Sabtu, 14 September 2013

Proposal untuk Suriah

Proposal untuk Suriah
Zaenal A Budiyono  ;   Asisten Staf Khusus Presiden,
Anggota Delegasi Indonesia di KTT G-20 Rusia 2013
KORAN SINDO, 14 September 2013



Sebuah perang sangat mudah dimulai tetapi sulit diprediksi kapan akan berakhir. Begitu juga ukuran kerusakan dan jumlah korban, semua sangat berbeda dengan rencana perang yang sudah disusun. 

Walaupun AS berkali-kali meyakinkan dunia bahwa serangannya lebih bersifat short strike dan limited target, tetap saja hal tersebut tidak menggaransi apa-apa tentang nasib rakyat Suriah ke depan. Indonesia secara tegas menolak opsi militer (hard power) yang tampaknya akan dipilih AS untuk menggulingkan Bashar al-Assad tanpa mandat PBB. Selanjutnya, Indonesia mengusulkan opsi politik dengan PBB sebagai pelaku utama. Waktu makin sempit bagi Suriah dan AS untuk menemukan solusi selain serangan. 

Kapal induk AS yang tengah merapat ke laut Suriah mengindikasikan suhu kian meninggi. Sampai-sampai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 St Petersburg, Rusia, 4–6 September 2013 sedianya hanya membahas isu-isu pemulihan ekonomi global—sebagaimana tujuan awal dibentuknya forum ini— berbelok juga dengan mendiskusikan perkembangan Suriah. Di sisi lain, host G-20–Rusia– kerap berada pada posisi berseberangan dengan negeri Paman Sam. 

Kontan saja sejuknya udara kota Leningrad seolah menghangat dengan berkembangnya isu ini. Dalam situasi semacam ini, di mana posisi Indonesia? Melansir pernyataan pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ia mengatakan bahwa selama working dinner KTT G-20 berlangsung, pandangan para pemimpin dunia terpecah ke dalam dua arus besar terkait pilihan penyelesaian konflik Suriah. 

Arus pertama menghendaki penggunaan kekuatan militer untuk menghukum Pemerintah Suriah yang diduga menggunakan senjata kimia, dengan atau tanpa mandat PBB. Sedangkan arus lainnya berpendapat, tindakan terhadap Suriah harus disertai mandat PBB, dalam hal ini Dewan Keamanan (DK). Pernyataan ini diulangi Presiden melalui akun twitter resminya, dengan penekanan khusus bahwa jangan sekali-sekali menggunakan aksi militer dan kekerasan terhadap Suriah bila tidak ada bukti sah penggunaan senjata kimia dimaksud. 

Sikap tegas SBY ini bisa dimengerti, mengingat AS dalam beberapa kali aksi militernya ke sejumlah negara kerap tidak memiliki bukti kuat dan tanpa restu PBB. Operasi militer di Irak, 2003, yang awalnya bertujuan menemukan senjata biologis rezim Saddam Hussein hingga kini tak pernah ada buktinya. Yang muncul justru hancurnya Banghdad dan kotakota bersejarah di Irak, serta perang sipil berkepanjangan. 

Hal yang sama juga berlaku di Afghanistan, di mana serangan AS dan koalisi untuk menghancurkan Al-Qaeda dan memusnahkan aksi terorisme di sarangnya tak pernah berhasil. Indikasinya dapat dilihat dari masih banyaknya aksi-aksi teror di sejumlah negara, termasuk di AS sendiri—bom Boston—beberapa waktu lalu. Sekali lagi aksiaksi militer tak akan bisa menciptakan perdamaian. 

Dengan latar belakang di atas, posisi Indonesia atas krisis Suriah—yang disampaikan Presiden SBY di depan 20 negara G-20—adalah menolak aksi militer tanpa restu PBB. Selanjutnya Indonesia memilih opsi kedua di mana yang diperlukan secepatnya untuk Suriah adalah aksi politik, dengan mandat dari PBB, seraya melakukan gencatan senjata kedua belah pihak. Hal yang mendasari sikap Indonesia tak lain karena akhir dari tindakan militer tidak pernah bisa diprediksi. 

Bahkan bisa jadi korban dan penderitaan warga Suriah makin berkepanjangan, sebagaimana kisah pilu Irak dan Afghanistan di atas. ”Penderitaan warga Suriah harus segera diakhiri, oleh karena itu dunia internasional harus merumuskan langkah tepat melalui penyelesaian politik”, tegas Presiden. Lebih lanjut, Indonesia menawarkan proposal penyelesaian konflik Suriah, di mana resolusi konflik harus memuat tiga elemen utama. Pertama,kekerasan harus segera diakhiri. 

Kedua, dengan diakhirinya perang saudara, maka bantuan kemanusiaan yang selama ini macet bisa dijalankan kembali. Ketiga, tanpa opsi tindakan militer melainkan opsi politik. Untuk menggolkan proposal itu, Presiden SBY bertemu secara maraton dengan para leaders dunia, termasuk dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Pesan kunci yang dibawa Presiden, perlunya diambil langkah gencatan senjata segera. 

Selanjutnya, Indonesia mengusulkan pemerintahan Bashar al-Assad dan oposisi harus menghentikan saling serang di antara mereka dengan penekanan PBB harus segera mengumumkan gencatan senjata. Kepada negaranegara lain yang selama ini turut mengupayakan penyelesaian konflik Suriah, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Iran, dan Turki, Indonesia mendorong semuanya harus bertemu. 

Organisasi kawasan juga perlu dilibatkan, seperti Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab. Rumusan penyelesaian tersebut tetap harus dibawa ke PBB yang punya hak untuk memberi mandat. Setelah gencatan senjata terwujud, penyelesaian konflik harus diserahkan kepada bangsa Suriah sendiri. Inilah opsi paling rasional yang bisa diambil oleh PBB dan world leaders, dibandingkan penggunaan hard power. Makna lain sikap Indonesia yang jelas dan terang pada isu Suriah merupakan tekanan terhadap negara-negara kawasan Teluk yang seolah tidak peduli. 

Begitu pun suara negara-negara Islam lainnya yang tak terlalu lantang. Arab Saudi, Qatar, Iran, Uni Emirat Arab, Bahrain hingga Malaysia, yang secara ekonomi politik memiliki kekuatan untuk memberikan tekanan, sejauh ini belum bersikap. Yang paling ironis adalah sikap negara-negara Arab (Liga Arab) yang berdekatan secara geografis, budaya dan agama dengan Suriah, tetapi masih gamang dan diam hingga kini. 

Sementara Indonesia yang letaknya berjauhan dengan Suriah, justru tampil ke depan memberi sinyal dan proposal penyelesaian konflik. Presiden SBY membuka alasan di balik kepedulain dan keaktifan Indonesia— bukan kali ini saja— pada sejumlah isu dunia dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, Indonesia adalah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dan Suriah adalah negara Islam. 

Dengan demikian, Indonesia merasa perlu menyatakan sikapnya agar dunia Islam tidak diam dan tanpa sikap. Kedua, UUD 1945, konstitusi kita menyebutkan dalam pembukaannya bahwa Indonesia ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, Presiden menganggap Indonesia tidak salah bila peduli dan aktif mengupayakan perdamaian dunia. Satu poin penting yang menarik dicatat adalah konsistensi sikap Presiden SBY dalam merespons pelbagai konflik yang terjadi di dunia. 

SBY konsisten mengedepankan soft power approach, dibandingkan mendukung hard power show seperti aksi militer. Mulai dari konflik Aceh, Burma, Thailand-Kamboja, Irak, Mesir, kini Suriah. Di semua konflik itu SBY menawarkan solusi non-militer, termasuk politik, budaya, ekonomi-kesejahteraan hingga people to people contact. Mungkin negara-negara maju seperti AS dan NATO belum melihat soft power approach yang ditawarkan SBY sebagai kebutuhan mendesak. 

Tetapi bila mereka merasakan penderitaan korban sipil di negara-negara tersebut, pastinya akan melihat pentingnya opsi-opsi non-militer sebagai tradisi resolusi konflik di masa depan. SBY sendiri dengan soft power-nya bukanlah penggagas pertama pendekatan ini. Ide ini justru sudah dikenal di AS sejak pasca-Perang Dunia II, dan dimatangkan oleh para ilmuwan politik pada awal 1990-an. 

Para ilmuwan itu khawatir bila solusi perang dan kekerasan mendominasi peradaban bangsabangsa dunia. Salah satu pakarnya, Prof Joseph Nye dari Harvard University, menegaskan bahwa soft power merupakan the ability to get what you want through attraction rather than through coercion or payments. Dengan kata lain, perdamaian bisa dicapai tanpa penggunaan aksi militer dan kekerasan bila para pemimpin dunia benar-benar menginginkannya.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar