Rabu, 25 September 2013

UU Pilpres yang Merakyat dan Konstitusional

UU Pilpres yang Merakyat dan Konstitusional
Ahmad Yani ;  Wakil Ketua Fraksi PPP, Anggota Badan Legislasi DPR RI
KORAN SINDO, 25 September 2013



Momentum rakyat Indonesia untuk dapat memilih calon Presiden dan calon Wakil Presiden RI yang kredibel, adil, jujur, dan tidak korup, akan muncul sepanjang Undang-undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) bersifat merakyat dan konstitusional. 

Disebut merakyat jika seluruh pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat merepresentasikan mayoritas rakyat Indonesia. Dengan demikian, semakin banyak pasangan calon, maka semakin banyak pula rakyat yang akan terwakili, dan itu meningkatkan kualitas pilpres, sekaligus kredibilitas pemerintahan di mata rakyatnya. Adapun kriteria konstitusional berarti UU Pilpres sejalan dengan bunyi Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, tidak melebihinya atau menguranginya. 

Untuk itu semua, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI selama setahun lebih sejak Mei hingga Oktober 2012 telah berupaya merevisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), akan sia-sia. Hingga kini, 120 pasal dari 262 pasal telah dibahas, lalu ditambah 22 pasal baru, dan semua itu telah disepakati di tingkat panitia kerja (panja) yang beranggotakan semua fraksi. 

Baleg merevisinya karena sudah ditetapkan di dalam Program Legislasi Nasional tahun 2009, yang merupakan kesepakatan seluruh fraksi di DPR RI bersama Pemerintah. Sekurang-kurangnya panja RUU Pilpres telah rapat selama empat kali masa persidangan, melakukan kunjungan kerja ke tiga provinsi, dan konsinyering, dan menuntaskan usul RUU revisi UU Pilpres pada Oktober 2012. Betapa besarnya kerugian negara dan rakyat bila semua itu terbuang percuma hanya karena kepentingan segelintir elite politik. 

Di samping itu, konsekuensi dari pemberlakuan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, adalah perubahan UU Pilpres. Banyak sekali aturan prosedural dan administrasi dalam UU Pilpres yang tidak relevan dan menimbulkan keanehan jika masih dipertahankan. Misalnya, tahapan pilpres, perlengkapan dan aturan teknis pemungutan suara yang diubah karena teknis memilih menjadi mencoblos, dan ketentuan pemilih yang tidak semata-mata harus tercantum dalam daftar pemilih tetap. 

Inkonstitusional 

Selain itu, ada alasan yang lebih mendasar. Pertama, UU Pilpres sejatinya bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 6A yang berbunyi ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dari norma dasar tersebut dapat dipahami bahwa batasan/aturan pengusulan pasangan capres dan cawapres adalah hanya dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. 

Tidak ada pembatasan lain, kecuali persyaratan diri seorang capres dan cawapres. Terlebih, Indonesia adalah negara hukum, yang menganut prinsip hukum positif. Konsekuensinya, aturan yang dirujuk adalah aturan tertulis. Oleh karena dalam hukum dasar (konstitusi) tidak ada aturan pengusulan capres-cawapres selain regulasi pengusul hanya oleh partai/gabungan partai, maka semua pembatasan lain selain itu menjadi gugur dan dapat dinilai sebagai inkonstitusional. 

Kedua, pengaturan syarat dalam pilpres harus merupakan amanah/perintah konstitusi. Misalnya, pengaturan syarat capres dan cawapres dilakukan dalam UU Pilpres karena UUD NRI Tahun 1945 Pasal 6 ayat 2 menyatakan ”syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Syarat-syarat yang dimaksud adalah merujuk Pasal 6 ayat 1, seperti harus WNI sejak kelahirannya, tidak pernah mengkhianati negara, dan sebagainya. 

Tetapi, syarat pengusul tidak diperintahkan oleh UUD, sehingga konstitusionalitas aturan persyaratan persentase perolehan suara/kursi partai atau gabungan partai patut diragukan. Karena itu, revisi UU Pilpres menjadi keharusan untuk mengembalikan proses pilpres menjadi konstitusional. Ketiga, sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem presidensial, bukan sistem parlementer. 

Pada sistem presidensial, kedudukan presiden sama dan sejajar dengan parlemen. Presiden tidak dapat dipecat oleh DPR, dan sebaliknya. Presiden tidak tergantung pada DPR, dan sebaliknya. Sementara eksistensi dan kekuatan presiden pada sistem parlementer sepenuhnya tergantung pada parlemen. Cerminnya adalah perolehan suara/kursi partai politik. Dengan demikian, pengaitan perolehan suara dalam pemilu legislatif sebagai syarat pengusulan capres-cawapres menjadi tidak relevan. 

Keempat, dari aspek sosiologis, kita bisa melihat berbagai survei dan pemberitaan, bahwa ada keinginan kuat rakyat Indonesia untuk melihat perubahan yang lebih baik. Mereka enggan melihat capres dan cawapres dari sosok yang itu-itu lagi. Mereka ingin melihat calon pemimpin alternatif. Pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada partai akan dapat direbut kembali. 

Kelima, syarat untuk menjadi partai politik peserta pemilu yang diatur dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu telah sedemikian berat, sehingga 12 partai nasional tersebut dapat disebut telah lolos dari segi kapabilitas dan elektabilitas, mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota hingga kecamatan. Ke-12 partai tersebut bukan partai abal-abal, melainkan partai yang didukung oleh kader dan anggota, jaringan struktur dan finansial, yang memadai. 

Manfaat 

Bila revisi UU Pilpres dilanjutkan, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh. Pertama, rakyat berkesempatan memperoleh pilihan yang lebih banyak, sehingga logikanya akan memperoleh calon yang terbaik dan paling disukai rakyat. Kedua, partai politik berkesempatan memperbaiki citra dan kinerjanya melalui pilpres yang lebih merakyat. Pilpres yang elitis akan menambah ketidaksukaan dan ketidakpercayaan rakyat kepada partai, dan nantinya pemerintahan hasil pilpres. 

Ketiga, revisi UU Pilpres akan meningkatkan peluang munculnya calon alternatif, sehingga akan meningkatkan kepercayaan publik kepada sistem politik yang ada. Partisipasi politik akan meluas, baik selama proses pencalonan kandidat, pengenalan maupun saat pemilihan. Tiap-tiap partai dapat melakukan konvensi, atau forum pencarian calon pemimpin alternatif, sehingga dapat disaring lebih banyak kandidat. 

Keempat, secara logika dan ilmiah, semakin banyak calon, maka itu akan memperbesar peluang memperoleh calon yang lebih baik. Sebaliknya, saat kesempatan itu diperkecil, maka peluang untuk memperoleh calon yang lebih kompeten, berintegritas, dan disukai rakyat menjadi lebih terbatas pula. Sebagian rakyat akan terpaksa memilih yang paling sedikit keburukannya karena begitu terbatasnya pilihan. Bila hanya ada 3 pasangan calon misalnya, rakyat sulit memilih yang terbaik daripada bila tersedia 7 hingga 12 pasangan calon. 

Kelima, karena pengusulan dilakukan sebelum pilpres, dan tidak tergantung perolehan suara di parlemen, maka koalisi permanen berbasis ideologi akan dapat diciptakan dalam gabungan partai politik pengusul capres cawapres. Koalisi pragmatis justru akan tercipta ketika perolehan suara parlemen menjadi basis pengusulan. Padahal, koalisi pragmatis justru terbukti lebih mementingkan kepentingan elite daripada rakyat. 

Keenam, revisi UU Pilpres akan memungkinkan pengaturan larangan rangkap jabatan bagi capres cawapres terpilih. Kita tidak ingin mempunyai presiden/ wapres yang hanya mengutamakan golongan, partai atau ormas tertentu. Presiden/wapres terpilih harus menjadi negarawan, berdiri sejajar di depan semua golongan masyarakat, yang akhirnya akan meningkatkan efektivitas pemerintahannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar