|
Kita harus lebih toleran, damai, berbelas
kasih kepada sesama, dan jangan membiarkan diri penuh kecurigaan (Karen Armstrong).
Keberagaman masyarakat Indonesia
yang terdiri dari berbagai etnik, suku, agama dan bahasa daerah yang menghuni
di 17 ribu pulau merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai harganya. Namun,
jika kita amati kondisi bangsa saat ini kita sepertinya tidak berdaya dan
kurang mampu mengelola perbedaan itu.
Keberagaman pun seakan membawa
petaka sebagai akibat dari sekelompok orang yang tidak menghargai perbedaan
pandangan. Mereka lebih memilih cara-cara kekerasan dan mengabaikan dialog
sebagai solusi konflik. Hal ini perlu perhatian secara cermat oleh pemerintah.
Pendidikan harus ikut memberikan andil dalam membentuk masyarakat yang
toleransi dan berkeadaban. Sebab itu, pendidikan harus berperan untuk
menciptakan masyarakat yang rukun, damai dan berkeadaban. Caranya mengenal
pendidikan multikultural bagi anak didik sejak dari awal.
Pendidikan multikultural dalam
pandangan Bill Martin dalam Gunadi (2013) adalah keseluruhan isu tentang
multikultural memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak
sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Multikultural lebih
dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus
benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu, yang tujuannya
untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia untuk sebuah kerukunan.
Kerukunan adalah kata kunci bagi
sebuah perdamaian. Kerukunan dalam keberagaman akan membawa negara atau bangsa
pada tujuan yang dicita-citakan. Segala sesuatunya tidak akan bermakna apa-apa,
jika saja dalam masyarakat tidak bisa hidup damai.
Lalu, James Banks (1997)
mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, keberagaman
harus mampu dipahami sebagai sebuah anugerah yang datangnya dari Yang Maha Esa.
Pemahaman akan keberagaman akan melahirkan sikap "berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah" dalam kehidupan masyarakat.
Meskipun pada saat ini sudah ada
pendidikan kewarganegaraan, namun hal ini belum memenuhi semua harapan agar
peserta didik memahami bahwa bangsa Indonesia disatukan dari keberagamanan,
melalui konsep 'Bhineka Tunggal Ika.'
Jauh hari sebelum Indonesia
merdeka, pluralisme itu sudah ada pengakuan, dan masyarakat pun dipertemukan
dalam sautu kerukunan. Ini dapat kita jumpai dalam babad Negarakertagama karya
penulis Majapahit, Empu Prapanca. Negarakertagama mengisahkan bagaimana Hayam
Wuruk dan Patih Gadjah Mada, bahu membahu memberikan perhatian terhadap
rakyatnya dan menyokong pluralisme yang ada pada masyarkatnya.
Nurcholish Madjid (2004)
menyatakan bagi yang sempat berusaha memahami lebih mendalam, ungkapan Bhineka
Tunggal Ika gubahan Empu Tantular itu dimaksudkan sebagai pengakuan positif
kepada keanekaragaman orientasi keagamaan dalam masyarakat. Karena hakikat dan
tujuan semuanya itu satu dan sama, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berbuat baik kepada sesama makhluk, tan
hana dharma mangroa, tidak ada jalan kebaikan yang mendua dalam tujuan.
Kemudian, penanaman pendidikan
multikultural pada anak-anak didik sejak dini dan pada pendidikan dasar dan
menengah ibarat menabur benih perdamaian. Benih-benih perdamaian yang
ditanamkan pada anak didik sangat penting terutama aspek-aspek belas kasih.
Jika dari dini ditanamkan ini akan berdampak sangat panjang bagi terciptanya
kerukunan ke depan. Seperti yang diingatkan oleh Karen Amstrong di paragrap
pembuka tulisan di atas.
Oleh sebab itu, sekolah atau pihak
berwenang mengelola pendidikan sudah saatnya memasukan pendidikan multikultural
ini dalam pembalajarannya di kelas. Alasannya pun sangat logis. Karena sekolah
dan ruang kelas adalah representasi dari masyarakat Indonesia dalam skala
kecil.
Pemahaman anak didik dari awal
tentang perbedaan suku, agama, ras diharapkan mampu menumbuh-kembangkan
toleransi, sikap saling menghargai dan memahami orang lain yang ada di
sekitarnya. Adanya pemahaman bahwa orang tidak seragam, suku, agama, dan
keyakinan hidup oleh anak didik akan mengantarkan mereka kepada sikap tan hana
dharma mangroa yakni, berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik
kepada sesama makhluk.
Dengan adanya pendidikan
multikultural diharapkan anak didik mampu memiliki pemahaman, bahwa negara atau
daerah tempat tinggal mereka adalah "rumah yang teduh untuk semua."
Tidak boleh ada lagi suku bangsa, ataupun individu yang harus terusir dari
rumahnya, atau harus menggungsi karena perbedaan keyakinan, gender, ras,
ataupun suku.
Pendidikan sebagai rekayasa sosial
harus mampu mengarahkan dan menempatkan nilai-nilai kemajemukan bangsa
Indonesia pada fungsi dan peran masing-masing individu. Reformasi yang telah
mengilhami kebebasan setiap orang dalam bernegara dan berbangsa tidak boleh
kebablasan. Etika dan budaya ketimuran kita tidak boleh terkikis dan hanyut
dibawa arus globalisasi.
Sebagai penutup, kemajemukan yang
ada dalam masyarakat Indonesia apabila dapat dikelola dengan baik merupakan
suatu potensi yang cukup besar bagi kemajuan dan perkembangan bangsa Indonesia
ke depan. Karenanya sangat relevan jika kita mampu memberdayakan kemajemukan
itu sejak dari dini, yaitu melalui pendidikan multikultural. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar