Rabu, 25 September 2013

Jalan di Atas Permukaan Laut

Jalan di Atas Permukaan Laut
Ngurah Karyadi ;  Aktivis, Mantan Direktur LBH Bali
JAWA POS, 25 September 2013



 berjalan di atas permukaan, kita tidak tahu apa di baliknya. Terasa begitu tiba-tiba. Begitulah proyek pembangunan jalan di atas perairan (JDP), yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai, Nusa Dua, dan Tanjung Benoa -yang kemudian diberi nama oleh SBY sebagai Bali Mandara. 

Badan usaha milik negara (BUMN) yang menggarap sepertinya memang sudah tidak melihat untung rugi. Proyek ini harus jadi tepat waktu dan sesuai target, yang diresmikan Presiden SBY, Senin (23/9). Ini sekaligus menandai kesiapan Indonesia selaku tuan rumah berbagai perhelatan internasional 2013 di Bali.

Proyek ini, menurut saya, jenis lain proyek mercusuar negeri ini. Dalam JDP ini, sebagian BUMN karya, yang dulu sering diberitakan terlibat kasus sogok-menyogok, seolah berlomba menebus dosa.

Seolah ''jalan di atas permukaan" ini juga menjadikan penggarapan proyek JDP menjadi yang tercepat pembangunannya dan tercantik penampilannya. Mudah-mudahan tidak sekadar polesan dan tidak cepat rusak, terlebih setelah diserahterimakan pengelolaannya kepada pemerintah, 45 tahun kemudian.

Proyek JDP diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk pembangunan jalan tol di atas laut lainnya. Seperti jalan tol yang akan menghubungkan basis industri di Kawasan Berikat Nusantara ke dermaga baru pelabuhan New Tanjung Priok di Kalibaru, Jakarta Utara, dan seterusnya. Sebagai bagian dari paket Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang akan jadi menu ''siap saji'' dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Pasific Economic Coorporation (KTT APEC), 7-9 Oktober 2013. 

Tercapainya target penyelesaian JDP memang sangat bersejarah. Betapa jauh bedanya dengan yang pernah terjadi di berbagai tempat. Di Surabaya, misalnya, pembangunan jalan tol sepanjang 12 km dari Waru ke Juanda, Surabaya, memakan waktu 12 tahun. Proyek jalan tol di Bali ini, dengan panjang yang kurang lebih sama, bisa diselesaikan hanya dalam waktu 14 bulan!

Dengan selesainya jalan tol di atas Laut Benoa ini, kendaraan dari arah bandara yang ingin menuju Nusa Dua tidak lagi harus berjubel melewati jalan satu-satunya sekarang ini. Kendaraan bisa langsung menuju bundaran, lalu naik ke jalan tol menuju tengah laut. Di tengah laut itu ada interchange yang cantik, bercabang-cabang, dan meliuk-liuk.

Di interchange tengah laut itu semua kendaraan bisa langsung memutar ke kiri menuju Sanur atau ke kanan ke arah Nusa Dua. Atau ke arah barat ke Bandara Ngurah Rai. Interchange yang melingkar-lingkar di atas laut itulah bagian yang paling indah dari proyek ini. 

Dahlan Iskan sungguh cocok dan puas atas kerja BUMN yang terlibat dalam proyek ini. Meski sering agak terasa kurang sopan, meledak-ledak, ngotot, logikanya sangat baik. Kalau berdebat suka melawan, tapi kalau keputusan sudah diambil, dia sangat loyal.

Presiden perlu menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada tim BUMN serta kepada para pekerja. Mereka inilah yang menemukan teknik dan melaksanakan bagaimana mempercepat pemancangan tiang di laut. Terutama teknik mengurangi ketergantungan kepada ponton. Pemancangan tiang dengan ponton tidak bisa dilakukan 24 jam. Pada saat air laut surut, pekerjaan harus berhenti. Dengan teknik ini mereka bisa bekerja 24 jam.

Masalah timbul kemudian. Setelah jalan tol ini selesai, muncul polemik hebat terkait proyek lain milik swasta murni. Yakni, konsesi kepada PT Tirta Rahmat Bahari (TRB) dan PT Tirta Wisata Bahari Indonesia (TWBI), yang mendapat konsesi pemanfaatan mangrove dan reklamasi laut Benoa dan sekitar. Kawasan itu memang sejak lama diincar investor untuk pembangunan kawasan wisata marina dan sejumlah akomodasi lain. Bagaimanapun, kawasan ujung selatan Bali memang wilayah wisata paling gemuk. 

Secara budaya, pembangunan JDP menjadi penanda serius perubahan budaya, dari tradisi yang menyucikan ''air'' (tirtha) kepada ''jalan'' (marga), yang kini kian bebas hambatan. Dengan demikian, sangat beralasan harapan agar pengerukan alam Bali dihentikan, karena khawatir Bali akan tenggelam oleh abrasi yang sudah terjadi di mana-mana.

Di satu sisi, Bali memang sangat menjanjikan bagi investor karena mereka sudah memperhitungkan keuntungan yang berlipat-lipat. Namun, di sisi lain, jika alam rusak, Bali dan warganya yang kena. Investor dapat dengan mudah berpindah. Jangan tunggu Tuhan dan alam ini murka. Tetap membangun, tapi jangan lupa menjaga keseimbangan lingkungan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar