Rabu, 25 September 2013

Labelisasi Pelaku Kekerasan oleh Polisi

Labelisasi Pelaku Kekerasan oleh Polisi
Hendrata Yudha ;  Wakil Ketua Bidang Kompetensi 
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) 
KORAN SINDO, 25 September 2013



Mari kita simak kepala berita di sebuah koran nasional terkemuka; ”Penembak Briptu Ruslan Diduga Sindikat Lampung”. Kepala berita yang diterbitkan Senin, 16 September 2013 lalu itu kemudian dilanjutkan dengan lead berikut; 

Kepala Kepolisian Resor Kota Depok Komisaris Besar Achmad Kartiko menduga penembak dan perampas sepeda motor Kawasaki Ninja milik Briptu Ruslan Kusuma, Jumat pekan lalu adalah sindikat pencuri kendaraan bermotor asal Lampung, Sumatera Selatan. ”Kelompok ini dikenal sadis dan tak segan melukai korbannya,” kata Achmad. Di salah satu tayangan berita televisi nasional, pada hari yang bersamaan juga dimuat laporan rangkaian aksi kepolisian ketika memberantas preman Kawasan Mangga Ubi, Kapuk, Jakarta Barat. 

Dalam tayangan berita itu, terlihat beberapa polisi dengan pakaian sipil dilengkapi senjata laras panjang dan rompi antipeluru, mendatangi sejumlah bedeng atau rumah sementara dan menangkapi sejumlah orang yang diduga preman. Terdengar suara-suara teriakan dari petugas polisi meminta orang-orang itu menyerah, dan menunduk ke lantai. Beberapa polisi terlihat menendang orang yang diduga preman, kemudian mengikat lengan mereka dengan tali plastik sekali pakai. 

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Henky Hariadi yang berwajah tampan, terlihat memimpin operasi. Narasi menyebutkan, ini operasi penangkapan sejumlah preman yang menyekap dan menyiksa seorang wanita pengasong dengan sadis selama tiga hari di kawasan Kedoya Elok, Jakarta Barat. Transkrip wawancara dengan perwira menengah polisi itu berbunyi, 

”Wanita itu korban penganiayaan yang boleh kita katakan sangat-sangat sadis. Kita sedang dalam motif sebenarnya seperti apa. Kita masih kembangkanya, karenainikebetulan dari kelompok Floresya,” Ada beberapa hal yang saya perlu garis bawah dari kedua berita tersebut. Pertama, sumber utama berita berasal dari perwira menengah berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP). 

Kedua, narasumber itu juga menggunakan kata yang hiperbolik untuk mendeskripsikan perilaku penjahat atau preman. Lihat mereka menggunakan kata ”Kelompok ini dikenal sadis”, atau ”, ”Wanita itu korban penganiayaan yang boleh kita katakan sangat-sangat sadis”. Ketiga, kedua perwira polisi itu juga menyebutkan kelompok penjahat dengan labelisasi berdasarkan asal atau suku. ”Pencuri bermotor asal Lampung” dan ”preman kelompok Flores”.

Penggunaan frasa-frasa itu, kalau diperhatikan semakin bertebaran dalam media massa terutama perolehan berita kriminal dari kepolisian. Sebagai polisi dengan kedudukan yang cukup tinggi, seharusnya sadar bahwa mereka adalah sumber informasi yang kerap diwawancarai oleh jurnalis. Apa pun yang disampaikan kepada jurnalis akan direkam dan disampaikan kepada masyarakat secepat itu pula, sehingga pemilihan kata, kalimat yang diucapkan harus tepat dan tidak multitafsir. 

Pilihan menggunakan bahasan frasa sadis, yang utarakan mereka perlu didalami lagi. Perlu kehati-hatian, dengan bukti yang jelas dan konteks yang tepat. Penggunaan frasa dengan sifat hiperbolik itu, oleh mereka juga disambung dengan pernyataan lanjutan penjahat dan preman itu dengan prasangka negatif berdasarkan kelompok asal suku sindikat pencurian motor dari Lampung dan kelompok preman dari Flores. 

Dengan bersandar pada definisi ini, logika linear dari komunikasi yang dibangun oleh polisi hanya berdasarkan prasangka saja. Padahal, prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas. Prasangka ini jelas berbahaya, bila terus dikembangkan oleh penegak hukum secara sadar dalam berkomunikasi. 

Prasangka perilaku sosial sejumlah orang berdasarkan SARA, bisa menimbulkan stigma yang bila terus-menerus digunakan, akan dianggap sebagai kebenaran. Dengan pola strategi komunikasi satu arah, tanpa filter, polisi mendominasi kebenaran dengan logika linearnya akan berlanjut bahwa setiap sindikat pencurianmotoritu”pasti” berasal dari Lampung. Atau jika pelaku premanisme ”pasti” berasal dari Flores. 

Bukan tidak mungkin, jika pola komunikasi ini diteruskan oleh polisi maka eskalasi sosial akan muncul dan menjadi motivator munculnya ledakan sosial atau konflik horizontal. Pasalnya, tak semua urusan kriminal bisa diselesaikan oleh hukum positif. Perilaku main hakim sendiri yang masih lekat di kehidupan masyarakat kita.

Peran Jurnalis 

Dalam era banjir informasi sekarang ini, jurnalis Indonesia boleh dikatakan keteteran dengan persaingan antarmedia massa dan antar-platform. Jurnalis dituntut melaporkan peristiwa di depan matanya secara langsung ke ruang redaksi atau newsroom. Tak ada lagi istilah menunda berita untuk melakukan konfirmasi atau check and recheck, sampai siang, untuk diturunkan pada program berita sore hari. 

Kelompok media massa besar, dengan yang berbagai jenis media elektronik, cetak dan online (multi platform) menuntut semua jurnalisnya agar bisa konvergen. Jurnalis televisi tak lagi melulu hanya memproduksi berita untuk televisi, tapi juga wajib membagi dan menulis untuk platform online secara realtime. Informasi penggerebekan polisi kepada kelompok preman itu langsung dilaporkan ke newsroom hanya beberapa saat setelah AKBP Henky bicara. 

Newsroommengolah informasi itu dan merasakan ada sesuatu nilai berita yang cukup besar, apalagi bila reporter di lapangan melaporkan di telepon dengan bumbu visual edan, ”Gambar TKP abis bos,”. Istilah ini bagi jurnalis televisi adalah visual yang diambil kamerawan atau kontributor langsung dari lokasi kejadian, ada adegan tembak-menembak, kejar-kejaran aparat dengan penjahat, polisi mendobrak pintu, sekumpulan lelaki dipukuli. 

Kemudian, muncul perwira polisi memberikan keterangan sepihak. Dengan gambar yang punya efek dramatis tadi, para produser sudah terbayang akan memperoleh atensi dari penonton dan meningkatkan share dan rating yang baik. Sering terjadi, proses editing yang dilakukan para produser, tidak lagi fokus kepada konten berita, namun lebih mementingkan durasi berita yang akan on air. 

Belum lagi jam on air yang tak bisa ditawar. Kekhilafan ini, yang menyebabkan proses seleksi gambar dan kutipan narasumbernya, terabaikan. Dari uraian pendekatan itu, di manakah peran jurnalis untuk mereduksi informasi sepihak yang sudah telanjur disampaikan narasumber? Saya cenderung kembali ke ”kitab suci” jurnalis di Indonesia, yaitu UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik. 

Penerapan kedua aturan hukum dan etika yang disusun para jurnalis senior itu bisa menjadi kompas ideal yang patut dipertahankan. UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999, terutama Bab IV, mengatur tentang penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, agama, ras, dan antargolongan. Dalam Kode Etik Jurnalistik, juga dicantumkan penyajian berita yang baik. 

Seperti terumuskan dalam Pasal 8, yang menyebutkan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit. Seharusnya ada proses pengecekan oleh produser atau redaktur di newsroom agar berita yang disampaikan kepada khalayak, sudah memenuhi untuk kepatutan, pengecekan, dan kelayakan fakta-fakta yang muncul. 

Dalam kasus di media cetak, prosedur seleksi malah lebih berjenjang dan ada ”waktu” yang cukup untuk mengecek semua frasa kata yang digunakan sesuai dengan kode etik, tidak berprasangka dan stigma kelompok tertentu, kemudian menurunkan dalam korannya. Narasi media massa biar bagaimanapun akan menciptakan makna, julukan dan menciptakan definisi realitas mengenai peristiwa yang terjadi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar