Minggu, 15 September 2013

Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multikultural
Arbai  ;   Pendidik, Mahasiswa Penerima Beasiswa S2 Kemendiknas
di MM UGM, Yogyakarta
SUARA KARYA, 14 September 2013


Kita harus lebih toleran, damai, berbelas kasih kepada sesama, dan jangan membiarkan diri penuh kecurigaan (Karen Armstrong).

Keberagaman masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnik, suku, agama dan bahasa daerah yang menghuni di 17 ribu pulau merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai harganya. Namun, jika kita amati kondisi bangsa saat ini kita sepertinya tidak berdaya dan kurang mampu mengelola perbedaan itu.
Keberagaman pun seakan membawa petaka sebagai akibat dari sekelompok orang yang tidak menghargai perbedaan pandangan. Mereka lebih memilih cara-cara kekerasan dan mengabaikan dialog sebagai solusi konflik. Hal ini perlu perhatian secara cermat oleh pemerintah. Pendidikan harus ikut memberikan andil dalam membentuk masyarakat yang toleransi dan berkeadaban. Sebab itu, pendidikan harus berperan untuk menciptakan masyarakat yang rukun, damai dan berkeadaban. Caranya mengenal pendidikan multikultural bagi anak didik sejak dari awal.

Pendidikan multikultural dalam pandangan Bill Martin dalam Gunadi (2013) adalah keseluruhan isu tentang multikultural memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Multikultural lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu, yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia untuk sebuah kerukunan.
Kerukunan adalah kata kunci bagi sebuah perdamaian. Kerukunan dalam keberagaman akan membawa negara atau bangsa pada tujuan yang dicita-citakan. Segala sesuatunya tidak akan bermakna apa-apa, jika saja dalam masyarakat tidak bisa hidup damai.

Lalu, James Banks (1997) mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, keberagaman harus mampu dipahami sebagai sebuah anugerah yang datangnya dari Yang Maha Esa. Pemahaman akan keberagaman akan melahirkan sikap "berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah" dalam kehidupan masyarakat.

Meskipun pada saat ini sudah ada pendidikan kewarganegaraan, namun hal ini belum memenuhi semua harapan agar peserta didik memahami bahwa bangsa Indonesia disatukan dari keberagamanan, melalui konsep 'Bhineka Tunggal Ika.'

Jauh hari sebelum Indonesia merdeka, pluralisme itu sudah ada pengakuan, dan masyarakat pun dipertemukan dalam sautu kerukunan. Ini dapat kita jumpai dalam babad Negarakertagama karya penulis Majapahit, Empu Prapanca. Negarakertagama mengisahkan bagaimana Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada, bahu membahu memberikan perhatian terhadap rakyatnya dan menyokong pluralisme yang ada pada masyarkatnya.

Nurcholish Madjid (2004) menyatakan bagi yang sempat berusaha memahami lebih mendalam, ungkapan Bhineka Tunggal Ika gubahan Empu Tantular itu dimaksudkan sebagai pengakuan positif kepada keanekaragaman orientasi keagamaan dalam masyarakat. Karena hakikat dan tujuan semuanya itu satu dan sama, yaitu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik kepada sesama makhluk, tan hana dharma mangroa, tidak ada jalan kebaikan yang mendua dalam tujuan.

Kemudian, penanaman pendidikan multikultural pada anak-anak didik sejak dini dan pada pendidikan dasar dan menengah ibarat menabur benih perdamaian. Benih-benih perdamaian yang ditanamkan pada anak didik sangat penting terutama aspek-aspek belas kasih. Jika dari dini ditanamkan ini akan berdampak sangat panjang bagi terciptanya kerukunan ke depan. Seperti yang diingatkan oleh Karen Amstrong di paragrap pembuka tulisan di atas.

Oleh sebab itu, sekolah atau pihak berwenang mengelola pendidikan sudah saatnya memasukan pendidikan multikultural ini dalam pembalajarannya di kelas. Alasannya pun sangat logis. Karena sekolah dan ruang kelas adalah representasi dari masyarakat Indonesia dalam skala kecil.

Pemahaman anak didik dari awal tentang perbedaan suku, agama, ras diharapkan mampu menumbuh-kembangkan toleransi, sikap saling menghargai dan memahami orang lain yang ada di sekitarnya. Adanya pemahaman bahwa orang tidak seragam, suku, agama, dan keyakinan hidup oleh anak didik akan mengantarkan mereka kepada sikap tan hana dharma mangroa yakni, berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik kepada sesama makhluk.

Dengan adanya pendidikan multikultural diharapkan anak didik mampu memiliki pemahaman, bahwa negara atau daerah tempat tinggal mereka adalah "rumah yang teduh untuk semua." Tidak boleh ada lagi suku bangsa, ataupun individu yang harus terusir dari rumahnya, atau harus menggungsi karena perbedaan keyakinan, gender, ras, ataupun suku.

Pendidikan sebagai rekayasa sosial harus mampu mengarahkan dan menempatkan nilai-nilai kemajemukan bangsa Indonesia pada fungsi dan peran masing-masing individu. Reformasi yang telah mengilhami kebebasan setiap orang dalam bernegara dan berbangsa tidak boleh kebablasan. Etika dan budaya ketimuran kita tidak boleh terkikis dan hanyut dibawa arus globalisasi.


Sebagai penutup, kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia apabila dapat dikelola dengan baik merupakan suatu potensi yang cukup besar bagi kemajuan dan perkembangan bangsa Indonesia ke depan. Karenanya sangat relevan jika kita mampu memberdayakan kemajemukan itu sejak dari dini, yaitu melalui pendidikan multikultural. Semoga. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar