|
SUARA
KARYA, 15 Juli 2013
Konstelasi politik menjelang
Pemilu semakin ramai. Tidak saja persoalan konsolidasi partai politik (parpol)
setelah lolos verifikasi, tetapi juga bagaimana dan siapa pemimpin bangsa ini
dipersiapkan dan dikenalkan ke publik. Itu belum termasuk kasus-kasus politik
yang menimpa hampir semua lembaga negara dan dari berbagai kalangan yang
semakin menjadi komoditas politik.
Berbagai peristiwa politik itu
terus berputar-putar. Belum reda atau selesai kasus yang satu muncul kasus lain
lain. Belum reda kasus korupsi Hambalang, anak pejabat yang terlibat kasus,
anggota dewan yang terindikasi korupsi, sudah muncul pula kasus impor daging
sapi. Semua peristiwa itu seperti berputar-putar di awan dan belum menyentuh
tanah. Semua masih simpang siur dan entah kapan akan selesai karena persoalan
semakin menumpuk dan kompleks.
Ibarat mengurai benang ruwet
ketika berbagai peristiwa itu menjadi komoditas politik. Misalnya, kasus
Hambalang menjadi komoditas politik bagi kelompok 'musuh' terduga pelaku kasus
Hambalang. Kasus impor daging sapi menjadi 'bahan menuduh' oleh partai yang
juga musuh partai yang diduga terlibat impor daging. Sementara, pemerintah juga
semakin sibuk sendiri. Masing-masing pejabat juga justru sibuk mengurusi
parpolnya sendiri.
Karena itu, masyarakat semakin
bingung, mana kasus yang perlu diselesaikan mana yang hanya sekadar
"menghangatkan suasana". Dalam kacamata politik itu namanya involusi
politik. Involusi adalah sebuah proses dimana sebuah kasus tidak akan pernah
menemukan penyelesaian, dan memang para pemrakarsa atau orang yang
berkepentingan atas kasus itu tidak berniat menyelesaikan. Sebuah riuh rendah
bak pasar politik.
Sebenarnya, munculnya berbagai
kasus yang terus mendera bangsa ini, perbedaan antar kelompok, perbedaan cara
pandang antara masyarakat dengan pemerintah tidak akan terus mengalami
eskalasi, jika tak ada fanatisme politik.
Fanatisme politik sendiri juga
bisa dipacu oleh para penguasanya. Dengan berbagai cara mereka melakukannya
agar kekuasaannya terus langgeng. Berbagai manuver, mengalihkan isu atau
cara-cara kotor kadang dilakukan. Cara demikian ini akan memunculkan
"lawan politik" semakin berusaha keras untuk merongrong dan
melawannya. Akhirnya, berbagai macam cara pun dilakukan oleh lawan-lawan
politik itu.
Bisa jadi ada semangat, tetapi
yang penting melawan kekuasaan karena penguasa juga punya semboyan yang penting
berkuasa. Para lawan politik itu sangat solid untuk melakukan perlawanan. Di
sinilah munculnya fanatisme politik. Jadi, fanatisme politik penguasa dilawan
dengan fanatisme politik lawan politik atau bahkan kelompok masyarakat.
Fanatisme politik sebenarnya
sebuah penyimpangan dari nilai dasar manusia. Dengan kata lain sebuah
penyimpangan (deviasi) perilaku manusia. Sebab, fanatisme politik akan
menganggap bahwa kelompok atau "perkoncoan" mereka yang dianggap
paling benar. Bahkan, tidak jarang cenderung memonopoli kebenaran.
Sebuah kelompok yang merasa bahwa
penegakan syariat Islam di negara ini merasa perlu terus meneriakkan pentingnya
syariat Islam, padahal sudah jelas, ini bukan negara Islam. Seolah ide kelompok
itulah yang paling benar dan diklAim berasal dari ajaran agama. Ini jelas
fanatisme kelompok yang dibawa ke politik, sebut saja fanatisme politik.
Karena fanatisme politik yang
seperti itu, mereka juga akan kebal kritik. Ini dimungkinkan karena merasa
kelompok sendiri yang paling benar. Jika pihak ada yang mengkritik dianggap
sebagai rongrongan. Ketika pemerintah dikritik, ada saja alasan merongrongan
kewibawaan pemerintah. Ketika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akhirnya
tersandung kasus impor sapi buru-buru dikatakan ada konspirasi dan kelompok
tertentu yang mengipas-ngipas. Itu, bukti bahwa fanatisme politik sedemikian
kuatnya.
Ketika Dahlan Iskan (menteri BUMN)
memberikan inisial nama bahwa ada beberapa anggota DPR yang terlibat memeras
BUMN, sang menteri itu dituduh mencemarkan nama baik. Menteri yang suka pakai
sepatu kets itu juga dianggap punya niat untuk menghabisi parpol tertentu.
Penegakan Hukum
Akibat itu semua, kesadaran untuk
menerima perbedaan masih menjadi barang mahal. Menghargai perbedaan hanya ada
dalam teks-teks kenegaraan. Indah diucapkan tetapi sangat sulit dan pahit untuk
dilaksanakan. Padahal kitab suci manapun menghargai pentingnya perbedaan karena
Tuhan menciptakan manusia yang berbeda. Kalau mau, Tuhan bisa menciptakan
manusia secara seragam, agama sama, suku sama, warna kulit sama, tujuan sama.
Perbedaan sengaja dibuat Tuhan karena manusia adalah makluk berakal yang
dianggap mampu mengemban amanah. Kalau tidak, manusia bak seekor binatang yang
hidup saja.
Masyarakat dan bangsa ini memang
masuk "kemaruk" (bernafsu). Nafsu untuk menguasai, nafsu untuk menang
sendiri, nafsu untuk merebut, nafsu untuk menganggap keyakinan dan kepercayaan
diri lebih dari yang lain. Inilah yang menjadi embrio munculnya fanatisme
politik.
Menghadapi hal itu, tidak ada cara lain kecuali dengan
menegakkan hukum tegas dan nyata. Hanya dengan cara demikian, fanatisme politik
akan berkurang. Para koruptor tidak akan jera jika dihukum sama dengan pencuri.
Penegakan hukum itu akan memaksa orang untuk mengubah kebiasaan yang tidak baik
menjadi lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar