Rabu, 25 September 2013

Partai Islam dan Demokrasi

Partai Islam dan Demokrasi
Zuly Qodir ;  Sosiolog Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
KOMPAS, 25 September 2013


Kiamat Sudah Dekat! Judul tayangan serial televisi yang kerap muncul itu agaknya tepat memberikan ilustrasi atas kondisi partai-partai dakwah di negeri ini.
Gambaran itu juga bisa menjadi ilustrasi hendak kiamatnya partai Islam di Indonesia pada Pemilu 2014 secara keseluruhan.

Berdasarkan penelitian Lingkaran Survei Indonesia 2012, partai Islam hanya akan menjadi komplementer alias pelengkap pada pemilu mendatang. Beberapa faktor yang menyebabkan merosotnya perolehan suara partai Islam antara lain menguatnya fenomena ”Islam Yes, Partai Islam No”, pendanaan partai politik, tindakan kekerasan organisasi massa Islam, dan kemampuan partai nasionalis mengako- modasi kepentingan umat Islam. Hal lain adalah perilaku politisi partai dakwah yang kacau-balau.

Dalam konteks demokrasi di Indonesia, agaknya ini bisa kita jadikan pelajaran berharga tentang kehadiran partai Islam atau gerakan Islam politik yang setiap lima tahun turut serta dalam pemilu, tetapi tak pernah memberi warna secara signifikan. Dalam kaitan itu, sepertinya slogan ”Islam Yes, Partai Islam No” cukup relevan jika dikaitkan dengan perolehan suara partai Islam.

Suara merosot

Pemilu 2014 memang akan digelar pada April mendatang, tetapi mendiskusikan secara serius tentang kehadiran partai Islam sebagai gerakan Islam politik perlu dilakukan sejak sekarang karena beberapa kecenderungan yang terus bergulir. Beberapa penyebab menurunnya suara partai Islam merupakan isu lama, seperti skandal korupsi, politik uang, dan politik transaksi yang akan terus membuat kebangkrutan partai Islam dalam setiap pemilu.

Sebagai contoh, sebut saja pada Pemilu 2009, PKS diprediksi akan memperoleh suara 22 persen. Ternyata hanya 8,7 persen, naik satu angka dari Pemilu 2004. Bahkan, partai Islam seperti PPP dan PBB benar-benar hancur dalam Pemilu 2009.

Hal itu memberikan bukti lain bahwa wibawa dan kepercayaan umat Islam kepada partai Islam semakin hari, dari pemilu ke pemilu, semakin hilang dengan kinerja dan perilaku partai berlabelkan Islam. Umat Islam tampaknya semakin cerdas dan tidak bisa lagi dikibuli oleh para petinggi partai Islam yang menggunakan simbol dan label Islam saat kampanye pemilu, tetapi setelah pemilu selesai, perilakunya tidak berbeda dengan partai tidak bersimbol dan berlabel Islam.

Oleh sebab itu, jika pada Pemilu 2014 benar-benar terjadi partai Islam hanya memperoleh suara di bawah 5 persen, gagasan almarhum Nurcholish Madjid tentang ”Islam Yes, Partai Islam No” telah mulai dipahami dan diinternalisasi oleh umat Islam. Umat Islam tidak lagi silau dengan slogan, simbol, ataupun janji-janji. Umat Islam Indonesia telah berulang kali mengalami pemilu dan saban pemilu masalah selalu berulang.

Oleh sebab itu, umat Islam akan benar-benar selektif dalam menentukan pilihannya, bukan berdasarkan simbol dan slogan.

NU dan Muhammadiyah

Memperhatikan semakin cerdasnya umat Islam di Indonesia, karena berbagai aktivitas organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang ”pernah terpeleset” dalam kubangan pemilu, maka para petinggi partai Islam sebenarnya dapat menggunakan hasil temuan-temuan lembaga survei seperti Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Indonesia, atau Soegeng Soerjadi Syndicate.

Lembaga-lembaga itu menempatkan partai Islam—diprediksi—akan terpuruk sebagai pelajaran berharga sebab selama ini partai Islam demikian percaya diri dalam prediksi perolehan suara pada pemilu pasca-Orde Baru, padahal nyatanya hasil pemilu berkata lain.

Keberhasilan dakwah kultural Muhammadiyah dan NU dari kota sampai ke pelosok desa akan semakin tegas ketika pada periode belakangan perilaku partai Islam tidak berbeda dengan perilaku partai bukan Islam. Elite dan kader partai bukan Islam banyak terlibat korupsi.

Hal sama ternyata terjadi pada partai Islam. Sebagian elite dan kadernya terlibat korupsi secara berjemaah. Ini tentu saja tidak akan menutup mata umat Islam yang akan dijadikan sasaran alias obyek pada Pemilu 2014 mendatang oleh partai Islam semacam PKB, PAN, PPP, PBB, PKS, dan partai Islam lain jika nanti mengikuti Pemilu 2014.

Pertarungan di antara sesama partai Islam pun semakin keras memperebutkan pemilih Muslim dari Muhammadiyah, NU, dan Syarikat Islam serta kelompok Islam kecil-kecil semacam Persis, jemaah pengajian yang bertebaran di seantero Nusantara. Padahal, sebagian jemaah pengajian merupakan buatan partai politik bukan Islam, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrat.

Secara khusus perhatian kita pada partai yang menyebut dirinya sebagai partai dakwah, ternyata yang dipertontonkan pada publik adalah keculasan, kerakusan, dan kesombongan belaka; bukan kesantunan, rendah hati, dan pemaaf. Beberapa kasus skandal yang belakangan terjadi dan menimpa partai Islam akan semakin memperburuk wajah partai Islam itu sendiri. Skandal elite-elite partai Islam dengan perempuan-perempuan di sekelilingnya akan semakin membuat kiamatnya partai dakwah tersebut.

Hadirnya elite politik partai dakwah yang terkena berbagai kasus seperti korupsi, tindakan asusila, serta tindakan kriminal lainnya akan semakin menggiring ke arah kematian partai dakwah. Partai yang mengklaim bersih, suci, bagaikan malaikat ternyata benar-benar bukan partainya para malaikat yang tanpa nafsu syahwat dan serakah. Partai apa pun namanya tetaplah partai para politisi yang memiliki hasrat Rahwana dengan pelbagai nafsu serakahnya.

Di situlah, agaknya, suara Partai Islam pada Pemilu 2014 memang akan semakin merosot tajam. Nasib partai Islam pendek kata akan kiamat pada Pemilu 2014 dalam alam demokrasi yang semakin mencerdaskan umat Islam. Demokrasi yang tengah disemaikan di Indonesia, sekalipun masih compang-camping, tetaplah memberi harapan kepada bangsa ini untuk lebih baik ketimbang bangsa-bangsa yang diperintah secara otoriter dan penuh dengan kekejaman.


Keberhasilan demokrasi yang berkembang di Indonesia tidak lepas dari peran NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia sebagai penyangga masyarakat sipil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar