|
PERTEMPURAN
sengit yang kembali meletus antara pasukan Moro National Liberation Front
(MNLF) pimpinan Nur Misuari dan militer Filipina di Provinsi Zamboanga memaksa
pemerintahan Presiden Benigno Aquino III meminta bantuan pemerintah Indonesia.
Bantuan itu yakni untuk kembali memprakarsai pembicaraan damai tripartit antara
pemerintah Filipina, MNLF, dan RI selaku mediator dan fasilitator. Permintaan
itu dikemukakan Teresita ’’Ging’’ Deles, penasihat presiden urusan proses
perdamaian, di Manila (SM, 19/9/13).
Permintaan
tersebut tentu tidak berlebihan. Pasalnya, pertempuran terkini yang mulai pecah
pada 10 September itu sudah menelan banyak korban tewas (86 gerilyawan MNLF,
14 tentara pemerintah, dan 4 penduduk sipil). Banyaknya nyawa yang terenggut
hanya dalam tempo sepekan menandakan betapa sengit perang antara gerilyawan
MNLF dan militer Filipina.
Pada
pertengahan 1990-an pemerintah RI pernah berkontribusi penting mengatasi
masalah konflik bangsa Moro di Filipina Selatan. Kala itu, tahun 1995
pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menawarkan jasa baik menengahi
konflik itu. Tawaran direspons positif oleh Misuari dan pemerintah Filipina di
bawah Presiden Fidel Ramos. Perundingan penjajakan menghasilkan kesepakatan
yang memungkinkan MNLF bisa berdamai dengan pemerintah Filipina.
Maka,
perundingan MNLF dengan penguasa di Manila berlanjut dengan ditengahi
Indonesia. Klimaksnya, pada 30 Agustus 1996 kedua pihak yang bertikai mencapai
perjanjian damai. Dokumen perdamaian tersebut ditandatangani Misuari dan Ramos
di Istana Merdeka Jakarta disaksikan Presiden Soeharto. Salah satu poin
terpenting dari perjanjian itu adalah MNLF bersedia menghentikan perlawanan
militernya.
Sebagai
imbalan, penguasa di Manila memberi otonomi khusus kepada masyarakat Moro yang
mayoritas beragama Islam dan mendiami Kepulauan Mindanao beserta gugusannya di
Filipina selatan. Pengimplementasikan dari kesepakatan dama tersebut
dijabarkan dalam aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan kemudian. Otonomi
khusus bagi masyarakat Moro mulai diberlakukan tahun 2000.
Pertanyaannya,
mengapa perang antara gerilyawan MNLF pimpinan Misuari dan militer Filipina
kembali pecah? Apakah sekarang pemerintah RI juga kembali sukses dalam
menengahi konflik tersebut?
Semua Kelompok
Sedari
dulu berbagai organisasi perlawanan masyarakat Moro, termasuk MNLF, terhadap
pemerintah Filipina, tidak ada yang solid terkait dengan persatuan dan kesatuan
mereka. Kelompok MNLF yang berideologi nasionalis-sekuler adalah sempalan dari
Moro Liberation Front (MLF) yang didirikan tahun pada 1971. Di luar MNLF, ada
Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim yang juga
menyempal dari MLF. Kelompok MILF berideologi Islam, bertujuan mendirikan
sebuah negara Islam di Filipina Selatan.
Lebih
’’payah’’ lagi, MNLF pimpinan Misuari juga pecah. Tahun 1981 berdiri MNLF
Reformis pimpinan Dimas Pundato, dan tahun 1993 berdiri kelompok Abu
Sayyaf pimpinan Abdurazak Janjalani. Di luar itu semua masih ada kelompok
perlawanan lain, semisal Muslim Independent Movement (MIM) yang didirikan tahun
1968 dan Anshar al-Islam. Seperti halnya MILF dan kelompok Abu Sayyaf, keduanya
menginginkan pula pembentukan sebuah negara Islam di Filipina Selatan.
Fakta
banyaknya front perlawanan Moro yang masih menginginkan pembentukan sebuah negara
Islam di Filipina selatan itu pantas diduga menjadi salah satu faktor penyebab
pecahnya kembali perang antara gerilyawan MNLF dan militer Filipina. Faktor
penyebab lain adalah ketidakpuasan Misuari atas implementasi otonomi khusus
masyarakat Moro selama 12 tahun terakhir ini.
Karena
itu, apabila pemerintah RI kembali menjadi penengah dalam perundingan damai
untuk mengatasi masalah perlawanan Moro, seyogianya dari front perlawanan Moro
yang diikutsertakan dalam perundingan dengan pemerintah Filipina tidak hanya
MNLF kubu Misuari. Indonesia harus bisa mengondisikan dan mendorong segenap
kelompok perlawanan yang ada untuk mengirimkan perwakilannya dalam negosiasi
itu.
Perundingan
secara lengkap itu dimaksudkan guna menjamin keberlangsungkan keterciptaan
perdamaian yang hakiki di Filipina selatan, dan semua pihak berharap tercapai
perdamaian abadi. Hasil perundingan itu akan berbeda dari perundingan yang hanya
melibatkan satu kelompok perlawanan.
Memang
tidak mudah mengupayakan sebuah perundingan yang bisa melibatkan semua kelompok
perlawanan tersebut. Namun, kita berharap pemerintah RI dengan menugaskan
negosiator andal semisal mantan wakil presiden Jusuf Kalla bisa mengemban misi
itu dengan sukses. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar