|
Seorang
ahli sosiologi hukum pernah mengatakan bahwa di luar dunia ketentaraan atau
kepolisian, keluarga merupakan kelompok yang paling tinggi ciri dan tingkah
laku kekerasannya. G Strauss dalam bukunya, Agressie
an Criminaliteif mendasarkan pendapatnya itu pada alasan, kemungkinan untuk
dianiaya oleh sesama anggota keluarga seperti oleh suami, istri, ayah, ibu,
kakak, atau adik lebih besar daripada oleh orang di luar keluarga.
Keluarga
sebagai lembaga yang bisa memberi atap bagi perbuatan mengasihi, melindungi,
menyendiri (privacy), melahirkan dan
mendidik, apakah betul sudah sedemikian membahayakan bagi para anggotanya
sehingga disebut-sebut sebagai, "ajang kekerasan tertinggi di luar dunia
tentara dan polisi?"
Sebuah
penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serikat (AS) melaporkan bahwa
setengah dari polisi yang meninggal dalam tugas di AS, terbunuh pada waktu
mereka berusaha untuk melerai pertengkaran antar suami istri. Ini membuktikan,
betapa polisi yang ingin menengahi kekerasan dalam keluarga yang juga mempunyai
risiko tinggi untuk jadi korban kekerasan antara sesama anggota keluarga itu.
Di
Indonesia, masalah kekerasan dalam keluarga sebagaimana dilaporkan media massa
akhir-akhir ini dirasakan ada peningkatan baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya. Sering terjadi kasus penganiayaan dan bahkan pembunuhan oleh
sesama anggota keluarga seperti istri yang dibunuh suami, suami yang dibakar
istri karena dendam dan cemburu atau anak yang diracun ayah atau ibunya,
merupakan indikasi adanya ketidakselarasan dalam keluarga.
Pola
patriarkal yang dianut sebagai besar masyarakat Indonesia, sedikit banyak
berpengaruh juga terhadap terciptanya kekerasan dalam keluarga. Pada pola
kekeluargaan patriarki, pria atau suami diterima dan dinyatakan sebagai kepala
keluarga. Kenyataan itu menjelaskan, tugas dan kewajiban suami menjadi lebih
berat dibanding dengan anggota keluarga lain, karena dia yang bertanggung jawab
terhadap pemeliharaan, perlindungan dan kesejahteraan keluarga.
Tetapi justru dengan pembebasan seperti itu maka
kedudukan suami menjadi menonjol, lengkap dengan segala otoritas dan
privilegennya di dalam keluarga. Keadaan demikian akan menimbulkan kompleksasi
sosiologis, psikologis dan kultural karena tidak semua pria atau suami bisa
menjalankan peran dan fungsinya sebagai kepala keluarga. Kompleksasi ini bisa
menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam keluarga seperti pemukulan dan
penganiayaan anak atau istri.
Sementara
itu, seorang psikolog berpendapat bahwa hubungan kebersamaan dalam keluarga
yang secara dominan dilandasi oleh cinta kasih, memunculkan hubungan-hubungan
emosi dan perasaan yang berlawanan dengan cinta kasih tersebut, seperti
kebencian, kemarahan, atau saling menghindar alias masa bodoh. William J. Goede
dalam tulisannya, "Family
Disorganization", mengatakan bahwa sumber-sumber keretakan keluarga
antara lain ialah tidak adanya sumber-sumber yang dapat secara lestari
merupakan daya tarik suami istri seperti kepuasan seksual, saling menghargai,
pendapatan suami yang mencukupi, atau rasa aman dan tentram dalam keluarga.
Selain
itu, menurut William J. Goede, keretakan keluarga juga bisa disebabkan adanya
sumber-sumber daya tarik dari luar keluarga yang cukup kuat yang menyebutkan
terjadinya penyimpangan atau penyelewengan. Misalnya munculnya pihak ketiga
dalam kehidupan suami istri yang disebut sebagai "the other man (woman)", kepentingan sosial, kerja,
kelompok agama, yang menjadi lebih penting daripada keluarga.
Dengan
menggunakan logika sederhana, demikian Goede, pemecahan masalah disharmoni atau
keretakan dalam keluarga itu dapat dilakukan dengan menekankan hal-hal yang
sebaliknya daripada sumber-sumber keretakan tersebut. Sehingga yang perlu
dilakukan ialah bagaimana meningkatkan daya tarik masing-masing anggota
keluarga, khususnya suami istri serta mengurangi tingkat daya tarik unsur-unsur
dari luar, di samping terus meningkat daya tahan batas-batas otonomi keluarga
sebagai sebuah kesatuan masyarakat terkecil.
Untuk
mengatasi keretakan dan kekerasan dalam keluarga perlu kiranya dipelajari
bagaimana masyarakat Jepang memandang industri keluarga dan manajemen masalah
keluarga di negeri itu. Craig Parker dalam, The
Japanese Police System Today, melaporkan bahwa pihak kepolisian di Jepang
sangat memberikan perhatian besar dan khusus terhadap manajemen masalah
keluarga yang diwujudkan dengan membentuk petugas-petugas polisi yang
memberikan bimbingan dan penyuluhan (counseling)
ikhwal keluarga.
Menurut
Craig Parker, dari ke-95 stasiun polisi yang ada di Tokyo, semua memiliki
petugas yang memberikan pelayanan konseling di bidang "Family
Affairs". Di samping itu, katanya, konseling juga diberikan di
"korban" (policy boxes)
yang di Indonesia setingkat dengan pos-pos polisi. Dia melaporkan, bahwa 18
persen kasus konseling dapat diselesaikan oleh petugas polisi dari
"korban" tersebut yang secara teratur melakukan kunjungan ke
keluarga-keluarga Jepang, misalnya setiap dua kali dalam setahun. Konon, hal
itu sudah merupakan tradisi yang sudah dimulai sejak zaman Meiji.
Kunjungan
polisi secara teratur itu, seperti diakui Craig pasti akan menimbulkan protes
besar apabila dijalankan di Amerika Serikat, karena dianggap pelanggaran
terhadap suatu "privacy".
Apa yang dilaporkan Craig menunjukkan, betapa besar perhatian masyarakat Jepang
terhadap lembaga yang namanya keluarga sehingga masalah-masalah keluarga di
sana memperoleh perhatian khusus.
Apa
kita memang ingin memberikan tempat yang penting kepada keluarga sebagai inti
dari masyarakat, maka apa yang dilakukan Jepang, itu layak untuk dijadikan
bahan pelajaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar