Kamis, 26 September 2013

“Musibah” Mobil Murah

“Musibah” Mobil Murah
Karyudi Sutajah Putra  ;  Tenaga Ahli DPR
SUARA MERDEKA, 25 September 2013


PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyo­no dan para pembantunya tampaknya sadar betul bahwa politik adalah seni memanfaatkan momentum. Maka ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mulai membenahi Jakarta dari kemacetan, serta popularitas dan elektabilitasnya kian tak terbendung, SBY memanfaatkan momentum: meluncurkan kebijakan mobil murah. Dia juga meneken PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang Mobil Murah dan Ramah Lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC).

Implikasinya, pada 9 September 2013 Astra Daihatsu Motor meluncurkan LCGC melalui varian Daihatsu Ayla yang dibanderol Rp 99,9 juta-Rp 120,75 juta. Pada hari yang sama, Toyota Astra Motor meluncurkan Toyota Agya yang dibanderol Rp 76 juta-Rp 106 juta. Daihatsu menargetkan tahun ini memproduksi hingga 30 ribu unit dan Toyota 15 ribu unit mobil, termasuk Ayla dan Agya.

Mobil murah memukul Jokowi dari dua sisi: menambah kemacetan Ibu Kota dan menafikan Esemka yang digagas sebagai alternatif mobil nasional. Data dari Gabung­an Penjual Kendaraan Bermotor (GPKB) menyebutkan 65%-75% pemesan mobil murah berasal dari Jabodetabek. Di sisi lain, pertumbuhan pasar otomotif juga paling tinggi di Jakarta. Maka, Ibu Kota paling terkena dampak dari kebijakan mobil murah tersebut.

Bagaimana dengan Jawa Tengah? Se­panjang 2013, Nasmoco Group menjual 7.500 unit Toyota per bulan di Jateng dan DIY. Angka ini lebih besar daripada tahun 2012 yang rata-rata 5.000 unit per bulan. Mobil murah itu akan mendongkrak penjualan hingga 90 ribu unit pada akhir 2013, karena pada Januari-Agustus sudah 60 ribu unit terjual.

Kemacetan

Hal ini tentu akan menambah kemacetan lalu lintas di kota Semarang yang dalam pandangan Djoko Setijowarno, Kepala LabTransportasi Fakultas Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan anggota Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota (DP2K) Semarang, sudah mirip Jakarta (SM, 12/7/13). Masuk akal bila Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengikuti jejak Jokowi menolak mobil murah, pun Wali Kota Sura­karta FX Hadi Rudyatmo dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Sebaliknya, Wapres Boediono berpendapat bahwa mobil murah hanya menyumbang 3% jumlah mobil di Jakarta. Padahal, kebijakan mobil murah tersebut bertentangan dengan 17 instruksi Wapres tentang Per­masalahan Ibu Kota. Dasar hukum kebijakan mobil murah juga masih dipertanyakan, semisal terkait dengan penetapan PPnBM.

Selain bukan produk lokal, bukankah LCGC hanya strategi dagang? Sifat green yang konon ramah lingkungan itu di mana, bila ternyata masih berbahan bakar premium atau pertamax? Di mana pula low cost-nya bila ternyata nanti harganya naik secara bertahap? Sekadar contoh, kali pertama diluncurkan harga Toyota Avanza juga di bawah Rp100 juta, namun kini mencapai Rp 170 juta. Toyota Agya yang diklaim sebagai LCGC pun diprediksi demikian.

Mengapa pemerintah dan juga elite politik bergairah terhadap kebijakan mobil murah, dari SBY (Partai Demokrat), Boe­diono, Menko Perekonomian Hatta Rajasa (PAN), Menteri Perindustrian MS Hidayat (Partai Golkar), hingga Menteri Perda­gangan Gita Wirjawan (peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat)?

Tampaknya mereka ketar-ketir dengan elektabilitas Jokowi sebagai bakal calon presiden 2014 yang tidak terkejar oleh tokoh mana pun. Maka, Jokowi dijadikan common enemy atau musuh bersama. Sebelum ini, Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais juga menyebut Jokowi tidak nasionalis.

’’Blessing in Disguise’’

Sebenarnya Jokowi bisa ngotot menolak kebijakan mobil murah dengan menggunakan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI Jakarta yang tentu kedudukannya lebih tinggi ketimbang PP Nomor 41 Tahun 2013. Regulasi tersebut memberikan kewenangan khusus kepada Gubernur DKI membuat aturan tentang penataan Ibu Kota. Dalam konteks ini Jokowi perlu mengajak DPRD untuk bersama-sama membuat perda semisal membatasi peredaran mobil murah.

Jokowi mestinya juga tak perlu galau mengingat kebijakan mengenai mobil murah bisa menjadi pedang bermata dua, yang dapat menohok pemerintah pusat sendiri. Di satu sisi pemerintah pusat dinilai tidak berpihak pada industri lokal, semisal dalam kasus mobil nasional. Jokowi pernah mengeluhkan sikap pemerintah pusat yang masih angin-anginan memperlakukan rintisan industri lokal, khususnya otomotif yang mencoba berkembang, seperti pembuatan Esemka. Di sisi lain, pemerintah pusat bisa dituding ’’sengaja’’ memacetkan Ibu Kota demi keuntungan politik dan ekonomi semata.

Keuntungan politik? Para elite bisa menjegal elektabilitas Jokowi. Keuntungan ekonomi? Bisa jadi para pemangku kebijakan mendapat ’’upeti’’ dari produsen mobil murah atau rente dari impor LCGC.
Dalam konteks ini, Jokowi bisa menjadikan kebijakan LCGC sebagai blessing in disguise atau berkah di balik musibah. Musibah, karena Jakarta akan bertambah macet dengan kebertebaran mobil murah di jalanan. Berkah, Jokowi bisa menjadikan kebijakan tentang mobil murah dan ramah lingkungan tersebut sebagai alibi bila ternyata nanti ia tak berhasil mengatasi kemacetan Ibu Kota.

Yang jelas, bagi rakyat kebanyakan kebijakan mobil murah ini bisa menjadi berkah sekaligus musibah. Berkah, karena dengan harga murah mereka bisa memiliki mobil. Musibah, karena mereka bisa terjebak kemacetan luar biasa, terutama di Ibu Kota. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar