|
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono dan para pembantunya
tampaknya sadar betul bahwa politik adalah seni memanfaatkan momentum. Maka
ketika Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mulai membenahi Jakarta dari kemacetan,
serta popularitas dan elektabilitasnya kian tak terbendung, SBY memanfaatkan
momentum: meluncurkan kebijakan mobil murah. Dia juga meneken PP Nomor 41 Tahun
2013 tentang Mobil Murah dan Ramah Lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC).
Implikasinya, pada 9 September 2013 Astra Daihatsu Motor
meluncurkan LCGC melalui varian Daihatsu Ayla yang dibanderol Rp 99,9 juta-Rp
120,75 juta. Pada hari yang sama, Toyota Astra Motor meluncurkan Toyota Agya
yang dibanderol Rp 76 juta-Rp 106 juta. Daihatsu menargetkan tahun ini
memproduksi hingga 30 ribu unit dan Toyota 15 ribu unit mobil, termasuk Ayla
dan Agya.
Mobil murah memukul Jokowi dari dua sisi: menambah
kemacetan Ibu Kota dan menafikan Esemka yang digagas sebagai alternatif mobil
nasional. Data dari Gabungan Penjual Kendaraan Bermotor (GPKB) menyebutkan
65%-75% pemesan mobil murah berasal dari Jabodetabek. Di sisi lain, pertumbuhan
pasar otomotif juga paling tinggi di Jakarta. Maka, Ibu Kota paling terkena
dampak dari kebijakan mobil murah tersebut.
Bagaimana dengan Jawa Tengah? Sepanjang 2013, Nasmoco
Group menjual 7.500 unit Toyota per bulan di Jateng dan DIY. Angka ini lebih
besar daripada tahun 2012 yang rata-rata 5.000 unit per bulan. Mobil murah itu
akan mendongkrak penjualan hingga 90 ribu unit pada akhir 2013, karena pada
Januari-Agustus sudah 60 ribu unit terjual.
Kemacetan
Hal ini tentu akan menambah kemacetan lalu lintas di kota
Semarang yang dalam pandangan Djoko Setijowarno, Kepala LabTransportasi
Fakultas Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan anggota Dewan Pertimbangan
Pembangunan Kota (DP2K) Semarang, sudah mirip Jakarta (SM, 12/7/13). Masuk akal
bila Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengikuti jejak Jokowi menolak mobil murah,
pun Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Sebaliknya, Wapres Boediono berpendapat bahwa mobil murah
hanya menyumbang 3% jumlah mobil di Jakarta. Padahal, kebijakan mobil murah
tersebut bertentangan dengan 17 instruksi Wapres tentang Permasalahan Ibu
Kota. Dasar hukum kebijakan mobil murah juga masih dipertanyakan, semisal
terkait dengan penetapan PPnBM.
Selain bukan produk lokal, bukankah LCGC hanya strategi
dagang? Sifat green yang konon ramah lingkungan itu di mana, bila ternyata
masih berbahan bakar premium atau pertamax? Di mana pula low cost-nya bila
ternyata nanti harganya naik secara bertahap? Sekadar contoh, kali pertama
diluncurkan harga Toyota Avanza juga di bawah Rp100 juta, namun kini mencapai
Rp 170 juta. Toyota Agya yang diklaim sebagai LCGC pun diprediksi demikian.
Mengapa pemerintah dan juga elite politik bergairah
terhadap kebijakan mobil murah, dari SBY (Partai Demokrat), Boediono, Menko
Perekonomian Hatta Rajasa (PAN), Menteri Perindustrian MS Hidayat (Partai
Golkar), hingga Menteri Perdagangan Gita Wirjawan (peserta Konvensi Calon
Presiden Partai Demokrat)?
Tampaknya mereka ketar-ketir dengan elektabilitas Jokowi
sebagai bakal calon presiden 2014 yang tidak terkejar oleh tokoh mana pun.
Maka, Jokowi dijadikan common enemy atau musuh bersama. Sebelum ini, Ketua
Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais juga menyebut Jokowi tidak nasionalis.
’’Blessing in
Disguise’’
Sebenarnya Jokowi bisa ngotot menolak kebijakan mobil murah
dengan menggunakan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI Jakarta yang
tentu kedudukannya lebih tinggi ketimbang PP Nomor 41 Tahun 2013. Regulasi
tersebut memberikan kewenangan khusus kepada Gubernur DKI membuat aturan
tentang penataan Ibu Kota. Dalam konteks ini Jokowi perlu mengajak DPRD untuk
bersama-sama membuat perda semisal membatasi peredaran mobil murah.
Jokowi mestinya juga tak perlu galau mengingat kebijakan
mengenai mobil murah bisa menjadi pedang bermata dua, yang dapat menohok
pemerintah pusat sendiri. Di satu sisi pemerintah pusat dinilai tidak berpihak
pada industri lokal, semisal dalam kasus mobil nasional. Jokowi pernah
mengeluhkan sikap pemerintah pusat yang masih angin-anginan memperlakukan
rintisan industri lokal, khususnya otomotif yang mencoba berkembang, seperti
pembuatan Esemka. Di sisi lain, pemerintah pusat bisa dituding ’’sengaja’’
memacetkan Ibu Kota demi keuntungan politik dan ekonomi semata.
Keuntungan politik? Para elite bisa menjegal elektabilitas
Jokowi. Keuntungan ekonomi? Bisa jadi para pemangku kebijakan mendapat
’’upeti’’ dari produsen mobil murah atau rente dari impor LCGC.
Dalam konteks ini, Jokowi bisa menjadikan kebijakan LCGC
sebagai blessing in disguise atau
berkah di balik musibah. Musibah, karena Jakarta akan bertambah macet dengan
kebertebaran mobil murah di jalanan. Berkah, Jokowi bisa menjadikan kebijakan
tentang mobil murah dan ramah lingkungan tersebut sebagai alibi bila ternyata
nanti ia tak berhasil mengatasi kemacetan Ibu Kota.
Yang jelas, bagi rakyat kebanyakan kebijakan mobil murah
ini bisa menjadi berkah sekaligus musibah. Berkah, karena dengan harga murah
mereka bisa memiliki mobil. Musibah, karena mereka bisa terjebak kemacetan luar
biasa, terutama di Ibu Kota. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar