Rabu, 25 September 2013

Sekali Berarti Sudah Itu Mati

Sekali Berarti Sudah Itu Mati
Mohamad Sobary ;  Budayawan
SINAR HARAPAN, 25 September 2013


Maju
Bagimu Negeri
Menyediakan api
-Chairil Anwar

Seluruh Nusantara pernah bergolak. Daerah demi daerah melawan penjajah. Pahlawan demi pahlawan gugur. Terlalu banyak pahlawan kita. Pangeran Diponegoro salah satu yang paling gigih; paling militan. Beliau—dalam puisi Chairil—“berselempang semangat yang tak bisa mati”. Semangat jihad sejati, membela Tanah Air, membela bangsa, yang terinjak-injak kaum penjajah bangsa asing, yang serakah, dan durjana.

Beliau, dalam puisi Chairil, “tak gentar” biarpun “lawan banyaknya seratus kali”. Tapi pergolakan belum lagi selesai. Lalu kita ingat Chairil Anwar berkata: “Kami sudah coba apa yang kami bisa/Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa”.

Para pejuang menyesal karena “belum apa-apa”. Yang “belum apa-apa” itu seolah karena salahnya, dan karena tanggung jawabnya. Sampai dia berkata lagi: ”Kami sudah beri kami punya jiwa”.

Kita mencatat suasana jiwa dalam perjuangan dari, antara lain, sajak ini. Dulu, orang berjuang, dan sungguh-sungguh. Mereka memimpikan kemerdekaan bangsa yang bisa membuat kita sepadan dengan bangsa-bangsa lain di muka bumi ini. Bangsa lain merdeka, kita juga merdeka. Bangsa lain berdaulat, kita juga berdaulat.

Kita memahami hukum kehidupan: kemerdekaan itu hak segala bangsa. Kita proklamasikan: ”penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Kita pun akrab dengan jerit perjuangan: merdeka atau mati. Kita tak peduli sama sekali, merdeka itu berapa harganya. Tak peduli. Para pejuang ikhlas menyaksikan, atau bahkan menjadi bagian, dari “Beribu kami terbaring antara Krawang - Bekasi.”

Tak menjadi masalah sama sekali, apa pun yang kita korbankan, seperti kata Chairil lagi: “Sekali berarti, sudah itu mati”.

Nilai

Kaum militan—yang sekarang kelihatannya tak ada lagi—mengerti apa yang terpenting dalam hidup. Yang terpenting itu bukan harta, seperti pikiran kebanyakan kita. Harta curian, hasil rampokan, hasil korupsi, dianggap bukan masalah. Kesadaran dan sikap militan, bahwa “sekali berarti sudah itu mati” tak dimiliki oleh orang zaman sekarang.

Wawasan, dan sikap hedonis tentang “Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk sorga” kelihatannya lalu menjadi “idiom” sekaligus”nilai” yang dijunjung tinggi di dalam masyarakat.

Kaum muda yang korup di dalam lingkungan pegawai negeri memang mengejutkan. Pegawai baru di kantor pajak yang berfoya-foya dengan duit, tak mungkin tumbuh murni dari gagasannya sendiri. Di sana agaknya ada”iklim”dan “suasana”lingkungan yang memberinya dorongan.

Lalu apa daya tariknya, apa pesona moralnya ketika orang pajak bikin iklan: ”Orang bijak bayar pajak”? Betapa memalukan. Betapa tak mengerti ironi. Tak mengherankan bila ada resistensi dan sindiran tajam: ”Orang bijak, yangbenar-benar bijak, peduli apa bayar pajak”.

Bersikap taktis saja tidak bisa. Ini apa bedanya dengan orang yang sebelumnya mencederai rakyat, lalu bicara jiwa kerakyatan, gagasan demokrasi dan keadilan, dan menempatkan rakyat di dalam posisi penting,bahkan terpenting, secara politik.

Kita sering tidak tahu bahwa segenap sikap dan cara berpikir kita itu “nonsense” sama sekali. Kita  tidak tahu, tapi yang tidak tahu itu rata-rata begitu ambisius dan serakah untuk menjadi pemimpin bangsa.

Lalu sesudah memimpin, korup, dan korup, serta tak peduli bangsanya terkoyak-koyak keserakahan bangsa asing. Sebagian orang bahkan bersikap pro asing, bangga menjadi bagian dari apa yang asing, dan merasa bahwa gengsinya tinggi sekali ketika mengidentifikasikan diri dengan negeri asing, dan menganggap negeri itu ”my second country.”

Kita sering tak sadar bahwa kita kehilangan kiblat keindonesiaan. Pejabat lupa bahwa menjadi Indonesia, mewakili Indonesia, melindungi Indonesia itu pentingnya bukan main. Kita turuti semua kepentingan politik ekonomi, yang datang dari negeri asing dan orang asing. Tambang kita serahkan; perkebunan kita serahkan; perbankan kita serahkan.

Orang asing mengatur kita, menguasai kita, mencocok hidung kita, dan kita diam saja. Apa yang bisa diharap dari orang-orang, pejabat-pejabat, yang merasa orang asing daripada merasa orang Indonesia.

Negara asing dianggap negeri keduanya, tapi dalam kebijakan, tak mustahil dinomorsatukan. Bangsanya sendiri, rakyatnya, yang menderita, tak diberinya perlindungan selama kepentingan orang asing, bangsa asing, masih meminta perhatiannya.

Tak mungkin dia bisa bersikap ”Bagimu negeri, jiwa raga kami”. Tak mungkin juga dia memberi komando: ”Maju/Bagimu negeri/Menyediakan api” seperti penggalan puisi Chairil yang dijadikan pembukaan tulisan ini.


Lalu tak mungkin pula kita berharap akan munculnya sikap militan yang kedengarannya patriotik: ”Sekali berarti sudah itu mati”. Apa yang tak mungkin, kelihatannya juga tak bisa dibuat mungkin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar