Minggu, 21 Juli 2013

Sidang Itsbat dan “Ulil Amri”

Sidang Itsbat dan “Ulil Amri”
Muh Hadi Bashori  ;   Praktisi Falak pada Pusat Kajian dan Layanan Falakiyah IAIN Walisongo Semarang
KOMPAS, 08 Juli 2013


Sidang itsbat untuk menetapkan awal Ramadhan 1434 H diadakan hari ini, Senin, 8 Juli 2013. Akan tetapi karena ketinggian hilal masih rendah di atas ufuk, pemerintah yang menetapkan berdasarkan hisab dan rukyat kemungkinan akan menetapkan awal puasa Ramadhan jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013.
Ketetapan ini berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menetapkan awal Ramadhan jatuh pada Selasa, 9 Juli 2013 (Kompas, 3/7).
Dalam memahami dan menginterpretasikan hadis-hadis nabi seputar hisab-rukyat, umat Islam mengalami perbedaan pendapat. Perbedaan tidak hanya dalam wacana, tetapi sekaligus implikasinya dalam penetapan awal bulan kamariah.
Di Indonesia, perbedaan itu sudah lama terjadi, sejak setengah abad yang lalu, sehingga mengakibatkan keyakinan hisab rukyat telah mengakar kuat. Bahkan adakalanya perbedaan dalam penetapan awal bulan kamariah tidak hanya selang sehari, tetapi bisa hingga 3-4 hari.
Perbedaan pendapat tentang hilal serta implikasinya dalam penetapan awal bulan kamariah akhirnya memunculkan perselisihan di kalangan umat Islam. Keadaan ini memicu terjadinya disharmonitas dan merusak ukhuwah Islamiah. Padahal, tidak ada kebenaran mutlak atas sifat ijtihadiyah, sifatnya terkadang temporal dan situasional.
Hisab dan rukyat
Diskursus masalah hisab-rukyat selalu menghangat di setiap menjelang awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Permasalahan-permasalahan yang selalu jadi perdebatan adalah mengenai legalitas hisab, uji validalitas antara hisab dan rukyat, serta imkan rukyat dan wujudul hilal, hukum syari rukyat apakah sebagai ta’abbudi ataukah ta’aqquli dan permasalahan ulil amri kaitannya dengan ketetapan awal bulan versi pemerintah dalam pelaksanaan sidang itsbat.
Di masa Rasulullah, metode penetapan awal bulan kamariah didasarkan pada laporan rukyat. Rukyat (observasi) merupakan metode dasar dalam disiplin ilmu ilmiah alamiah, sehingga metode rukyat jadi pilihan rasional mengingat peradaban bangsa Arab saat itu yang masih sangat sederhana.
Ini kemudian dipahami sebagai illat atas hadis Nabi yang menerangkan sebagai bangsa yang ummi. Rukyat pun dipahami sebagaita’aqquli karena rukyat merupakan wasilah (sarana) dalam mengetahui eksistensi waktu dan bukan tujuan ibadah itu sendiri. Adapun masalah ta’abbudi adalah prosesi pelaksanaan puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Inilah yang mendasari pendapat hisab.
Permasalahan hisab dan rukyat merupakan akibat perbedaan dalam memahami dan menginterpretasikan hadits suumu liru’yatihiwaaftiru liru’yatihi.
Sebagian memahami hilal secara tradisi, yaitu rukyat sebagai satu-satunya metode yang digunakan dalam menetapkan awal bulan, sedangkan sebagian yang lain memahami secara substansinya, yaitu hilal sebagai pedoman perhitungan kalender dan mengetahui bilangan waktu ibadah.
”Ulil amri”
Permasalahan lain yang selalu mengemuka dalam perdebatan adalah masalah ulil amri (pemimpin). Sesungguhnya ketetapan mengikuti ulil amri sudah jelas sebagai sebuah kewajiban karena sudah di-nash-kan secara jelas. Namun, yang menjadi persoalan adalah dalam ranah praktis terkait pemegang kekuasaan sebagai ulil amri.
Di sebagian besar negara Islam atau dengan penduduk mayoritas Islam, ketetapan awal bulan kamariah diambil kuasa oleh mufti. Mufti ditunjuk atas keunggulan intelektualitas dalam agama serta keanggunan moralitas dalam beragama. Berbeda dengan di Indonesia yang ditunjuk berdasarkan keputusan presiden, sehingga pemegang otoritas tersebut adalah pejabat politik. Di Mesir, satu Syawal diputuskan oleh Grand Mufti, sedangkan Menteri Agama hanya mengikuti.
Kaidah hukmul hakim ilzamun wayarfatul khilaf tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan otoritas agama menjadi milik Kementerian Agama dan kewajiban mengikuti ketetapan Kemenag. Pasalnya, kaidah tersebut hanya berlaku di negara yang berbentuk negara agama (negara Islam), sehingga jelas secara konstitusi otoritas agama berada di tangan negara dan konstitusi dibuat berdasarkan syariat agama.
Selain itu harus dipahami bahwa ketetapan Rasulullah SAW sebagai pusat tunggal dalam pelaporan hasil rukyat dan mengumumkannya adalah sebagai nabi dan kepala negara.
Dalam konstitusi yang dianut Indonesia adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang mengatur kebebasan beragama dalam pasal 29. Dengan kata lain, apabila pemerintah hendak menetapkan kesatuan otoritas penetapan awal bulan, maka harus terlebih dahulu mengubah UUD 1945 tentang kebebasan beragama (yang diakui negara). Apalagi, menurut amendemen UUD 1945, MPR tidak lagi diposisikan sebagai pemegang kedaulatan rakyat, tetapi di tangan rakyat berdasarkan UUD 1945.
Jadi jelas bahwa sikap pengambilalihan otoritas keyakinan keagamaan yang seharusnya tidak boleh diintervensi akan mencederai UUD 1945, terutama pasal 29. Selain itu, menarik apabila orang yang tidak berpuasa saja tidak dilarang, mengapa yang berbeda dalam memulai puasa dipermasalahkan?
Pemerintah tidak dapat mengintervensi permasalahan pemahaman terhadap nash dan keyakinan beragama karena bukan wilayahnya. Akan tetapi, bukan berarti pemerintah tidak berwenang menyelenggarakan sidang itsbat dan memberikan keputusan. Hanya saja, keputusan itu bukan yang bersifat mengikat sebagai sebuah ketetapan tunggal, melainkan hanya sebatas kebutuhan administrasi negara untuk menetapkan hari libur nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar