|
Praktik politik
dalam ruang publik, hari-hari ini, semakin "pengap" karena terus
dihiasi dengan dagelan-dagelan politik yang tidak mencerdaskan. Atas nama
popularitas, dari politik saling sandera hingga kartelisasi terus dimainkan
mesin-mesin pendulang citra partai. Parpol sebagai instrumen demokrasi justru
terus berkutat dalam urusan pertarungan kekuasaan dan jabatan yang
kadang-kadang hanya demi keuntungan segelintir orang.
Kini "institusionalisasi partai" semakin tereduksi "presidensialisasi partai" yang semakin menguat. Akibatnya, figur partai menjadi magnet elektoral politik paling "bergigi" ketimbang ideologi, platform, ataupun visi partai. Padahal, ciri organisasi modern, menurut sejarawan Anhar Gonggong, adalah organisasi yang mampu mengubah perjuangan dari fisik ke visi. Dengan berlomba-lomba menjual figur (fisik) ketimbangan gagasan-ideologi (visi) partai, berarti parpol belum dapat disebut sebagai organisasi modern.
Selain itu, di dunia hukum juga tak beda jauh. Kasus korupsi semakin meruyak di tubuh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hasil survei Indonesia Network Elaktion Survey tanggal 16-30 Agustus 2013 menyebutkan sebanyak 65,5 persen responden menilai DPR tidak atau kurang berperan merumuskan aspirasi masyarakat, sebanyak 65 persen responden mengatakan tidak merasakan peran DPR dalam menghasilkan undang-undang, dan 89,3 persen responden menilai anggota DPR sering berbohong.
Di wilayah eksekutif, kasus korupsi juga bak cawan di musim hujan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) misalnya pernah mencatat sejak 2004 hingga Februari 2013 sedikitnya terdapat 291 kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, terlibat dan terjerat dalam skandal korupsi.
Bahkan, di wilayah yudikatif, banyak hakim tipikor yang terlibat skandal suap dan memidana ringan pada tersangka kasus korupsi. Pada titik inilah, tak berlebihan jika rilis Global Corruption Baromater 2013 oleh Tranparanscy Internasional yang berbasis di Berlin, Jerman, kembali menempatkan lima lembaga publik Indonesia terkorup. Lembaga tersebut adalah kepolisian (4,5), parlemen (4,5), pengadilan (4,4), partai politik (4,3), dan pegawai negeri sipil (4,0).
Fenomena tersebut menegaskan bahwa pemilihan presiden (pilpres) yang digelar tahun depan menjadi momen penting rakyat untuk menjemput "oase" baru di tengah kegersangan suasana kepemimpinan saat ini. Kondisi ini hanya bisa dibenahi pemimpin yang bernyali. Apalagi, jika mau jujur, prestasi kepemimpinan sekarang tidak terlalu luar biasa, kalau tak mau disebut biasa-biasa saja.
Ahli manajemen Rhenald Kasali (2013) mengatakan selama 2004-2014 hanya ada dua perubahan mendasar pemerintah yaitu perdamaian Aceh (2005) dan konversi minyak tanah ke gas (2009), sementara pada era Abdurrahman Wahid, meski hanya dua tahun (1999-2001), ada 10 perubahan mendasar.
Mereka adalah pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, membangun Kementerian HAM, mereformasi TNI, menghapus larangan menjalankan tradisi budaya Tiongkok. Kemudian Gus Dur juga mengganti nama Irian dengan Papua, menjadikan Imlek sebagai hari libur resmi, menggilir jabatan Panglima TNI, menghapus Tap MPRS No XXIX/MPRS/1966 yang melarang segala bentuk ajaran Marxisme-Leninisme, dan mengusulkan hubungan diplomatik dengan Israel.
Memang, harus diakui, bahwa di era kepemimpinan kali ini juga banyak perubahan, tapi kurang mendasar dan tidak berdampak luas. Agenda perubahan-perubahan mendasar seperti mempercepat pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi, hingga hari ini, berjalan tertatih-tatih. Jadi, belum ada kepemimpinan transformatif.
Transformatif
Istilah kepemimpinan transformasif (transformational leadership) pertama kali dikenalkan James MacGregor Burns dalam bukunya berjudul Leadership (1978). Menurut Burns, seorang pemimpin trasformatif harus mampu mengedepankan nilai-nilai moral kepada para pengikutnya. Dia juga mampu memobilisasi sumber daya untuk mereformasi sesuatu.
Secara spesifik, seorang pemimpin transformatif memiliki ciri-ciri (1) memiliki karisma. Dia menghadirkan sebuah visi yang kuat dan peka akan misi kelembagaannya. Kemudian, (2) menghadirkan stimulasi intelektual, mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara untuk memecahkannya. Dia juga (3) memiliki perhatian dan kepedulian terhadap pengikutnya. Ciri berikutnya, (4) memberi motivasi dan inspirasi pada pengikut secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya bahasa verbal. Selain itu, (5) meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada pemimpin. Terakhir, (6) dia banyak memberi contoh ketimbang bicara.
Poin empat dan enam sepertinya masih belum tampak pada kepemimpinan saat ini karena masih banyak yang bermain retorika dalam menyelesaikan persoalan daripada bertindak konkret. Para elite politik juga lebih suka membuat aturan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, kepres, ataupun inpres, daripada menjalankan.
Contoh, sepanjang 2011 saja ada 19 pesan toleransi, tapi seperti tidak berbekas. Terkait agenda pemberantasan korupsi sudah selama 2011-2013 ada Inpres No 9-2011, Inpres No 17-2011, dan Inpres No 1-2013. Namun, dalam tataran pelaksanaan, intruksi tersebut tampak sebatas perintah. Buktinya, korupsi semakin marak, bahkan lembaga eksekutif menjadi sindikasi dari tindak pidana korupsi itu sendiri.
Maka, pemimpin ke depan harus mampu mengejawantahkan amanat konstitusi. Dia banyak memberi contoh (teladan) ketimbang bicara (seruan). Pemimpin yang mampu mentransformasi gagasan ke dalam tindakan nyata. Dia juga bernyali dan lebih mengutamakan isi daripada bungkus. Pemimpin dengan tipologi seperti itulah yang harus dipilih rakyat. Jika tidak, bangsa ini selamanya akan terus menjadi seonggok kayu yang terseret aliran deras air sungai, terombang-ambing dan timbul-tenggelam, tidak akan maju-maju. ●
Kini "institusionalisasi partai" semakin tereduksi "presidensialisasi partai" yang semakin menguat. Akibatnya, figur partai menjadi magnet elektoral politik paling "bergigi" ketimbang ideologi, platform, ataupun visi partai. Padahal, ciri organisasi modern, menurut sejarawan Anhar Gonggong, adalah organisasi yang mampu mengubah perjuangan dari fisik ke visi. Dengan berlomba-lomba menjual figur (fisik) ketimbangan gagasan-ideologi (visi) partai, berarti parpol belum dapat disebut sebagai organisasi modern.
Selain itu, di dunia hukum juga tak beda jauh. Kasus korupsi semakin meruyak di tubuh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hasil survei Indonesia Network Elaktion Survey tanggal 16-30 Agustus 2013 menyebutkan sebanyak 65,5 persen responden menilai DPR tidak atau kurang berperan merumuskan aspirasi masyarakat, sebanyak 65 persen responden mengatakan tidak merasakan peran DPR dalam menghasilkan undang-undang, dan 89,3 persen responden menilai anggota DPR sering berbohong.
Di wilayah eksekutif, kasus korupsi juga bak cawan di musim hujan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) misalnya pernah mencatat sejak 2004 hingga Februari 2013 sedikitnya terdapat 291 kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, terlibat dan terjerat dalam skandal korupsi.
Bahkan, di wilayah yudikatif, banyak hakim tipikor yang terlibat skandal suap dan memidana ringan pada tersangka kasus korupsi. Pada titik inilah, tak berlebihan jika rilis Global Corruption Baromater 2013 oleh Tranparanscy Internasional yang berbasis di Berlin, Jerman, kembali menempatkan lima lembaga publik Indonesia terkorup. Lembaga tersebut adalah kepolisian (4,5), parlemen (4,5), pengadilan (4,4), partai politik (4,3), dan pegawai negeri sipil (4,0).
Fenomena tersebut menegaskan bahwa pemilihan presiden (pilpres) yang digelar tahun depan menjadi momen penting rakyat untuk menjemput "oase" baru di tengah kegersangan suasana kepemimpinan saat ini. Kondisi ini hanya bisa dibenahi pemimpin yang bernyali. Apalagi, jika mau jujur, prestasi kepemimpinan sekarang tidak terlalu luar biasa, kalau tak mau disebut biasa-biasa saja.
Ahli manajemen Rhenald Kasali (2013) mengatakan selama 2004-2014 hanya ada dua perubahan mendasar pemerintah yaitu perdamaian Aceh (2005) dan konversi minyak tanah ke gas (2009), sementara pada era Abdurrahman Wahid, meski hanya dua tahun (1999-2001), ada 10 perubahan mendasar.
Mereka adalah pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, membangun Kementerian HAM, mereformasi TNI, menghapus larangan menjalankan tradisi budaya Tiongkok. Kemudian Gus Dur juga mengganti nama Irian dengan Papua, menjadikan Imlek sebagai hari libur resmi, menggilir jabatan Panglima TNI, menghapus Tap MPRS No XXIX/MPRS/1966 yang melarang segala bentuk ajaran Marxisme-Leninisme, dan mengusulkan hubungan diplomatik dengan Israel.
Memang, harus diakui, bahwa di era kepemimpinan kali ini juga banyak perubahan, tapi kurang mendasar dan tidak berdampak luas. Agenda perubahan-perubahan mendasar seperti mempercepat pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi, hingga hari ini, berjalan tertatih-tatih. Jadi, belum ada kepemimpinan transformatif.
Transformatif
Istilah kepemimpinan transformasif (transformational leadership) pertama kali dikenalkan James MacGregor Burns dalam bukunya berjudul Leadership (1978). Menurut Burns, seorang pemimpin trasformatif harus mampu mengedepankan nilai-nilai moral kepada para pengikutnya. Dia juga mampu memobilisasi sumber daya untuk mereformasi sesuatu.
Secara spesifik, seorang pemimpin transformatif memiliki ciri-ciri (1) memiliki karisma. Dia menghadirkan sebuah visi yang kuat dan peka akan misi kelembagaannya. Kemudian, (2) menghadirkan stimulasi intelektual, mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara untuk memecahkannya. Dia juga (3) memiliki perhatian dan kepedulian terhadap pengikutnya. Ciri berikutnya, (4) memberi motivasi dan inspirasi pada pengikut secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya bahasa verbal. Selain itu, (5) meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada pemimpin. Terakhir, (6) dia banyak memberi contoh ketimbang bicara.
Poin empat dan enam sepertinya masih belum tampak pada kepemimpinan saat ini karena masih banyak yang bermain retorika dalam menyelesaikan persoalan daripada bertindak konkret. Para elite politik juga lebih suka membuat aturan, baik undang-undang, peraturan pemerintah, kepres, ataupun inpres, daripada menjalankan.
Contoh, sepanjang 2011 saja ada 19 pesan toleransi, tapi seperti tidak berbekas. Terkait agenda pemberantasan korupsi sudah selama 2011-2013 ada Inpres No 9-2011, Inpres No 17-2011, dan Inpres No 1-2013. Namun, dalam tataran pelaksanaan, intruksi tersebut tampak sebatas perintah. Buktinya, korupsi semakin marak, bahkan lembaga eksekutif menjadi sindikasi dari tindak pidana korupsi itu sendiri.
Maka, pemimpin ke depan harus mampu mengejawantahkan amanat konstitusi. Dia banyak memberi contoh (teladan) ketimbang bicara (seruan). Pemimpin yang mampu mentransformasi gagasan ke dalam tindakan nyata. Dia juga bernyali dan lebih mengutamakan isi daripada bungkus. Pemimpin dengan tipologi seperti itulah yang harus dipilih rakyat. Jika tidak, bangsa ini selamanya akan terus menjadi seonggok kayu yang terseret aliran deras air sungai, terombang-ambing dan timbul-tenggelam, tidak akan maju-maju. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar