|
“Kebijakan lain
untuk memperkuat nilai tukar rupiah adalah mencegah kepulangan devisa
keuntungan bisnis PMA”
LEWAT artikel ’’Mengembalikan Devisa Hasil Ekspor’’ (SM,
18/9/13) Susidarto menyarankan pemerintah dan BI untuk ’’memanggil’’ devisa
hasil ekspor pulang ke Indonesia. Langkah itu untuk mencegah depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS. Salah satu cara adalah mewajibkan eksportir memarkir
devisa hasil ekspor di bank-bank di dalam negeri. Selama ini devisa hasil ekspor
pengusaha Indonesia banyak diparkir di sejumlah bank di luar negeri.
Susidarto juga menyarankan pemerintah merevisi UU tentang
Lalu Lintas Devisa Indonesia yang dianggap terlalu liberal sehingga orang mudah
membawa keluar masuk devisa atau dolar AS dari dan ke Indonesia, berapa pun
jumlahnya. Hal itu mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mudah
goyang. Dia juga berharap nasionalisme pengusaha Indonesia, dalam bentuk tidak
memarkir dana devisa hasil ekspor di bank-bank luar negeri.
Saya setuju dengan usulan itu, kecuali dalam hal menggugah
nasionalisme pengusaha secara sukarela. Pada era global dengan mobilitas devisa
atau modal nyaris sempurna antarnegara, rasanya sulit menuntut nasionalisme
pengusaha secara sukarela. ’’Nasionalisme’’ pengusaha adalah uang atau
keuntungan.
Selama menguntungkan, pengusaha akan menempatkan dana
mereka di mana pun. Yang bisa dilakukan BI dan pemerintah adalah memberikan
insentif agar dana hasil ekspor itu diparkir di bank-bank domestik, semisal
memberikan keringanan pajak deposito atas devisa hasil ekspor tersebut.
Mencegah
Repatriasi
Di samping ìmemanggilî pulang devisa hasil ekspor pengusaha
kita dengan paksaan atau secara sukarela lewat insentif (misal keringanan bunga
deposito), kebijakan lain untuk memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
adalah mencegah kepulangan (repatriasi) devisa hasil keuntungan penanaman modal
asing (PMA) ke negara asal.
Jumlah laba perusahaan asing atau PMA yang dikirim pulang
ke negara asal, sangat besar selalu meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2009
berjumlah 8,7 miliar dolar AS, dan meningkat lagi jadi 12,6 miliar dolar AS
tahun 2010 atau meningkat 45% dibanding 2009.
Tahun 2011 meningkat menjadi 17,7 miliar dolar AS dan tahun
2012 menjadi 17,8 miliar dolar AS. Pada semester I/2013 bahkan sudah mencapai
8,1 miliar dolar AS sehingga akhir 2013 diperkirakan mencapai lipat dua.
Sangat mustahil mengimbau perusahaan asing untuk menanamkan
devisa hasil keuntungan beroperasi di Indonesia secara sukarela. Motif utama
perusahaan asing adalah mencari sebesar-besarnya keuntungan. Kalau perlu demi
mencapai tujuan itu, mereka memengaruhi politik atau kebijakan pemerintah
setempat.
Tentang hal ini, ulasan menarik dilakukan oleh Arief
Budiman dalam disertasi bidang sosiologi di Harvard University dengan judul “Jalan Demokratis ke Sosialisme: Perjalanan
Chile di Bawah Allende” (diterjemahkan tahun 1986 dan diterbitkan oleh
Penerbit Sinar Harapan).
Dalam disertasi tersebut, Arief Budiman mengungkapkan
’’dugaan keterlibatan’’ perusahaan multinasional Coca-Cola dalam kudeta
terhadap Presiden Chile Simon Allende oleh militer. Perusahaan tersebut
mengudeta karena Allende akan menasionalisasikan semua perusahaan asing atau
PMA di negaranya.
Tentu tidak bisa pula memaksa perusahaan asing atau PMA
untuk kembali menanamkan laba yang ia peroleh di Indonesia dengan cara paksaan
karena mereka malah memilih hengkang dari Indonesia. Kita sudah melihast
berbagai contoh mudahnya perusahaan asing berpindah dari Indonesia. Seandainya
itu terjadi justru kontraproduktif bagi kita .
Kita harus berkaca pada kasus tergulingnya Simon Allende
di Chile dan juga mudah pindahnya perusahaan asing. Untuk menarik perusahaan
asing kembali menanamkan labanya ke Indonesia, semisal untuk perluasan
produksi atau membuka usaha baru, pemerintah kita harus memberikan insentif
yang menguntungkan dan menghilangkan berbagai hambatan bisnis.
Berbagai insentif yang bisa ditawarkan semisal penangguhan
pajak bagi perusahaan baru ataupun perluasan hasil penanaman kembali laba perusahaan
asing di Indonesia. Hambatan bisnis yang harus dihilangkan, pertama;
korupsi. Hal itu dapat dapat dibaca pada laporan Transparency International
tahun 2013 yang menempatkan Indonesia masih sebagai negara korup pada urutan
ke-118 dari 175 negara yang disurvei.
Hal itu senada dengan laporan World Economic Forum tentang daya saing yang menyebutkan korupsi
sebagai hambatan utama bisnis di Indonesia (19,3% responden menjawab).
Kedua; birokrasi perizinan. Laporan Bank Dunia dalam ”Doing Business 2013” menyebutkan untuk
mengurus perizinan usaha dibutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu 47 hari.
Bahkan kalau ditanyakan, secara empiris hari yang dibutuhkan lebih lama dari
itu. Hal ini juga sama dengan hasil survei World
Economic Forum yang menempatkan birokrasi yang tidak efisien sebagai
urutan kedua hambatan bisnis di Indonesia (15% responden menjawab).
Ketiga; menghilangkan hambatan-hambatan lain, yaitu
infrastruktur yang jelek, keterbatasan akses kepada modal, dan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang merugikan pengusaha, antara lain dalam
bentuk terus naiknya upah minimum kabupaten/kota. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar