnya hanya tinggal mengoperasikan dan memelihara infrastruktur yang sudah dibangun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar