|
KETIKA
mata dunia berpaling ke Syria, mungkin banyak orang lupa bahwa revolusi Mesir
belum selesai dan terus menunjukkan dinamikanya. Di antara negeri-negeri “musim
semi Arab”, Mesir adalah satu-satunya negeri dengan konjungtur politik dan
sosial yang menunjukkan stamina revolusioner yang paling bertahan lama dalam
transisi dari tatanan lama menuju tatanan sosial, politik, dan ekonomi baru.
Bagi pers dominan, yang
lebih suka melihat Mesir sebagai negeri yang stabil’ di bawah cengkeraman
Barat, yang terjadi di Mesir hari ini merupakan ‘krisis’ yang mengarah pada
destruksi yang, sebagai konsekuensinya, membutuhkan stabilisasi. “Stabilitas”
adalah kata kunci bagi opini dominan ini. Tetapi, tidak demikian halnya bagi
Samir Amin, yang melihat gejolak yang terjadi di Mesir sebagai suatu situasi
transisi yang penting bagi rekonfigurasi tatanan sosial, ekonomi, dan politik
baru dalam apa yang diistilahkannya sebagai ‘jalan panjang menuju sosialisme’ (longue route au socialisme).
Selepas sebuah acara di
UNESCO (Paris) pada 20 September 2013, Samir Amin, ekonom
dan pemikir kelahiran Mesir, direktur Forum Dunia Ketiga dan presiden Forum
Dunia Alternatif, diwawancarai oleh Muhammad Al-Fayyadl, mahasiswa filsafat Universitas Paris VIII, mengenai
revolusi Mesir dan pelajaran yang dapat ditarik bagi rakyat Indonesia. Berikut
petikannya:
Muhammad Al-Fayyadl (MAF): Saya kontributor untuk sebuah jurnal yang dikelola oleh para
aktivis kiri di Indonesia, Marxis atau neo-Marxis, dari kiri jauh sampai kiri
tengah, bernama IndoPROGRESS. Kami akan senang bila kami dapat mewawancarai Anda mengenai
pandangan Anda tentang revolusi Mesir. Pelajaran-pelajaran apa saja yang bisa
kita tarik dari kasus Mesir untuk rakyat Indonesia?
Samir Amin (SA): Ya,
ada dua pelajaran besar yang bisa ditarik, karena kejatuhan Mobarak. Perlu
ditekankan bahwa pertama-tama, lalu berikutnya kejatuhan Morsi, adalah hasil
dari perlawanan rakyat Mesir, dan dari gerakan perlawanan yang terus membesar.
Gerakan perlawanan yang berujung pada kejatuhan Morsi, bahkan lebih besar dan
lebih kuat daripada gerakan perlawanan yang berujung pada kejatuhan Mobarak.
Kita bisa memberikan angkanya. Demonstrasi terbesar menjelang kejatuhan
Mobarak, menghimpun (di seluruh kota di Mesir) sekitar 15 juta demonstran.
Demonstrasi 30 Juni yang berujung pada kejatuhan Morsi, menghimpun lebih dari
30 juta demonstran. Bahkan untuk sebuah negeri dengan 80 juta penduduk,
menyebut 30 juta demonstran pada jam yang sama berarti menyebut seluruh
penduduk negeri ikut berdemonstrasi.
Gerakan
semacam ini adalah gerakan yang praktis meliputi seluruh negeri, seluruh
rakyat. Dan tentu saja begitu besar sehingga gerakan itu mampu menghimpun
berbagai kepentingan sosial yang berbeda; ada kepentingan-kepentingan yang
berkonflik, visi-visi politik yang berbeda, dan terkadang dapat didamaikan.
Dalam gerakan raksasa itu, dengan demikian, terdapat kaum kiri, kaum kanan, dan
kaum tengah-kanan. Kaum kiri jauh lebih kuat daripada kelihatannya. Tentu saja,
kaum kiri yang terorganisir dalam organisasi-organisasi komunis menghimpun para
aktivis dari sekitar 50 ribuan aktivis. Jumlah itu barangkali kecil tetapi itu
juga jumlah yang signifikan, karena ia menyangkut pengkaderan.
Tradisi
komunis itu di Mesir banyak memiliki prestise, dan sangat dihormati. Ketika
kita menyebut ‘komunis,’ orang-orang tidak melihat pada diri Anda sesuatu yang
menakutkan, tetapi sebaliknya, seorang pejuang yang berani dalam pembebasan
nasional dan kemajuan sosial. Kaum kiri juga menghimpun serikat-serikat kerja
yang sangat kuat di Mesir—dengan 5 juta orang yang terorganisir—dan kiri,
walaupun dalam situasi terkini—mereka punya alasan untuk itu—mereka tidak ingin
lagi menjadi ‘mata rantai transmisi,’ begitu kita menyebutnya dulu, dari garis
politik yang didikte dari luar oleh partai politik. Di dalam kaum kiri
tersebut, terdapat sehimpunan petani dalam jumlah signifikan, para petani kecil
yang berlawan—dan perlawanan itu keras, setiap hari terdapat korban—untuk
mempertahankan kepemilikan kecil yang terancam oleh ekspansi kapitalis yang
liar hari ini. Di dalam kaum kiri tersebut juga terdapat gerakan populer kaum
perempuan. Terdapat dua gerakan perempuan: gerakan perempuan dari kelas
menengah terdidik yang perhatian utamanya adalah pada hak-hak perempuan dan
demokrasi, dan gerakan perempuan popular yang menaruh perhatian lebih jauh pada
kemelaratan dan penindasan. Di dalam kaum kiri tersebut juga terdapat dua
gerakan besar kaum muda. Saya melihat ada empat gerakan kaum muda;
masing-masing gerakan tersebut menghimpun 300 sampai 400 ribu aktivis
terorganisir—itu bukan jumlah yang kecil. Dua dari gerakan-gerakan tersebut
benar-benar kiri; dengan kata lain, memiliki, seperti sering mereka katakan, orientasi
pada demokratisasi masyarakat, keadilan sosial, dan kemerdekaan nasional.
Kemudian,
terdapat kaum tengah. Di dalam kaum tengah, kita memiliki sejumlah nama besar
organisasi dan terkadang partai politik, bukan dari borjuasi tetapi dari kelas
menengah, orang-orang terdidik—para dokter, dosen, insinyur, pengacara,
karyawan eksekutif administrasi negara dan ekonomi, dan seterusnya. Mereka
bukan mayoritas di dalam bangsa Mesir; kelas menengah mungkin sekitar 15 sampai
20 persen. Tetapi pengaruh mereka sangat kuat, karena orang-orang yang terdidik
itu memiliki jabatan-jabatan penting. Mereka merepresentasikan kaum tengah,
dalam arti bahwa tuntutan mereka adalah tuntutan-tuntutan yang mengarah lebih
kepada persoalan-persoalan demokratis, yang tidak dapat direduksi menjadi
soal-soal Pemilu, tentu saja—persoalan demokratis dalam arti yang jauh lebih
luas, demokratisasi masyarakat, bukan, sekali lagi, semata-mata Pemilu; lagi
pula Pemilu adalah sesuatu yang sekunder dalam perjuangan demokratis, yang
berarti perjuangan mendapatkan hak-hak sosial, hak-hak pribadi, hak-hak asasi
manusia, hak asasi pribadi dan sosial, dan hak berorganisasi dan berjuang—hak
mogok kerja, dan seterusnya. Tetapi juga, tanpa menjadi sosialis, mereka bukan
sosialis. Dengan kata lain, mereka tidak secara prinsipil menentang
kapitalisme, tetapi mereka pro terhadap keadilan sosial, yaitu terhadap
model-model pembangunan yang tidak memiskinkan mayoritas rakyat. Dan mereka
tentu saja pro terhadap kemerdekaan nasional, yakni terhadap keterputusan dari
status aktual dari negara-klien Amerika Serikat dan negara-negara Teluk.
Organisasi-organisasi tersebut sangat kuat secara politis, lebih kuat daripada
kaum kiri, karena organisasi-organisasi itu menyangkut kelas yang relatif
terdidik, dan seterusnya. Selain itu juga terdapat organisasi-organisasi
kepemudaan yang sangat dekat dengan mereka, yang merekrut dan menghimpun
anak-anak yang lahir dari kelas sosial tersebut.
Lalu, jangan lupa, kaum
kanan. Kaum kanan Mesir sangat kuat, dan eksis. Mereka adalah borjuasi, sebuah
borjuasi komprador, tentu saja, tetapi borjuasi yang sebenarnya, yang memiliki
akar historis dan berakar di pedesaan, kelas para petani kaya yang dulu kami
sebut dalam jargon sebagai para ’koulak,’ mereka
adalah basis dari Islam reaksioner Ikhwanul Muslimun. Mereka adalah inti
sentral dari, katakanlah, pemanfaatan dangkal atas agama, seperti agama Katolik
yang dimanfaatkan oleh kekuasaan di abad ke-19; itu bukanlah hal yang sama
sekali baru. Tetapi itu adalah Islam politik reaksioner dari kelas reaksioner.
Nah, berhadapan dengan itu
semua, terdapat militer. Dan di dalam militer, terdapat para komandan dan
perwira. Para komandan, sejak era Sadat pada 1970, secara sistematis dibeli dan
dikorupsi oleh Amerika Serikat. Dan kita tidak dapat berharap hal yang besar
dari para jenderal dan komandan itu, termasuk Dewan Tertinggi (Dewan Tertinggi
Angkatan Bersenjata, Le Conseil suprême des forces
armées, MAF). Tidak dapat. Tetapi militer di Mesir bukan semata-mata
para jenderal, mereka juga adalah para kapten, dan tentara patuh kepada para
kapten ini. Jika para kapten membangkang terhadap para jenderal, para jenderal
tidak memiliki akses kepada para tentara. Dan terdapat kontradiksi di dalam
militer, karena di antara para kapten, terdapat aliran-aliran yang menyatakan
diri Nasserian—tetapi ini menyangkut masa lalu, sebagaimana kita menyatakan
diri Soekarnois di Indonesia—saya akan menempatkan mereka di kubu tengah secara
politis. Dengan demikian terdapat dua kubu tengah: tengah-kiri dan
tengah-kanan.
Dengan kata lain, mereka, para kapten itu, tidak mesti
anti-kapitalis, tetapi setidaknya mereka pro terhadap keadilan sosial. Mereka
juga tidak terlalu demokrat. Nah, mengapa militer dapat merebut kemenangan
populer yang berhasil menggulingkan Mobarak pada 2011 dan menggulingkan Morsi 3
Juli 2013? Jika Dewan Tertinggi melakukan hal tersebut, itu menunjukkan mereka
cerdas. Karena militer mereka tahu bahwa komandan mereka…—mereka tidak tunduk
kepada Amerika, para sekutu Amerika akan melakukanfait accompli, orang-orang
Amerika yang tidak cerdas: ‘Kamu mendukung Morsi habis-habisan,’ seperti
propaganda Barat hari ini, seperti Hollande yang mengatakan bahwa ‘Presiden
yang terpilih adalah Morsi,’ dan seterusnya—karena mereka tahu bahwa komandan
mereka… harus tampakseolah-olah bersama rakyat.
Mereka tidak dapat melawan rakyat, dan tampak seolah-olah melawan rakyat dengan
mendukung Morsi, melawan lebih dari 30 juta demonstran. Tentu saja operasi
tersebut adalah operasi yang cerdas, dan memberi mereka sejumlah popularitas,
kita tidak boleh mengabaikan itu.
Dan
saat ini, dalam jangka pendek, terdapat sejumlah kebingungan, karena militer
berada di pihak demonstran anti-Morsi—hal itu memberi mereka sedikit prestise.
Tetapi peperangan terus berlanjut, terutama dalam hal: program apa yang akan
bergulir. Kebijakan politik apa yang akan bergulir. Melanjutkan kebijakan
politik neoliberal yang telah diikuti Morsi dengan tunduk kepada Amerika dan
negara-negara Teluk, melanjutkan ketundukan kepada Amerika dan negara-negara
Teluk, atau memulai kebijakan politik independen, sebuah kebijakan politik yang
bersifat sosial? Peperangan akan berlanjut di wilayah itu. Saya percaya bahwa
pelajaran yang bisa ditarik dari pengalaman Mesir bernilai bagi banyak negeri
secara keseluruhan. Karena gerakan-gerakan perlawanan terhadap sistem yang
sedang bekerja saat ini, yang secara keseluruhan tunduk kepada neoliberalisme
dan sangat sering tunduk kepada Amerika, bukan secara eksklusif terjadi di
Mesir atau di negara-negara Arab. Tetapi kelemahan dari gerakan-gerakan itu
adalah ketidakmampuan mereka hingga hari ini—dan mungkin ini adalah kasus yang
juga terjadi di tempat lain—mereka, kaum kiri dan tengah, untuk menemukan
program bersama yang positif dan alternatif.
MAF: Dengan demikian, selain gairah revolusi dan perubahan radikal
masyarakat dan politik, pelajaran yang bisa kita tarik dari kasus Mesir adalah
organisasi massif yang saat ini sedang dibangun oleh rakyat Mesir. Tetapi, yang
membuat hal itu agak menakutkan bagi sebagian kami di Indonesia adalah ‘efek’
khaotiknya. Bagaimana Anda memandang hal itu?
SA: Tidak ada
khaos dalam masyarakat Mesir. Ketika pers Barat menyebut sedang terjadi ‘perang
sipil,’ itu adalah kebohongan. Tidak ada perang sipil. Karena terdapat 90 persen
masyarakat di satu pihak melawan Ikhwanul Muslimun, yang 10 persen di lain
pihak. Ikhwanul Muslimun sangat kecil di Mesir, tetapi mereka sangat
terorganisir. Mereka adalah 500 ribu orang yang teroganisir, termiliterisasi,
didukung oleh milyaran dana negara-negara Teluk, didukung oleh CIA,
dipersenjatai oleh Amerika, didukung oleh negara-negara Barat. Jadi mereka
terus menebar ancaman; yang mereka organisir adalah terorisme. Ini bukan perang
sipil. Mereka akan membom, meledakkan gereja-gereja, dan seterusnya. Hal-hal
semacam itu.
Tentu
saja setiap negeri memiliki karakteristik yang membedakan satu sama lain.
Sebagai contoh, Mesir sangat berbeda dari Tunisia, berbeda dari Syria,
masing-masing negara itu berbeda dari Indonesia. Tetapi terdapat fenomena umum,
yaitu bahwa model pembangunan neoliberal yang berasosiasi dengan ketundukkan
kepada kebijakan Amerika Serikat telah menggiring seluruhnya kepada petaka
sosial, di mana-mana. Dan pertanyaannya adalah bagaimana rakyat merespons
petaka sosial dan politik tersebut dengan perlawanan yang sangat kuat dan dalam
jumlah besar, dan dalam hal itu Indonesia bukan perkecualian. Tetapi di
mana-mana kita menemukan, mungkin dalam bentuk yang berbeda-beda, karakteristik
yang sama, yakni perlawanan kuat dan dalam jumlah besar, tetapi pada saat yang
sama penyebaran aktor-aktor, kekuatan-kekuatan politik dan sosial, sebuah
gerakan yang sangat luas yang menghimpun berbagai kepentingan sosial yang
berbeda. Jadi, kelemahan dari seluruh gerakan tersebut adalah kristalisasinya terhadap
suatu alternatif bersama dan positif.
MAF: Dalam konteks spesifik hubungan Indonesia dan Mesir, kita
mendapatkan tiga hal yang analogis di kedua negeri ini, yakni bahwa
pasca-kediktatoran muncul tiga fenomena: neoliberalisasi atau kapitalisme
neoliberal, bangkitnya Islamisme dan fundamentalisme agama secara umum, dan
kembalinya tentara ke tampuk kekuasaan atau remiliterisasi. Bagaimana menurut
Anda?
SA: Anda tahu
tentang Indonesia ribuan kali lebih baik daripada saya, jadi saya tidak akan
menambahkan apa yang Anda katakan. Tetapi, mungkin kelebihan Mesir dalam
kaitannya dengan Indonesia adalah bahwa kami di Mesir sudah selesai urusan
dengan Islamisme politik, dalam arti bahwa tata pemerintahan Ikhwanul Muslimun
sudah menciptakan kemuakan pada seluruh penduduk Mesir. Dalam demonstrasi 30
juta demonstran, terdapat sebuah papan besar yang bertuliskan ‘Kami adalah
orang-orang mukmin yang taat, dan karena itu kami menentang Ikhwanul Muslimun.’
Anda lihat? Saya tidak yakin hal yang sama terjadi di Indonesia. Dan kemudian,
mengenai militer di Indonesia, saya tidak tahu bagaimana saya harus menilai.
Tetapi mengenai militer Mesir, harus dibedakan antara komandan dan kapten.
MAF: Jadi, dalam hal itu, rakyat Mesir jauh lebih terorganisir dalam
perlawanan menentang Islamisme?
SA: Sekarang,
ya. Dan itu baru.
MAF: Tetapi, bagaimana mereka dapat memunculkan sentimen kritis yang
demikian massif dan kuat terhadap Islamisme, sementara di Indonesia, tidak
demikian persis keadaannya?
SA: Perbedaannya
adalah bahwa di Mesir, sebelumnya kita memiliki pemerintahan Islamis, yaitu
pemerintahan Morsi dan Ikhwanul Muslimun; Anda tidak memiliki hal itu di
Indonesia. Dan sebagai akibatnya, di Mesir, kenyataan bahwa mereka berkuasa
membuka mata tentang siapa mereka sesungguhnya. Mereka telah menjalankan suatu
kebijakan politik neoliberal yang lebih buruk, bahkan lebih buruk daripada
Mobarak, dan ketundukkan kepada Amerika dan negara-negara Teluk yang lebih
buruk ketimbang Mobarak. Hal itu membuka mata rakyat Mesir. Dan sejak Maret
2013, sebuah gerakan kepemudaan yang sangat kuat—tamarrud, yang
berarti ‘pembangkangan’—telah memulai kampanye tanda tangan yang dulu merupakan
sarana untuk membentuk diskusi. ‘Lihatlah Ikhwanul Muslimun, mereka berkuasa,
apa yang mereka lakukan!’
MAF: Saya tertarik pada apa yang Anda katakan tadi mengenai organisasi
populer dalam perlawanan melawan status quo kapitalis-cum-Islamis, bahwa diperlukan suatu organisasi yang kuat
yang berakar pada massa.
SA: Tamarrud berhasil dalam kampanye anti-Ikhwan, karena tamarrud berhasil merebut dukungan dari para
aktivis kiri dan tengah, dalam segala lini.
MAF: Tetapi, bagaimana menjaga kontinuitas perlawanan itu, karena di
Indonesia juga terdapat berbagai upaya untuk mengorganisasi massa dalam
persoalan-persoalan khusus, misalnya dalam soal kesehatan, korupsi, isu-isu
publik, tetapi hal itu tampak sebagai sesuatu yang berjalan sendiri-sendiri.
SA: Itu
kelemahannya, dan itu juga yang terjadi di Mesir. Kita tidak memiliki baik
teori maupun praktik organisasi, berhadapan dengan tantangan aktual. Itu adalah
pekerjaan rumah besar bagi para aktivis, bagi debat-debat, diskusi-diskusi, dan
aksi-aksi, untuk menciptakan bentuk-bentuk organisasi yang mampu beradaptasi
kepada kebutuhan-kebutuhan yang mendesak.
MAF: Tetapi, apakah Anda memiliki harapan bahwa kerja itu akan terus
berjalan?
SA: Ya, saya
punya harapan, tetapi ini bukan sekadar karena kita harus berharap. Pada bulan
Oktober 2012, saya melewatkan sebulan untuk berdiskusi dengan praktis seluruh
aliran kiri dan tengah. Dan saya menyadari bahwa mulai muncul suatu program
bersama; saya akan mengirimkan dokumennya kepada Anda.
MAF: Pertanyaan terakhir. Apa peran rakyat Indonesia dalam menciptakan
apa yang Anda istilahkan sebagai ‘dunia alternatif,’ karena, khususnya dalam persahabatan
antara rakyat Indonesia dan rakyat Mesir, terdapat suatu catatan sejarah yang
istimewa dan mengesankan…
SA: Dan panjang… karena dulu terdapat simpati
aktif antara Soekarno dan Nasser, antara komunisme di Timur Tengah, khususnya
di Mesir, Syria, Irak, dan Iran, dan Partai Komunis Indonesia. Ketika saya
menulis tentang apa yang kita lakukan di tahun 1950-an dalam persiapan
langkah-langkah konferensi Bandung, saya kemudian menyadari, seperti
diungkapkan kamerad kita, Umar Said, mantan jurnalis Harian Ekonomi yang eksil di Paris dan
berkewarganegaraan Prancis, bahwa dahulu berlangsung diskusi-diskusi di Partai
Komunis Indonesia mengenai hal itu.
(Pewawancara : Muhammad Al-Fayyadl, Mahasiswa Filsafat Universitas
Paris VIII) ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar