Kamis, 26 September 2013

Tujuh Dosa Sosial

Tujuh Dosa Sosial
Jamal Wiwoho  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo
SUARA KARYA, 24 September 2013


Fenomena korupsi telah menjangkiti birokrat, pegawai negeri, wirausaha swasta. Mereka telah memikul tujuh dosa sosial. Pertama, kekayaan tanpa kerja (wealth without work). Ini modus pengemplangan uang negara dengan doktrin "biar uang bekerja untuk kita". Banyak pejabat publik memanfaatkan dan memaksimalkan efek posisi mereka secara haram untuk mendulang uang secara bejibun tanpa banyak bekerja.

Kedua, kesenangan tanpa kesadaran (pleasure without conscious). Pada tataran ini, orang bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Betapa banyak contoh dan model pencurian uang negara oleh pejabat publik. Biasanya mereka bekerja sama dengan swasta untuk keuntungan pribadi masing-masing tanpa mempertimbangkan sedikit pun kesengsaraan jutaan rakyat.

Ketiga, pengetahuan tanpa karakter (knowledge without character). Para cerdik cendekia membebek kepentingan penguasa. Mereka tak mengindahkan moralitas dan kebenaran. Orang-orang pandai yang dibiayai pemerintah cuma membela pemerintah meski salah sekalipun. Mereka lupa kewajiban moralitasnya: mengingatkan manakala pemerintah melupakan kewajiban sebagai pelayan masyarakat, bukan sebaliknya.

Keempat, perdagangan tanpa moralitas (commerce without morality). Para pelaku bisnis hanya berpikir untung terus-menerus tanpa peduli nasib rakyat. Mereka menumpuk kekayaan usaha atas prinsip homo homini lopus. Maka usaha kecil menengah (UKM), misalnya, tergencet/termakan oleh usaha besar. Pasar tradisional ataupun warung-warung tergulung oleh pasar modern skala besar.

Kelima, ilmu tanpa kemanusiaan (sciene without humanity). Banyak ilmuwan sibuk memperbincangkan norma ilmiah, namun melupakan manusia yang seharusnya menjadi dasar penegakan ilmu. Doktrin "ilmu untuk ilmu" banyak mewarnai langkah ilmuwan kita. Mereka bukan menerapkan "ilmu untuk masyarakat" atau "ilmu untuk kecerdasan serta kemakmuran".

Keenam, ibadah tanpa pengorbanan (worship without sacrifice). Banyak orang beragama tak peduli dengan pengorbanan diri untuk menyucikan hati dan lupa prinsip-prinsip spiritual agama. Tempat-tempat ibadah hanya sesekali penuh jemaah. Orang beragama terpaku berdoa untuk diri sendiri dan lupa pengorbanan untuk orang lain.

Ketujuh, politik tanpa prinsip (politics without principle). Politikus tidak menggunakan etika dan prinsip. Mereka main sikut kanan-kiri, loncat sana-sini, pamer wajah, menjilat ke atas, menginjak ke bawah untuk kepentingan mereka sendiri dan demi meraih kekuasaan. Mereka menghalalkan segala cara sehingga tidak ada batasan mana yang etis dan tidak etis.

Kondisi itu diperparah manakala saat pemilu pemilih tidak jeli dan keliru memilih wakil rakyat yang amanah. Peta DPR pun bisa dipenuhi wakil rakyat yang tidak kredibel, khususnya menyangkut pembuatan perundangan (legislation), penganggaran (budget), dan pengawasan (control).

Orang berilmu tanpa agama dan orang beragama tanpa ilmu dikhawatirkan memicu bahaya laten korupsi. Akhirnya, jika Mahatma Gandhi masih hidup dan berada di Indonesia, tentu dia menangis sejadi-jadinya. Pasalnya, negara gemah ripah lohjinawi bernama Indonesia kini menanggung tujuh dosa sosial.


Tuhan tentu mengetahui kapan dan bagaimana agar seven social sin itu berkurang, tidak kentara, bahkan hilang sirna. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar