Rabu, 25 September 2013

Mobil Murah, Mobil Dalam Negeri, dan Jokowi

Mobil Murah, Mobil Dalam Negeri, dan Jokowi
Flo K Sapto W ;  Praktisi Pemasaran, Marketing Manager Distributor Spare Part Mobil Niaga (2011-2012), Menulis Tesis tentang Otomotif
TEMPO.CO, 25 September 2013


Salah satu dalih pemerintah menelurkan kebijakan LGCC (low cost green car) adalah untuk melindungi pasar dalam negeri (Detik.com, 10 Juni 2013), sehingga impor mobil murah bisa ditekan, khususnya ketika AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) hendak diberlakukan dua tahun ke depan. Data pasar konsumen yang disampaikan oleh Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian cukup fantastis. Sebanyak 60 juta pemilik kendaraan roda dua adalah potensi besar sebagai pemilik mobil. Pasar konsumen ini akan diperebutkan oleh industri otomotif, sehingga-meski disertai sejumlah kritik terkait dengan isu kemacetan-kebijakan antisipatif ini menjadi pilihan.

Bagaimana dengan embrio mobil nasional? Terakhir dikabarkan bahwa PT SMK (Solo Manufaktur Kreasi)-institusi yang hendak memproduksi mobil Esemka-telah menerima uang muka untuk 400 buah pesanan perdana. Jumlah itu menyusut dari yang semula diberitakan 10 ribu. Mobil yang diperkenalkan dalam dua jenis (pick up dan SUV) ini masing-masing hendak dijual dengan harga Rp 80-an juta dan Rp 120-an juta. Menilik harganya, Esemka ditujukan untuk segmentasi konsumen middle-low. Sejumlah pejabat negara dan tokoh masyarakat sempat terlihat latah berebutan memesannya. Menteri PU Djoko Kirmanto, Gubernur DKI (waktu itu) Fauzi Bowo, politikus Roy Suryo, Menko Kesra Agung Laksono, Ketua Gerindra Prabowo, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Ketua DPR RI Marzuki Ali, Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan adalah beberapa di antaranya. Namun tidak semua pejabat merespons positif kemunculan mobil anak negeri ini.

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie pernah menganggap Jokowi "lebay" dalam mempromosikan mobil Esemka (27 Februari 2012). Wali Kota Semarang Soemarmo H.S. mengatakan bahwa pemberitaan mengenai mobil Esemka hanya mencari sensasi dan narsisistik (4 Januari 2012). Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyebut mobil Kiat Esemka hanya pas untuk tagline kaitannya dengan target-target politik (3 Januari 2012). Senada dengan mereka, mantan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo-meski juga menyatakan rasa bangganya-tetap menganggap tindakan menjadikan mobil berjenis SUV sebagai mobil dinas adalah terlalu sembrono (3 Januari 2012). Syukur bahwa setelah melalui proses panjang pengujian akhirnya dua embrio mobnas (Rajawali dan Bima) mengantongi sertifikat lulus uji tipe kendaraan dari Kemenhub pada pertengahan Oktober 2012. Esemka juga sempat timbul tenggelam di antara hiruk pikuk mobil listrik.

Kini, baik embrio mobil listrik maupun Esemka menghadapi risiko persaingan dengan korporasi otomotif global. Seiring keluarnya kebijakan mobil murah, beberapa produk sudah dirilis. Mobil dengan merek Agya (Toyota) dan Ayla (Daihatsu) akan dilepas di kisaran harga Rp 85-120 juta. Nissan pada 2014 juga akan segera merilis dua varian mobil murah di harga Rp 30-an juta. Kedua jenis mobil itu akan dipasarkan di Rusia, Indonesia, dan India (Insideline.com, 3 Oktober 2012). Tak ketinggalan Suzuki juga akan mengikuti jejak program LCGS ini. Dua variannya, yaitu Suzuki Alto dan Concept-G, akan dihadirkan di Indonesia. Suzuki Alto, misalnya, sudah dijual di India dengan harga Rp 47-an juta.

Alhasil, baik mobnas listrik (Tucuxi, Ahmadi, Ravi) maupun mobnas BBM (Esemka) akan segera bersaing head to head dengan pasar otomotif yang sudah lebih dulu eksis. Berdasarkan diferensiasi dalam teknologi, mobnas listrik sebetulnya akan lebih berpeluang bisa merebut ceruk pasar (niche market) karena mempunyai keunggulan kompetitif terkait dengan isu-isu utama yaitu hemat energi, go green, dan murah. Kemudian, dari strategi segmentasinya juga lebih fleksibel menyasar pasar. Kelas konsumen atas akan bisa dimasuki dengan mobil listrik sejenis Tucuxi yang memang sporty. Kelas konsumen menengah akan bisa ditawari mobil listrik sedan yang harganya sepadan. Demikian juga kelas konsumen bawah, akan bisa diiming-imingi mobil listrik sekelas mobil niaga dengan harga yang bersahaja. Sedangkan mobnas Esemka masih sulit untuk melakukan diferensiasi, baik dalam efisiensi (low cost) maupun fitur produk (electricity, panel-panel, desain), sehingga secara konseptual Esemka sebetulnya memang kurang kompetitif.

Namun, meski belum memiliki pasar yang jelas, Jokowi telah turut mempromosikannya. Berbeda dengan sikap pemerintah yang penuh pertimbangan ekonomis, Jokowi lebih memilih idealis. Namun bukan semata-mata karena tidak setuju kalau kali ini Jokowi juga menentang kebijakan mobil murah. Sebab, kebijakan pemerintah ini secara langsung akan menjadi kendala bagi upayanya mengurai kemacetan DKI. Lebih jauh dari itu, secara visioner kebijakan pemerintah melalui LGCC adalah bukti tidak adanya keberpihakan terhadap kemandirian industri otomotif nasional. Pemerintah lebih memilih berbisnis daripada bersikap suportif.

Jika embrio mobil listrik dan Esemka ditinggal sendirian, spirit nasionalisme serta apresiasi terhadap para ahli otomotif dalam negeri-juga pelajar-pelajar kita-akan meredup. Mengharapkan jatah dari anggaran pengadaan mobil dinas juga tidak akan bisa menjadi solusi permanen. Kepedulian sosial secara kolektif, misalnya melalui gerakan "sejuta uang muka untuk Esemka", juga akan tersingkirkan dengan sendirinya oleh kalkulasi untung rugi. Sehingga pilihannya adalah dengan mobilisasi kultural, konkretnya adalah partisipasi para pemodal nasionalis dan segenap anak negeri untuk berkolaborasi mendukung segala upaya pembuatan mobnas. Misalnya dalam kebijakan revolutif pembiayaan lunak. Sedemikian lunaknya, sehingga karyawan bergaji UMR bahkan bisa memiliki Esemka. Wacana ini bisa jadi hanya akan menjadi tertawaan. Namun bukan kemustahilan. Walau harus menempuh jalan sunyi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar