|
KOMPAS,
09 Juli 2013
Awal Juni lalu berlangsung
peresmian patung Driyarkara di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Peresmian
patung itu merupakan rangkaian peringatan seabad Drijarkoro, nama aslinya, yang
kemudian ”di Indonesiakan” menjadi Driyarkara.
Patung
Driyarkara ini bukanlah yang pertama, ada dua yang dibuat sebelumnya. Satu
patung bisa kita temui di desa kelahirannya di kaki pegunungan Menoreh, di Desa
Kedunggubah, Purworejo, 60 kilometer arah barat Yogyakarta. Patung berbahan
semen itu didirikan tahun 2009 di depan sebuah kapel atau gereja kecil. Patung
satunya lagi, yang didedikasikan bagi pengabdian beliau pada pendidikan, dapat
kita temui di Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta.
Universitas
itu pada 1955 bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru, lalu sempat berganti
nama beberapa kali menjadi FKIP dan IKIP, tempat Driyarkara SJ mendedikasikan
diri sebagai pengajar sekaligus sebagai pimpinan (rektor) sampai akhir hayatnya
pada 1967 dalam usia 53.
Driyarkara SJ
mungkin memang bukan tokoh yang sangat dikenal. Tak banyak masyarakat Indonesia
yang mengetahui jasanya untuk bangsa ini kendati karyanya, sering tanpa kita
sadari, sangatlah dibutuhkan hingga sekarang.
Pada 1935, ia
menjadi novis (calon imam) di pendidikan Novisiat Serikat Jesus di Girisonta,
Ungaran, Jawa Tengah. Ia ditahbiskan menjadi pastor Katolik pada 1947 di
Semarang oleh Mgr Soegijopranoto SJ. Selanjutnya, Driyarkara meneruskan studi
teologinya di Belanda dan mendapat gelar doktor filsafat Universitas Gregoriana
Roma.
Riwayat hidup
dan pemikiran Driyarkara tertuang dalam buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama
berjudul Karya Lengkap Driyarkara: Esei-esei Filsafat Pemikir
yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Buku ini disunting A
Sudiarja SJ, G Budi Subanar SJ, ST Sunardi, T Sarkim.
Membumi
Sebagai
seorang filsuf sekaligus pelayan umat, kehidupan Driyarkara jauh dari sekadar
ritual sakral yang ketat dan tertutup. Sepak terjang beliau justru selalu
berusaha ”membumi”, seakan ingin bersentuhan langsung dengan kehidupan
keseharian.
Hal ini
dibuktikannya lewat langkah-langkah yang ia pilih sebagai medium penyampai
pesannya. Ia menjadi penyiar radio serta menulis buku dan tulisan pendek yang
sebagian besar merupakan usaha memperkenalkan pentingnya pemikiran filosofis
kepada khalayak, dengan cara yang lebih mudah dicerna dan diresapi. Di sinilah
peran terbesar Driyarkara, ia mampu memperkenalkan dasar-dasar pemikiran
filsafat dengan bahasa yang membumi.
Keunggulan
filsafat bagi dia adalah kemampuan untuk memandang secara jernih kemudian
memproses setiap perkara dan akhirnya memutuskan sikap paling tepat yang harus
diambil. Ia sangat mendambakan setiap individu di Indonesia mampu secara
mandiri menggunakan kejernihan akal pikirannya dalam mencerna segala persoalan.
Dengan demikian, setiap orang akan membuka diri bagi setiap perbedaan, bukan dengan
mengedepankan kepentingan, melainkan justru kemanusiaan sebagai yang utama,
sebagaimana tertulis dalam sila kedua Pancasila: kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Manusia
(semestinya) adalah sahabat bagi sesamanya (Homo Homini Socius) dan proses
menjadi manusia itu akan terus-menerus tumbuh untuk senantiasa menyempurnakan
diri. Maka, setiap manusia akan mampu berpikir secara logis dan jernih terkait
dengan setiap perkara yang dihadapinya dan akhirnya memilih keputusan yang
paling bijaksana dengan berpedoman pada kemanusiaannya sebagai asas utama.
Driyarkara
telah merintis studi filsafat di Indonesia, tetapi bagaimanakah masa depannya?
Dalam situasi di Indonesia yang karut-marut seperti sekarang ini, bangsa ini
menjadi bangsa pemarah, cemas, selalu berkompetisi dalam setiap kepentingan
pribadi dan golongan, saling menerkam satu sama lain (Homo Homini Lupus),
seperti yang digambarkan Thomas Hobbes. Apabila terus dibiarkan, bangsa ini
akan hancur dengan sendirinya.
Dalam situasi
inilah tawaran pemikiran Driyarkara menjadi penting untuk kita renungkan
dalam-dalam. Setidaknya, STF Driyarkara terus berusaha meneruskan cita-citanya
dalam pengembangan filsafat di negeri ini. Boleh jadi Driyarkara belumlah
seorang filsuf besar, tetapi pasti ia seorang filsuf. Mungkin pula ia tidak
melahirkan mazhab atau aliran baru dalam dunia filsafat, tetapi ia jelas
perintis studi filsafat di Indonesia.
Maka,
pertanyaan yang layak diajukan dalam memperingati seabad Driyarkara adalah:
mengapa berfilsafat? Filsafat memperdalam dan menjernihkan pemahaman kita
dengan merefleksikan apa-apa yang telah kita kenali. Immanuel Kant menyampaikan
refleksinya tentang tiga dimensi dalam filsafat, yakni: 1) dimensi Ada yang
terkait dengan apa yang bisa kita percaya, yaitu hal-hal terlihat dan tak
terlihat atau ontologi dan metafisika. 2) dimensi Pengetahuan tentang apa yang
dapat kita ketahui. 3) dimensi Nilai yang terkait dengan apa yang harus kita
lakukan, yaitu lewat etika dan estetika.
Meminjam
refleksi Kant, lewat dimensi Ada, bangsa Indonesia sebenarnya tidak asing
mengenai perkara yang kasatmata dan tidak ini. Masalah-masalah yang sering
menyita perhatian, antara lain, adalah soal keberagaman masyarakat,
kebhinekaan, dan kerukunan beragama. Lewat dimensi Nilai, secara estetis bangsa
ini misalnya harus berjuang keras untuk membangun industri ekonomi kreatif agar
menjadi nilai tambah dalam pertumbuhan ekonomi. Dari segi etis, terjadi
kemerosotan moral yang ekstrem, terutama maraknya korupsi yang membelit negara.
Sementara
persoalan paling serius adalah di dimensi Pengetahuan, yang sangat mendasar
pada logika. Logika adalah ilmu pengetahuan untuk menganalisis argumen-argumen
serta membangun prinsip-prinsip dan dasar-dasar untuk menciptakan penalaran
yang tepat dan sahih. Maka, segala karut-marut dalam hidup berbangsa ini adalah
pengabaian terhadap logika, yang dalam bahasa keseharian berupa pemikiran yang
sahih, jernih, nalar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar