Kamis, 18 Juli 2013

Kesenjangan Ekonomi

Kesenjangan Ekonomi
Irman Gusman ;  Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI
SUARA KARYA, 15 Juli 2013


Demokrasi dan ekonomi di negara kita belum berjalan seimbang. Diakui, saat ini kebebasan politik dan pers, sudah bagus tetapi dari segi ekonomi rapornya merah. Karena, meski ekonomi tumbuh, tetapi pertumbuhan ekonomi itu sekaligus membawa kesenjangan dan ketidakadilan.

Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang sudah lebih 200 tahun merdeka, Indonesia terhitung baru 15 tahun melakukan proses demokratisasi, maka kehidupan demokrasinya tidak diragukan lagi. Begitu juga pertumbuhan ekonomi yang masuk 16 negara terbesar di dunia. Ekonomi yang bergerak hanya ekonomi modern seperti sektor transportasi dan komunikasi. Sementara sektor pertanian dan ekonomi pedesaan tidak berkembang.

Karena itu, harus diperhatikan lebih serius kesenjangan yang sudah sangat tinggi itu. Jika AS yang sangat liberal menghasilkan kesenjangan tinggi justru diprotes warganya, tetapi pertumbuhannya tidak terpusat di satu kota, melainkan ada di berbagai kota dan hampir 90 persen kekayaannya dikuasai 10 persen oleh orang tertentu. Hal itu hampir sama dengan di Indonesia.

Namun, pertumbuhan ekonomi hanya terpusat di Jakarta, sementara daerah-daerah lain terutama di kawasan Indonesia timur sangat tertinggal sehingga terjadi ketimpangan disertai ketidakadilan ekonomi.
Data menunjukkan ketidakadilan ekonomi yang terjadi saat ini tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia, yakni hampir 0,42. Artinya, tingkat kesenjangan bertambah parah. Dalam kondisi seperti itu, akhirnya yang terjadi adalah penguasaan ekonomi berada pada kelompok kecil orang tertentu dan ekonomi berkembang hanya di wilayah tertentudan terpusat di Jakarta. Apabila hal itu sedikit dibandingkan misalnya, dengan di zaman Orde Baru (Orba), maka kondisi perekonomian sekarang tidak jauh berbeda. Pertumbuhan ekonomi masih terpusat di Jakarta, daerah dan kota tertentu. Padahal, di AS yang sangat kapitalis misalnya, ekonomi masih tersebar di berbagai daerah.

Tingginya ketimpangan Jakarta dengan kota dan daerah lain dapat diilustrasikan dari harga tanah di tempat tertentu di Jakarta yang mencapai Rp 200 juta per meter. Harga itu lebih mahal daripada harga tanah di AS seperti Los Angeles, atau Beverly Hill, dan Hollywood sekalipun.

Mengapa hal itu terjadi, tentu saja kembali pada hukum ekonomi, supply terbatas sedangkan demand sangat tinggi dengan ekonomi terpusat. Banyak orang kaya baru di negeri ini ingin membeli tanah di lokasi yang dianggap sangat strategis tersebut. Selain itu, harus diakui bahwa tingginya kesenjangan itu buah dari pertumbuhan ekonomi yang tidak diikuti desentralisasi ekonomi.

Berdasarkan data, dari 400 kabupaten/kota, 183 kabupaten/kota di antaranya masih berkategori daerah tertinggal. Dari sekitar 70 persen dari daerah tertinggal itu berada di Indonesia timur. Dari sektor usaha, untuk industri 80 persen terpusat di Pulau Jawa, sedangkan 90 persen ekonomi nasional disumbang oleh Jawa dan Sumatera.

DPD mendorong kebijakan ekonomi yang pro-wilayah Indonesia Timur. Agar itu terjadi, sebagian besar APBN harus dialokasikan ke wilayah Indonesia timur, sementara Jawa dan Sumatera bisa berjalan pembangunannya melalui swasta dengan catatan ada jaminan kepastian hukum. Sekarang pun Sumatera yang sudah berjalan ekonominya itu diincar banyak calon investor bukan dari luar negeri atau asing tetapi malahan dari dalam negeri sendiri (domestik). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar