|
KOMPAS,
15 Juli 2013
Perekonomian Indonesia sudah
berulang kali mengalami gejolak. Yang terjadi pertengahan tahun ini tak seberapa
dibandingkan dengan keadaan pada akhir tahun 2008. Kala itu nilai tukar rupiah
melorot ke titik terendah, Rp 12.400 per dollar AS. Inflasi menembus dua digit
di kisaran 12 persen selama Juli-November 2008. Cadangan devisa pada November
2008 masih sekitar separuh dari posisi akhir Juni 2013.
Ekspor melorot
dari 140 miliar dollar AS pada tahun 2008 menjadi 120 miliar dollar AS pada
tahun 2009. Tekanan berat juga terjadi pada penanaman modal asing langsung yang
anjlok 53 persen, dari 9,3 miliar dollar AS pada tahun 2008 menjadi 4,9 miliar
dollar AS pada tahun 2009.
Di tengah
letupan krisis finansial global, perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh 6,0
persen pada tahun 2008, turun hanya 0,3 persen dari tahun sebelumnya sebesar
6,3 persen. Tatkala dunia mengalami resesi setahun kemudian, perekonomian
Indonesia masih bisa tumbuh positif 4,6 persen.
Salah satu
kunci keberhasilan meredam gejolak eksternal adalah kebijakan fiskal yang
antisiklikal, sebagaimana tecermin dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang meningkat tajam, dari hanya 0,08 persen produk domestik bruto (PDB)
pada tahun 2008 menjadi 1,58 persen PDB pada tahun 2009.
Konsumsi
pemerintah naik cukup tajam pada tahun 2008 dan 2009, masing-masing sebesar
10,4 persen dan 15,7 persen. Pada tahun 2009, sumbangan konsumsi pemerintah
terhadap pertumbuhan PDB mencapai 28,3 persen.
Sayangnya,
sejak tahun 2012, konsumsi pemerintah melempem. Pada tahun 2012, konsumsi
pemerintah hanya naik 1,2 persen dan pada triwulan I-2013 bahkan hanya 0,4 persen.
Akibatnya, sumbangan konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan PDB hampir nihil,
hanya 1,6 persen pada tahun 2012 dan 0,5 persen pada triwulan I-2013.
Kesamaan antara
tahun 2009 dan 2013 adalah pada konsumsi rumah tangga yang tumbuh cukup kuat,
sekitar 5 persen, sehingga menyumbang sekitar separuh pertumbuhan ekonomi.
Konsumsi rumah tangga diperkirakan masih tetap cukup tinggi di kisaran 5 persen
untuk jangka menengah ke depan.
Dengan
demikian, penopang agar pertumbuhan ekonomi tahun 2013 mendekati target 6,3
persen adalah penanaman modal asing langsung serta peningkatan ekspor dan
pengendalian impor dengan cara-cara cerdas.
Penanaman modal
asing langsung masih berpotensi meningkat sehingga dapat mengompensasikan
kecenderungan penurunan pertumbuhan kredit dari sumber-sumber pembiayaan dalam
negeri, juga sekaligus mengimbangi fluktuasi tajam arus investasi portofolio,
sehingga mampu menahan kemerosotan cadangan devisa lebih lanjut.
Langkah Bank
Indonesia (BI) tampaknya cukup sigap dan terukur dengan kembali menaikkan BI
Rate sebesar 50 basis poin menjadi 6,5 persen, menaikkan suku
bunga deposit facility 50 basis poin menjadi 4,75 persen, dan
mempertahankan lending facility pada aras 6,75 persen. Dengan
kebijakan ini, laju inflasi diharapkan tak menjadi liar dan gejolak arus
finansial bisa diredam.
Jika pemerintah
pun bertindak dengan sigap dan penuh determinasi, niscaya keseimbangan
eksternal akan segera pulih. Masyarakat tidak akan panik dengan menjual saham
dan membeli valuta asing. Apalagi kalau para pemimpin memberikan contoh nyata
dengan menjual kekayaannya dalam bentuk valuta asing.
Yang tak bisa
ditawar adalah memobilisasikan segala daya untuk meningkatkan ekspor. Paket
pembaruan yang komprehensif merupakan tuntutan untuk memperlancar arus ekspor. Industri
manufaktur harus menjadi tulang punggung. Sangatlah memilukan kalau setelah
hampir 68 tahun merdeka, tetapi hampir separuh ekspor total kita hanya
disumbangkan oleh enam komoditas primer: batubara, gas alam, minyak sawit,
minyak mentah, karet, dan tembaga.
Pada saat yang
sama harus diupayakan agar impor lebih selektif, terutama impor dari China.
Defisit perdagangan kita dengan China naik sangat tajam, dari hanya 3,9 miliar
dollar AS pada tahun 2011 menjadi 8,1 miliar dollar AS pada tahun 2012.
Semakin
derasnya produk-produk impor dari China ditengarai menekan produksi dalam
negeri dan berpotensi menambah angka pengangguran. Diplomasi dagang dengan
China harus kian gencar, termasuk pembukaan akses yang lebih luas bagi
produk-produk ekspor kita di pasar China. Menteri Perdagangan jangan hanya
sibuk menampilkan diri di televisi berkampanye untuk menjadi presiden atas
biaya negara. Lakukanlah yang menjadi tugas hakiki Menteri Perdagangan, yakni
mengamankan pasar dalam negeri dan membuka akses bagi produk-produk kita di
luar negeri.
Selain
langkah-langkah di atas yang harus dilakukan sekarang juga, ada satu pekerjaan
rumah besar yang harus mulai ditangani, yakni penguatan sektor keuangan dalam
negeri. Bagaimana mungkin kita bakal memiliki daya tahan yang semakin kokoh
dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, tetapi penopang dari dalam
negeri tak kunjung menguat. Kita tidak bakal bisa berlari lebih kencang jika
fungsi jantung jauh dari optimal.
Kita berpotensi
mengalami terpaan lebih dahsyat sepanjang pemilikan saham oleh asing (non-residents) masih sangat tinggi,
bahkan nilainya jauh melebihi cadangan devisa yang kita miliki. Ditambah lagi
dengan porsi pemilikan asing terhadap keseluruhan surat utang negara yang juga
relatif tinggi.
Untuk itu, tak
ada cara lain agar mengalir darah segar baru di dalam perekonomian, kecuali
dengan menghadirkan sesegera mungkin Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Jangan memandang SJSN sebagai beban atau ongkos karena SJSN merupakan investasi
berkelanjutan yang memperkokoh kemandirian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar