|
Fenomena korupsi telah menjangkiti birokrat, pegawai
negeri, wirausaha swasta. Mereka telah memikul tujuh dosa sosial. Pertama,
kekayaan tanpa kerja (wealth without work).
Ini modus pengemplangan uang negara dengan doktrin "biar uang bekerja
untuk kita". Banyak pejabat publik memanfaatkan dan memaksimalkan efek
posisi mereka secara haram untuk mendulang uang secara bejibun tanpa banyak
bekerja.
Kedua, kesenangan tanpa kesadaran (pleasure without conscious). Pada tataran ini, orang
bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Betapa banyak contoh dan model
pencurian uang negara oleh pejabat publik. Biasanya mereka bekerja sama dengan
swasta untuk keuntungan pribadi masing-masing tanpa mempertimbangkan sedikit
pun kesengsaraan jutaan rakyat.
Ketiga, pengetahuan tanpa karakter (knowledge without character). Para cerdik cendekia membebek
kepentingan penguasa. Mereka tak mengindahkan moralitas dan kebenaran.
Orang-orang pandai yang dibiayai pemerintah cuma membela pemerintah meski salah
sekalipun. Mereka lupa kewajiban moralitasnya: mengingatkan manakala pemerintah
melupakan kewajiban sebagai pelayan masyarakat, bukan sebaliknya.
Keempat, perdagangan tanpa moralitas (commerce without morality). Para pelaku bisnis hanya berpikir
untung terus-menerus tanpa peduli nasib rakyat. Mereka menumpuk kekayaan usaha
atas prinsip homo homini lopus. Maka usaha kecil menengah (UKM), misalnya,
tergencet/termakan oleh usaha besar. Pasar tradisional ataupun warung-warung
tergulung oleh pasar modern skala besar.
Kelima, ilmu tanpa kemanusiaan (sciene without humanity). Banyak ilmuwan sibuk memperbincangkan
norma ilmiah, namun melupakan manusia yang seharusnya menjadi dasar penegakan
ilmu. Doktrin "ilmu untuk ilmu" banyak mewarnai langkah ilmuwan kita.
Mereka bukan menerapkan "ilmu untuk masyarakat" atau "ilmu untuk
kecerdasan serta kemakmuran".
Keenam, ibadah tanpa pengorbanan (worship without sacrifice). Banyak orang beragama tak peduli dengan
pengorbanan diri untuk menyucikan hati dan lupa prinsip-prinsip spiritual
agama. Tempat-tempat ibadah hanya sesekali penuh jemaah. Orang beragama terpaku
berdoa untuk diri sendiri dan lupa pengorbanan untuk orang lain.
Ketujuh, politik tanpa prinsip (politics without principle). Politikus tidak menggunakan etika dan
prinsip. Mereka main sikut kanan-kiri, loncat sana-sini, pamer wajah, menjilat
ke atas, menginjak ke bawah untuk kepentingan mereka sendiri dan demi meraih
kekuasaan. Mereka menghalalkan segala cara sehingga tidak ada batasan mana yang
etis dan tidak etis.
Kondisi itu diperparah manakala saat pemilu pemilih tidak
jeli dan keliru memilih wakil rakyat yang amanah. Peta DPR pun bisa dipenuhi
wakil rakyat yang tidak kredibel, khususnya menyangkut pembuatan perundangan (legislation), penganggaran (budget), dan
pengawasan (control).
Orang berilmu tanpa agama dan orang beragama tanpa ilmu
dikhawatirkan memicu bahaya laten korupsi. Akhirnya, jika Mahatma Gandhi masih
hidup dan berada di Indonesia, tentu dia menangis sejadi-jadinya. Pasalnya,
negara gemah ripah lohjinawi bernama Indonesia kini menanggung tujuh dosa
sosial.
Tuhan tentu mengetahui kapan dan bagaimana agar seven social sin itu berkurang, tidak
kentara, bahkan hilang sirna. Semoga.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar