|
“Hampir semua orang bisa tahan dalam penderitaan, tetapi
kalau Anda mau menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.” Abraham Lincoln
Ketika Presiden Yudhoyono dikabarkan mengeluhkan kerasnya
pelantang suara demonstrasi buruh yang dianggap mengganggu Istana, sesungguhnya
yang terjadi tak lebih dari jeritan kaum buruh menuntut perhatian pemerintah
untuk pemerataan kesejahteraan.
Tidak harus menjadi ekonom untuk menyadari bahwa kenaikan
upah minimum pada tahun ini langsung tergerus kenaikan harga BBM yang memicu
inflasi, ditambah lagi kenaikan beberapa harga komoditas seperti kedelai
ataupun bawang putih yang sarat skandal itu.
Badan Pusat Statistik menyatakan, meski nominal meningkat
signifikan, upah riil buruh industri pada kuartal pertama 2013 justru turun
1,05 persen (Bisnis Indonesia, 1/7). Sementara itu, koefisien gini pengukur
tingkat kesenjangan terus meningkat hingga 0,41 tanpa ada tanda-tanda
pemerintah menaruh perhatian serius untuk mengatasinya secara sistematis.
Sebelumnya, menanggapi maraknya aksi buruh menuntut kenaikan
upah minimum di sejumlah daerah, Menteri Perindustrian MS Hidayat, seorang
pengusaha, beberapa kali menyatakan bahwa pemerintah akan mengeluarkan
instruksi presiden yang akan membatasi kenaikan upah minimum sebesar 20 persen
terhadap upah minimum tahun berjalan.
Sesungguhnya isu pembatasan kenaikan upah minimum bukan hal
baru karena pada tahun 2006 sudah ada Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006
tentang Paket Kebijakan Pemulihan Iklim Investasi, yang antara lain memuat hal
sama. Instruksi ini tidak efektif karena ditolak buruh.
Dinamika politik lokal juga akan memaksa penguasa daerah
menyingkirkan instruksi ini, seperti sudah sering terjadi.
Sikap lebih simpatik disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta
Basuki Tjahaja Purnama, juga berlatar pengusaha, yang menyatakan bahwa memang
tuntutan buruh itu wajar saja, setidaknya untuk DKI yang memang kebutuhan
hidupnya sudah tinggi. Masalahnya, menurut Basuki, adalah bagaimana menurunkan
kebutuhan hidup layak (KHL) buruh agar upah minimum juga bisa ditekan.
Ini, menurut Basuki lagi, dapat dilakukan dengan mengurangi
pengeluaran buruh. Itulah alasan Pemerintah DKI menyelenggarakan program Kartu
Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar agar sebagian pengeluaran warga DKI,
termasuk buruh, bisa dikurangi.
Selain itu, juga dengan menyediakan perumahan buruh yang
dekat dengan tempat bekerja untuk menekan ongkos transportasi, ”Kami
mempersiapkan 400 hektar, tahun ini kami sudah beli 45 hektar menjadi rumah susun
superblok di sana. Jadi, buruh ke pabrik bisa naik sepeda,” kata Basuki (Tribun
Jakarta, 3/9/2013).
Di sini Basuki menunjukkan pemahamannya yang mendalam, dengan
tidak begitu saja menerima atau menolak desakan buruh, tetapi memberi solusi
yang bisa dilakukan melalui kekuasaan politik yang ia miliki. Solusi yang
dipilihnya: memperkuat perlindungan sosial dengan pada saat sama menekan
pengeluaran.
Pengalaman Brasil
Banyak studi sudah menunjukkan kaitan kebijakan kenaikan upah
minimum dapat berdampak pada penurunan kesenjangan sosial di masyarakat (ILO,
2011). Strategi ini disebut dengan income-led
growth strategy, strategi pertumbuhan dengan peningkatan pendapatan.
Contoh paling nyata yang menerapkan strategi ini adalah Brasil pada era
Presiden Lula da Silva (2002-2011). Meski tak bebas dari dampak krisis
finansial dan ekonomi, dengan strategi tersebut, Brasil berhasil menunjukkan
kinerja yang memuaskan dari segi ekonomi ataupun pasar buruhnya.
Berbeda dengan rezim sebelumnya, ketika Lula da Silva,
berlatar buruh pabrik dan pemimpin Partai Buruh Brasil, akhirnya terpilih
sebagai Presiden Brasil pada 2002 (setelah tiga kali gagal dalam pemilu), untuk
mengatasi krisis ia menerapkan strategi inovatif ini. Fokus utamanya
pembangunan negara kesejahteraan (sistem jaminan sosial), kebijakan menaikkan
upah buruh, mendorong investasi pemerintah, dan perhatian baru pada kebijakan
industri. Pernyataan pertama di hadapan publik yang disampaikan Lula: akan
menaikkan upah minimum buruh secara riil sebesar 50 persen dalam lima tahun.
Pada awalnya, pengusaha jelas keberatan, tetapi hanya dalam
tempo dua tahun Lula berhasil meyakinkan mereka, bahkan organisasi pengusaha di
Brasil setuju membuat perjanjian: bersama dengan pemerintah dan serikat buruh
melaksanakan program pemerintah tersebut.
Pemerintah memilih industri manufaktur yang paling penting di
Brasil, dalam arti mempekerjakan paling banyak buruh dan mampu mendorong
pertumbuhan di sektor lainnya. Pajak produk industri kemudian diturunkan
sehingga harga produk murah, agar pengusaha dapat menaikkan upah buruhnya
dengan pada saat sama juga mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja.
Membelanjakan upah
Untuk mendorong konsumsi, saban hari Presiden Lula berpidato
di televisi mendorong rakyatnya membelanjakan upahnya untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi domestiknya. Program perlindungan sosial juga dikembangkan.
Jaminan pensiun diperluas, hingga 85,7 persen warga usia 65 ke atas
menikmatinya, dengan total 34 juta penduduk yang menikmati, termasuk 8,2 juta
penduduk pedesaan.
Program Bolsa Familia (semacam bantuan langsung tunai
terarah) yang diberikan kepada perempuan dan untuk pendidikan anak-anak juga
diperluas hingga 13 juta penduduk. Seperti dilaporkan Berg (2012), kebijakan
mendorong pertumbuhan dengan peningkatan pendapatan sekaligus melindungi yang
paling miskin ini bertanggung jawab pada penurunan koefisiensi gini secara
kontinu (2002-2008) kekuasaan Presiden Lula dan penguatan pasar kerja dan
ekonomi negeri itu. Peningkatan pendapatan buruh berdampak langsung pada
penurunan 62 persen koefisiensi gini, sementara peningkatan pekerjaan formal
yang dikombinasi dengan kenaikan upah minimum secara signifikan adalah
pendorong utama di balik turunnya kesenjangan. Bolsa Familia secara langsung
menyumbang sekitar 20 persen dari penurunan tingkat kesenjangan.
Apakah kebijakan inovatif seperti ini bisa diterapkan di
Indonesia? Apakah pengusaha dan buruh akan menerima? Mengapa tidak? Pengusaha
sesungguhnya ”tinggal apa kata pemerintah, asal pemerintah tegas”. Selama semua
dilakukan secara transparan dan masuk akal, buruh pun akan siap bernegosiasi.
Gerakan serikat buruh hari ini sudah jauh berbeda dengan 10 tahun lalu pada
awal reformasi. Sebagian serikat mandiri dari iuran anggotanya dengan struktur
dan perangkat organisasi yang rapi di berbagai daerah.
Semua demonstrasi yang mereka lakukan pun relatif tertib
dengan isu yang juga sahih: kenaikan upah, pembatasan kerja alih daya, dan
pelaksanaan jaminan sosial di negeri ini yang justru terus saja dihambat
pemerintah pusat sendiri.
Ketika tidak ada satu partai politik pun memperjuangkannya
secara sistematis, gerakan buruh menjadi satu-satunya kekuatan sosial yang
paling konsisten mendesakkan itu. Sebaliknya, selama penguasa lebih bersikap
seperti pengusaha dan tidak juga mampu kreatif menawarkan solusi yang masuk
akal bagi rakyatnya, selama itu pula gerakan buruh semakin kuat menyampaikan
tuntutannya. Kalau perlu, dengan pelantang suara yang lebih besar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar