Rabu, 03 Juli 2013

Pencapresan Jokowi

Pencapresan Jokowi
AM Fatwa ;  Anggota DPD RI, Senator dari DKI Jakarta
REPUBLIKA, 02 Juli 2013


Beberapa pekan terakhir, nama Jokowi terus digaungkan untuk maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Umum 2014. Gaung tersebut bukan hanya dimunculkan oleh beberapa media dan lembaga penelitian yang mencoba menelaah potensi elektabilitas beberapa tokoh kaliber nasional, melainkan juga oleh para `simpatisan' Jokowi yang tersebar di berbagai wilayah. 

Sabtu, 15 Juni 2013 yang lalu, misalnya, `simpatisan' Jokowi yang tergabung dalam wadah Relawan Jokowi Sedu nia menggelar kongres yang intinya mendukung orang nomor satu di DKI Jakarta itu untuk maju pada Pilpres 2014.
Argumentasi yang dibangun oleh penggagas kongres itu adalah kerinduan rakyat terhadap perubahan kondisi sosial yang konkret di mana Jokowi merupakan sosok yang dinilai tepat untuk mewujud- kan perubahan yang diidam-idamkan itu. 

Dengan kesederhanaan dan pelaksanaan kebijakan secara direct-down to earth itulah, Jokowi dinilai tepat untuk mengusung harapan rakyat Indonesia masa kini. Menilik proses dan hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi DKI Jakarta yang lalu, tampaknya tidak terlalu berlebihan jika kehadiran Jokowi cukup menghentak dunia perpolitikan Indonesia. 

Ia, dengan seluruh gaya dan ciri khasnya, telah membalikkan banyak sisi: pengamatan politik, prediksi survei, tekanan politik, kuasa money politics, hingga stereotip sosial dan politik. Pada gilirannya sebagian rakyat Indonesia merasa bahwa figur seperti Jokowi merupakan sosok yang tepat untuk merespons berbagai tuntutan karena ia mampu masuk dalam nadi kehidupan rakyat secara langsung. Singkatnya, Jokowi adalah jawaban dari kerinduan rakyat terhadap perubahan dan krisis kepemim pinan saat ini.

Tetapi, gaung tersebut tidak serta-merta diamini oleh seluruh kelompok masyarakat. Meskipun sosok Jokowi yang mencengangkan tersebut sulit ditampik, namun dorongan dan `paksaan' untuk memajukan Jokowi sebagai Calon Presiden 2014 merupakan keinginan yang terlalu dini. Alasan yang mengemuka adalah ketidaktepatan waktu pencalonan dan kondisi Jokowi saat ini yang baru menduduki kursi nomor satu di DKI Jakarta. Persoalannya, masyarakat DKI Jakarta sendiri masih menunggu realisasi janji-janji Jokowi yang ingin menjelmakan sebuah Jakarta Baru yang dapat dinikmati secara nyaman oleh seluruh komponen masyarakat DKI. 

Merengkuh 2019

Menyikapi hal-ihwal Jokowi dan kaitannya dengan perhelatan nasional 2014, sebaiknya hiruk-pikuk terhadapnya sedikit ditepikan. Hal ini bukan karena Jokowi tidak pantas menjadi calon orang nomor satu di republik ini, melainkan lebih karena sikap menghargai `para pemilih, pengagum, dan pengharapnya yang lebih dahulu menempatkannya di kursinya saat ini'. 

Siapa pun mengerti bahwa Jokowi selalu berpandangan bahwa ia, sebagaimana keyakinan Bung Karno -- terlepas Jokowi membaca keyakinan itu atau tidak-- merasa "lebih baik mendatangi langsung rakyat dan membakar hati mereka." Justru karena itulah, sama sekali tidak terlalu naif jika ia tidak dipaksa atau memaksa diri terjun dalam kancah pertarungan politik 2014.

Meskipun pandangan ini dapat melukai para pengagum Jokowi yang sudah telanjur menggalang penahbisannya untuk maju pada Pilpres 2014, tetapi akan semakin terasa lebih arif jika Jokowi diusung untuk merengkuh 2019. Terdapat beberapa argumentasi yang layak dipertimbangkan mengapa Jokowi sebaiknya mengubur impian untuk 2014 dan lebih memilih menundanya hingga 2019.

Pertama, hal mendasar yang akan menjadi pertimbangan banyak kalangan bahwa saat ini Jokowi masih baru menduduki dan mengemban amanat untuk membentuk Jakarta Baru sesuai dengan janji-janji kampanye dan juga harapan masyarakat DKI. Meskipun tidak dapat ditampik bahwa porsi terbesar politik adalah kekuasaan, tetapi hal tersebut dapat menjadi pemangsa bagi Jokowi sendiri jika meninggalkan kursinya saat ini dan beralih menuju orang nomor satu di Indonesia. 

Sudut-pandang sebagian rakyat Indonesia masa kini yang mulai rapuh terhadap politik kepemimpinan di negeri ini dapat diperkeruh dengan kenyataan baru jika Jokowi benar-benar terbukti maju. Dalam konteks ini, menjadi lebih bijaksana bagi Jokowi jika ia merampungkan ragam gagasannya untuk membenahi seluruh kerumitan DKI untuk dipersembahkan sebagai kado istimewa bagi masyarakat, sehingga dengan itu ia tidak akan kehilangan kebesarannya sampai kapan pun.

Kedua, tahun 2014 diprediksi sebagai waktu dan ruang kontestasi politik terpanas bagi para `tokoh tua' di republik ini. Para `tokoh tua' tersebut, yang diyakini memiliki modal ekonomi dan politik yang cukup kuat akan habis-habisan mempertaruhkan dan mempertarungkan seluruh modal yang dimiliki untuk meraih kursi nomor satu Republik Indonesia karena mereka merasa bahwa tahun 2014 adalah waktu terakhir untuk bertanding. Kondisi ini akan membuat Jokowi kesulitan menembus kekuatan modal para `tokoh tua' itu dan pada gilirannya membuat Jokowi putar-badan atau malah `mati\' mengenaskan secara politik.

Ketiga, tahun 2019 akan menjadi ajang pertarungan para tokoh muda di mana Jokowi akan kesulitan mencari lawan-tanding. Hal tersebut disebabkan oleh kekuatan investasi sosial-politik yang telah ditanamkan olehnya sejak beberapa tahun belakangan sehingga para lawan politiknya --yang sampai saat ini baru beberapa yang terendus nama-namanya-- dinilai tidak akan mampu menandingi kekuatannya pada 2019. 
Artinya, peluang Jokowi maju pada 2019 jauh lebih memungkinkan dibanding 2014.

Dengan mempertimbangkan ketiga argumentasi tersebut, tampaknya menjadi sangat realistis jika menempatkan Jokowi sebagai sosok yang lebih proyektif untuk diusung sebagai calon presiden pada 2019. Kekaguman dan semangat yang menggebu-gebu untuk memaksa Jokowi maju pada Pilpres 2014 bukan hanya akan memperberat langkah Jokowi yang saat ini sedang dipacu untuk mewujudkan harapan dan amanat politik yang diembannya, melainkan juga dapat membuat citra politik semakin moreng dan rakyat bertambah enggan untuk menentukan pilihan, tak terkecuali terhadap Jokowi sendiri. Memprihatinkan, bukan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar