|
JUDUL tulisan ini tidak ada kaitannya dengan kebijakan
tentang industri mobil, termasuk mobil murah yang ramah lingkungan. Juga tidak
bermaksud membuat patah semangat upaya menggalakkan mobil nasional. Judul ini
hanya berpretensi jika kepemilikan mobil dibatasi, tentu mengurangi tingkat
kemacetan di jalan raya. Perlu dicari upaya yang objektif-rasional agar
masyarakat dalam beraktivitas tidak bergantung kepada penggunaan mobil pribadi.
Terlepas
dari tingkat kesanggupan ekonomi untuk membeli mobil, realitas pada masyarakat
perkotaan, khususnya Jakarta dan sekitarnya, hampir setiap anggota keluarga
memerlukan mobil pribadi. Berbagai kebutuhan membuat mobil pribadi menjadi
pilihan rasional.
Menetapkan
kebijakan yang bermuara pada pembatasan penggunaan mobil oleh masyarakat, meski
untuk waktu-waktu tertentu, merupakan pilihan yang kurang adil. Membatasi
secara eksplisit kepemilikan atas mobil, juga kurang tepat. Pilihan yang paling tepat ialah diciptakan suasana yang mendukung, mendorong,
dan merangsang agar masyarakat dari berbagai lapisan bergairah bepergian menuju
tempat kerja, ke sekolah, shopping, maupun ke tempat-tempat lain dengan murah,
tenang, dan aman. Kebijakan itu tidak berisi `larangan', tetapi `rangsangan'
untuk memilih cara baru yang lebih baik.
Suasana
semacam itu bisa tercipta dengan dibangun secara besar-besaran sarana dan
prasarana bagi masyarakat umum seperti mass rapid transit (MRT), monorel, jalur
bus khusus, dan jalan layang bagi pejalan kaki yang bisa dinikmati dan menarik.
Pengguna sarana dan prasarana tersebut tidak berdesakan, tidak kepanasan, tidak
kehujanan, tidak kegelapan, tidak mencekam, dan tidak bayar, serta bisa
memperpendek jarak. Jadi, sarana/prasarana jalan layang untuk pejalan kaki
bukan hanya berfungsi untuk penyeberangan jalan.
Paradigma baru
Sejak
Joko Widodo (Jokowi) menjadi Gubernur DKI, konsentrasi pada masalah
infrastruktur transportasi bagi mayoritas warga Jakarta dan sekitarnya menjadi
sangat terasa. Ada perbedaan strategis tentang konsep penanganan transportasi
di Jakarta antara Jokowi-Ahok dan para pendahulu mereka.
Paradigma
lama yang masih digunakan di Indonesia khususnya untuk Jakarta pada era
sebelumnya memprioritaskan pembangunan jaringan jalan/jembatan baru sebagai
jalan keluar menghadapi kemacetan atau kerumitan lalu lintas. Postulat (dalil)
yang digunakan bahwa dengan membangun jaringan jalan/jembatan baru, dampak
pertambahan kepemid likan atas mobil oleh masyarakat yang pasti mengakibatkan
makin macetnya lalu lintas bisa diatasi.
Titik
beratnya bukan bagaimana masyarakat diberi pilihan baru agar dalam bepergian
tidak harus menggunakan mobil pribadi. Sebenarnya sudah banyak opini yang
diajukan berbagai kalangan, yang pada intinya mengkritisi paradigma lama
tersebut. Namun kenyataannya, sampai saat terakhir pun masih ada beberapa yang
belum bisa menerima perlunya sebuah paradigma baru. Yang terjadi kemudian,
sebuah jalan layang di kawasan Jakarta Selatan yang baru beberapa waktu
diresmikan, kini sudah meng alami kemacetan.
Memang
paradigma lama cenderung bersifat elitis. Hanya mencari jalan keluar dari
kemacetan yang dialami anggota masyarakat kelas menengah ke atas, khususnya
pemilik mobil pribadi. Adapun anggota masyarakat strata menengah ke bawah yang
tidak memiliki dan tidak mengandalkan mobil pribadi sebagai alat transportasi
sehari-hari kurang diperhatikan. Kemacetan itu juga membebani anggota
masyarakat menengah ke bawah yang makin banyak menggunakan alat transportasi
umum. Artinya, jalan/jembatan yang setiap saat dibangun tetap saja didominasi
oleh mobil-mobil pribadi, sementara kendaraan transportasi umum dilarang
memasuki jalan-jembatan tertentu.
Paradigma
baru yang sudah harus diterapkan, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, ialah
membangun dalam kapasitas besar moda transportasi umum yang sejuk, bersih,
aman, tepat waktu, dan murah dengan trayek dari pinggiran kota ke arah yang
mendekati pusat kota. Moda transportasi yang sudah direncanakan sudah tepat,
yaitu pembangunan MRT serta peningkatan kualitas dan kuantitas jalur khusus bus
(bus way). Sementara di pusat kota,
peran monorel yang ada connection
dengan MRT dan bus way sangat
penting. Di samping itu sangat penting mem bangun jalan layang khusus bagi
pejalan kaki dalam jarak yang jauh, misalnya dari kawasan yang menghubungkan
sepanjang Jalan Sudirman dan MH Thamrin. Jalan layang bagi pejalan kaki yang
ada hubung an dengan MRT, bus way,
bahkan monorel sebaiknya disertai pendingin udara, tertutup kaca dan beratap,
terang, serta tidak bayar.
Membangun
jalan layang bagi pejalan kaki sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, apalagi jika
sampai di kawasan Senayan, bisa di posisi samping atas jalan Sudirman-Thamrin.
Jika di Jalan Rasuna Said juga dibangun jalan layang untuk pejalan kaki, di
samping monorel yang sudah direncanakan, bisa diperkirakan betapa banyak
anggota masyarakat yang kesehariannya menggunakan moda transportasi tersebut,
bukan mobil pribadi.
Bukan masalah teknis
Realisasi
paradigma baru tidak akan terhadang masalah teknis. Baik teknis dalam konteks
teknologi maupun teknis dalam makna pembiayaan. Untuk pembuktian tesis
tersebut, kita bisa menggunakan dua kota di Asia Tenggara sebagai benchmark,
yaitu Manila dan Kuala Lumpur. Dua kota tersebut tentu berbeda dengan
Washington DC, Amsterdam, Paris, atau Tokyo.
Pada
1997-1998, ketika kita sedang sibuk dengan agenda politik yang bermuara pada
lahirnya era reformasi, sebenarnya sejak sekitar 1994-an telah direncanakan
pembangunan MRT dari Lebak Bulus ke Sudirman. Gagasan pentingnya membangun MRT
juga mendapat lampu hijau Presiden Soeharto. Ternyata baru pada era Jokowi-Ahok
menjadi pemimpin Ibu Kota, proyek tersebut mendapat perhatian serius lagi.
Sekitar 2004, Presiden Megawati telah mencanangkan proyek monorel di lintas
Senayan, yang faktanya telah dibangun beberapa persiapan konstruksi di
sepanjang jalan di Senayan, Gatot Subroto, sampai Rasuna Said. Namun, ketika
SBY menjadi presiden, proyek tersebut juga berhenti total.
Sekali lagi baru
setelah Jokowi-Ahok memimpin Jakarta, proyek tersebut menjadi prioritas
kembali. Terhadap dua proyek yang bisa dikategorikan prorakyat itu,
sesungguhnya semua pihak sama-sama mengakui tingkat urgensinya, tapi mungkin
urgensi politik yang menjadi pertimbangan utama, sehingga masih terjadi
kemacetan.
Di
Manila dan Filipina pada umumnya, saat ini MRT yang membelah Kota Manila sangat
membantu mengurangi kemacetan. Seperti di beberapa kota besar yang lain, MRT di
Manila berpengaruh terhadap berkurangnya penggunaan mobil pribadi. Sementara di
Kuala Lumpur, di samping jalan bebas hambatan yang membelah negeri dan
menghubungkan langsung Singapura, Malaysia, dan Thailand, juga ada moda
transportasi umum yang saling berhubungan yaitu monorel, MRT, dan jalan layang
bagi pejalan kaki yang cukup panjang di tengah kota. Telah dibangun pula
underpass yang berfungsi sebagai jalan tembus untuk mobil, yang sekaligus
berfungsi sebagai terowongan yang menyalurkan air ke laut saat banjir.
Bahkan
pada 2004, dalam sebuah forum resmi Asosiasi
Perusahaan Konsultan Se-Asia-Pasifik, Presiden Asosiasi Perusahaan
Konsultan Malaysia menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur di Malaysia telah
selesai. Dalam arti semuanya sudah lengkap sesuai dengan target dan kebutuhan.
Berikutnya hanya tinggal mengoperasikan dan memelihara infrastruktur yang sudah
dibangun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar