Kamis, 18 Juli 2013

Fanatisme dan Involusi Politik

Fanatisme dan Involusi Politik
Nurudin ;  Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
SUARA KARYA, 15 Juli 2013


Konstelasi politik menjelang Pemilu semakin ramai. Tidak saja persoalan konsolidasi partai politik (parpol) setelah lolos verifikasi, tetapi juga bagaimana dan siapa pemimpin bangsa ini dipersiapkan dan dikenalkan ke publik. Itu belum termasuk kasus-kasus politik yang menimpa hampir semua lembaga negara dan dari berbagai kalangan yang semakin menjadi komoditas politik.

Berbagai peristiwa politik itu terus berputar-putar. Belum reda atau selesai kasus yang satu muncul kasus lain lain. Belum reda kasus korupsi Hambalang, anak pejabat yang terlibat kasus, anggota dewan yang terindikasi korupsi, sudah muncul pula kasus impor daging sapi. Semua peristiwa itu seperti berputar-putar di awan dan belum menyentuh tanah. Semua masih simpang siur dan entah kapan akan selesai karena persoalan semakin menumpuk dan kompleks.

Ibarat mengurai benang ruwet ketika berbagai peristiwa itu menjadi komoditas politik. Misalnya, kasus Hambalang menjadi komoditas politik bagi kelompok 'musuh' terduga pelaku kasus Hambalang. Kasus impor daging sapi menjadi 'bahan menuduh' oleh partai yang juga musuh partai yang diduga terlibat impor daging. Sementara, pemerintah juga semakin sibuk sendiri. Masing-masing pejabat juga justru sibuk mengurusi parpolnya sendiri.

Karena itu, masyarakat semakin bingung, mana kasus yang perlu diselesaikan mana yang hanya sekadar "menghangatkan suasana". Dalam kacamata politik itu namanya involusi politik. Involusi adalah sebuah proses dimana sebuah kasus tidak akan pernah menemukan penyelesaian, dan memang para pemrakarsa atau orang yang berkepentingan atas kasus itu tidak berniat menyelesaikan. Sebuah riuh rendah bak pasar politik.

Sebenarnya, munculnya berbagai kasus yang terus mendera bangsa ini, perbedaan antar kelompok, perbedaan cara pandang antara masyarakat dengan pemerintah tidak akan terus mengalami eskalasi, jika tak ada fanatisme politik.

Fanatisme politik sendiri juga bisa dipacu oleh para penguasanya. Dengan berbagai cara mereka melakukannya agar kekuasaannya terus langgeng. Berbagai manuver, mengalihkan isu atau cara-cara kotor kadang dilakukan. Cara demikian ini akan memunculkan "lawan politik" semakin berusaha keras untuk merongrong dan melawannya. Akhirnya, berbagai macam cara pun dilakukan oleh lawan-lawan politik itu.

Bisa jadi ada semangat, tetapi yang penting melawan kekuasaan karena penguasa juga punya semboyan yang penting berkuasa. Para lawan politik itu sangat solid untuk melakukan perlawanan. Di sinilah munculnya fanatisme politik. Jadi, fanatisme politik penguasa dilawan dengan fanatisme politik lawan politik atau bahkan kelompok masyarakat.

Fanatisme politik sebenarnya sebuah penyimpangan dari nilai dasar manusia. Dengan kata lain sebuah penyimpangan (deviasi) perilaku manusia. Sebab, fanatisme politik akan menganggap bahwa kelompok atau "perkoncoan" mereka yang dianggap paling benar. Bahkan, tidak jarang cenderung memonopoli kebenaran.

Sebuah kelompok yang merasa bahwa penegakan syariat Islam di negara ini merasa perlu terus meneriakkan pentingnya syariat Islam, padahal sudah jelas, ini bukan negara Islam. Seolah ide kelompok itulah yang paling benar dan diklAim berasal dari ajaran agama. Ini jelas fanatisme kelompok yang dibawa ke politik, sebut saja fanatisme politik.

Karena fanatisme politik yang seperti itu, mereka juga akan kebal kritik. Ini dimungkinkan karena merasa kelompok sendiri yang paling benar. Jika pihak ada yang mengkritik dianggap sebagai rongrongan. Ketika pemerintah dikritik, ada saja alasan merongrongan kewibawaan pemerintah. Ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akhirnya tersandung kasus impor sapi buru-buru dikatakan ada konspirasi dan kelompok tertentu yang mengipas-ngipas. Itu, bukti bahwa fanatisme politik sedemikian kuatnya.

Ketika Dahlan Iskan (menteri BUMN) memberikan inisial nama bahwa ada beberapa anggota DPR yang terlibat memeras BUMN, sang menteri itu dituduh mencemarkan nama baik. Menteri yang suka pakai sepatu kets itu juga dianggap punya niat untuk menghabisi parpol tertentu.

Penegakan Hukum

Akibat itu semua, kesadaran untuk menerima perbedaan masih menjadi barang mahal. Menghargai perbedaan hanya ada dalam teks-teks kenegaraan. Indah diucapkan tetapi sangat sulit dan pahit untuk dilaksanakan. Padahal kitab suci manapun menghargai pentingnya perbedaan karena Tuhan menciptakan manusia yang berbeda. Kalau mau, Tuhan bisa menciptakan manusia secara seragam, agama sama, suku sama, warna kulit sama, tujuan sama. Perbedaan sengaja dibuat Tuhan karena manusia adalah makluk berakal yang dianggap mampu mengemban amanah. Kalau tidak, manusia bak seekor binatang yang hidup saja.

Masyarakat dan bangsa ini memang masuk "kemaruk" (bernafsu). Nafsu untuk menguasai, nafsu untuk menang sendiri, nafsu untuk merebut, nafsu untuk menganggap keyakinan dan kepercayaan diri lebih dari yang lain. Inilah yang menjadi embrio munculnya fanatisme politik.
Menghadapi hal itu, tidak ada cara lain kecuali dengan menegakkan hukum tegas dan nyata. Hanya dengan cara demikian, fanatisme politik akan berkurang. Para koruptor tidak akan jera jika dihukum sama dengan pencuri. Penegakan hukum itu akan memaksa orang untuk mengubah kebiasaan yang tidak baik menjadi lebih baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar