|
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 1960 yang merupakan bagian dari
upaya pembaruan agraria dirayakan pula setiap 24 September (kemarin) sebagai
Hari Agraria Nasional atau Hari Tani Nasional. Gaung pembaruan agraria demi
kedaulatan bangsa itu sudah lama melemah. Kini yang terdengar adalah
tersudutnya kultur agraris bangsa.
Kasus mogok produksi perajin tempe beberapa waktu lalu justru merupakan salah satu manifestasi akan runtuhnya kedaulatan pangan nasional. Kelangkaan kedelai membuka tabir politik impor pangan yang akut.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebut Januari-Juli 2013 sekurang-kurangnya terdapat 28 jenis kebutuhan pangan yang harus diimpor. Beras secara berkala didatangkan dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan, dan berbagai negara lain sebesar 266,88 juta kg atau setara USD 137,19 juta. Kedelai terutama dibeli dari Amerika Serikat senilai USD 670,46 juta. Bahkan, garam yang seharusnya dengan mudah disediakan oleh negeri yang dikelilingi lautan seperti Indonesia harus diimpor sebanyak USD 55,9 juta untuk kebutuhan 1,2 miliar kilogram.
Ketergantungan yang menguntungkan asing ini merupakan pengulangan ironis zaman kolonial. L.H. Palmier dalam bukunya Indonesia menuliskan, pada 1870-1900 ekspor gula melambung hingga mencapai 74 juta gulden. Ekspor tembakau pun mengalami perkembangan yang sama, dari senilai 4 juta gulden pada 1870 menjadi 24 juta gulden pada 1900. Kekuasaan kolonial atas tanah ketika itu benar-benar merayakan laba yang tiada tara. Sementara nasib inlander hanya meneguk peluh deritanya.
Setelah merdeka pada 1945, akses rakyat ke tanah masih sama payahnya. Pada 12 September 1960, dalam pidatonya selepas sidang pembahasan Rancangan UUPA Mr Sardjawo menyatakan, "...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing."
Setelah UUPA berusia 53 tahun, tetap terjadi ketimpangan yang luar biasa dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Joyo Winoto, ketika menjabat kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) menyebut 56 persen aset nasional dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduk. Dari aset nasional yang dikuasai tersebut, 87 persennya berupa tanah. Rusman Heriawan, wakil menteri pertanian, baru-baru ini juga menyebut 40 juta keluarga petani, rakyat kita, hanya menguasai lahan rata-rata 0,3 hektare. Para pejabat, yang mestinya memberikan solusi, malah melemparkan statistik sedih.
Pertanian kehilangan daya tariknya. Menurut BPS, Febuari 2012-Febuari 2013 jumlah angkatan kerjanya turun dari 41,20 persen menjadi 39,96 persen. Keluarga petani di pedesaan terlalu sesak untuk mencari makan dari lahan yang menciut.
Selama ini kebijakan pemerintah lebih memprioritaskan hak kelola tanah, berupa HGU ataupun HPH (yang secara riil sekuat hak milik), kepada perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Berbagai usaha perkebunan skala besar terus menangguk keuntungan dari kebijakan ini. Sementara di sisi berbeda, sulit dibantah langkah tersebut justru turut memberikan konstribusi besar atas pemiskinan masal dan keterbelakangan di pedesaan.
Daripada menata dan memperbarui struktur kepemilikan aset agraria dan membina petani, rakyat kita, pemerintah lebih suka jalan pintas, yakni "panen di pelabuhan" atau impor. Di antara berbagai komoditas impor, biji gandum, dan meslin, serta gula tebu menempati peringkat teratas. Nominal impor untuk komoditas-komoditas tersebut terbilang sangat fantastis. Impor biji gandum dan meslin sampai dengan Juli 2013 mencapai nilai USD 1,46 miliar. Sementara gula tebu menembus angka USD 1,04 miliar.
Besarnya kapasitas impor yang terus berlangsung hingga waktu yang belum bisa ditentukan ini selanjutnya melahirkan aktivitas spekulan dan praktik kartel yang sangat merugikan. Kebutuhan pangan yang harus dibeli masyarakat sering mengalami kenaikan harga yang luar biasa secara tiba-tiba. Selain itu, besaran impor akan menambah beban neraca perdagangan di saat nilai tukar rupiah menyusut.
Politik impor pangan sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari ditelan mentah-mentahnya pakta perdagangan bebas yang ditakzimi pemerintah. Bukannya mendorong dan mengembangkan strategi ketahanan pangan nasional, tetapi malah kecanduan memberikan kemudahan impor. Pemerintah jelas mengabaikan para petani, tetapi memanjakan importer.
Cara instan atas nama perdagangan bebas ini, ironisnya, telah mendudukkan Indonesia pada ancaman bahaya kerawanan pangan. Global Food Security Index yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit pada 2012 menempatkan keamanan pangan Indonesia di urutan 64 dari 105 negara di dunia.
Peringatan Hari Agraria Nasional sebagaimana semangat dasarnya, mestinya bisa menggugah kembali visi keadilan sosial serta kemandirian nasional. Perlu diingat, siapa pun yang tak acuh pada persoalan-persoalan genting yang terjadi di bidang agraria seperti sedang menyalakan api dalam sekam dalam hati rakyat terbawah. ●
Kasus mogok produksi perajin tempe beberapa waktu lalu justru merupakan salah satu manifestasi akan runtuhnya kedaulatan pangan nasional. Kelangkaan kedelai membuka tabir politik impor pangan yang akut.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebut Januari-Juli 2013 sekurang-kurangnya terdapat 28 jenis kebutuhan pangan yang harus diimpor. Beras secara berkala didatangkan dari Vietnam, Thailand, India, Pakistan, dan berbagai negara lain sebesar 266,88 juta kg atau setara USD 137,19 juta. Kedelai terutama dibeli dari Amerika Serikat senilai USD 670,46 juta. Bahkan, garam yang seharusnya dengan mudah disediakan oleh negeri yang dikelilingi lautan seperti Indonesia harus diimpor sebanyak USD 55,9 juta untuk kebutuhan 1,2 miliar kilogram.
Ketergantungan yang menguntungkan asing ini merupakan pengulangan ironis zaman kolonial. L.H. Palmier dalam bukunya Indonesia menuliskan, pada 1870-1900 ekspor gula melambung hingga mencapai 74 juta gulden. Ekspor tembakau pun mengalami perkembangan yang sama, dari senilai 4 juta gulden pada 1870 menjadi 24 juta gulden pada 1900. Kekuasaan kolonial atas tanah ketika itu benar-benar merayakan laba yang tiada tara. Sementara nasib inlander hanya meneguk peluh deritanya.
Setelah merdeka pada 1945, akses rakyat ke tanah masih sama payahnya. Pada 12 September 1960, dalam pidatonya selepas sidang pembahasan Rancangan UUPA Mr Sardjawo menyatakan, "...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing."
Setelah UUPA berusia 53 tahun, tetap terjadi ketimpangan yang luar biasa dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Joyo Winoto, ketika menjabat kepala Badan Pertahanan Nasional (BPN) menyebut 56 persen aset nasional dikuasai oleh hanya 0,2 persen penduduk. Dari aset nasional yang dikuasai tersebut, 87 persennya berupa tanah. Rusman Heriawan, wakil menteri pertanian, baru-baru ini juga menyebut 40 juta keluarga petani, rakyat kita, hanya menguasai lahan rata-rata 0,3 hektare. Para pejabat, yang mestinya memberikan solusi, malah melemparkan statistik sedih.
Pertanian kehilangan daya tariknya. Menurut BPS, Febuari 2012-Febuari 2013 jumlah angkatan kerjanya turun dari 41,20 persen menjadi 39,96 persen. Keluarga petani di pedesaan terlalu sesak untuk mencari makan dari lahan yang menciut.
Selama ini kebijakan pemerintah lebih memprioritaskan hak kelola tanah, berupa HGU ataupun HPH (yang secara riil sekuat hak milik), kepada perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Berbagai usaha perkebunan skala besar terus menangguk keuntungan dari kebijakan ini. Sementara di sisi berbeda, sulit dibantah langkah tersebut justru turut memberikan konstribusi besar atas pemiskinan masal dan keterbelakangan di pedesaan.
Daripada menata dan memperbarui struktur kepemilikan aset agraria dan membina petani, rakyat kita, pemerintah lebih suka jalan pintas, yakni "panen di pelabuhan" atau impor. Di antara berbagai komoditas impor, biji gandum, dan meslin, serta gula tebu menempati peringkat teratas. Nominal impor untuk komoditas-komoditas tersebut terbilang sangat fantastis. Impor biji gandum dan meslin sampai dengan Juli 2013 mencapai nilai USD 1,46 miliar. Sementara gula tebu menembus angka USD 1,04 miliar.
Besarnya kapasitas impor yang terus berlangsung hingga waktu yang belum bisa ditentukan ini selanjutnya melahirkan aktivitas spekulan dan praktik kartel yang sangat merugikan. Kebutuhan pangan yang harus dibeli masyarakat sering mengalami kenaikan harga yang luar biasa secara tiba-tiba. Selain itu, besaran impor akan menambah beban neraca perdagangan di saat nilai tukar rupiah menyusut.
Politik impor pangan sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari ditelan mentah-mentahnya pakta perdagangan bebas yang ditakzimi pemerintah. Bukannya mendorong dan mengembangkan strategi ketahanan pangan nasional, tetapi malah kecanduan memberikan kemudahan impor. Pemerintah jelas mengabaikan para petani, tetapi memanjakan importer.
Cara instan atas nama perdagangan bebas ini, ironisnya, telah mendudukkan Indonesia pada ancaman bahaya kerawanan pangan. Global Food Security Index yang dikeluarkan Economist Intelligence Unit pada 2012 menempatkan keamanan pangan Indonesia di urutan 64 dari 105 negara di dunia.
Peringatan Hari Agraria Nasional sebagaimana semangat dasarnya, mestinya bisa menggugah kembali visi keadilan sosial serta kemandirian nasional. Perlu diingat, siapa pun yang tak acuh pada persoalan-persoalan genting yang terjadi di bidang agraria seperti sedang menyalakan api dalam sekam dalam hati rakyat terbawah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar