Selasa, 09 Juli 2013

Inflasi dan Kebijakan Fiskal

Inflasi dan Kebijakan Fiskal
A Prasetyantoko  ;  Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 08 Juli 2013


Tak bisa disangkal, kenaikan harga bahan bakar minyak menimbulkan implikasi kompleks, baik pada makroekonomi maupun kesejahteraan sosial. Inflasi melonjak dan beban hidup masyarakat meningkat. Sementara upaya meredam inflasi harus dilakukan dengan menaikkan suku bunga serta menambah pasokan pangan lewat impor. Semua itu berimplikasi pada makroekonomi. Apakah keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak sudah benar?

Dalam kebijakan publik, persoalannya bukan lagi benar atau salah, melainkan bisa diterima atau tidak. Bekerjanya transmisi kebijakan lebih sering berjalan lambat dan baru berefek jangka menengah panjang, sementara ekspektasi publik biasanya pendek. Di situlah ruang di mana keduanya sulit ditemukan. Namun, gejala yang pada awalnya tampak begitu paradoksal, bukan berarti tidak bisa direkonsiliasikan. Dibutuhkan kesabaran merangkai kebijakan menjadi sebuah tatanan yang bekerja secara sistematis. Pertanyaannya, siapkah kita menjalani fase transisional yang biasanya sulit?

Akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), inflasi Juni meningkat menjadi 1,03 persen. Dua tahun berturut-turut, inflasi Juni (bulanan) 0,5-0,6 persen. Dampak kenaikan harga BBM pun belum tercermin sepenuhnya pada inflasi Juni. Bulan Juli ini, inflasi diperkirakan 2,4 persen dan inflasi hingga akhir tahun bisa di atas 8 persen. Pada kenaikan harga BBM tahun 2008, inflasi tahunan mencapai 11 persen dan pada 2005 inflasi mencapai 17 persen. Kita pernah mengalami situasi lebih buruk.

Bedanya, kali ini momentumnya kurang menguntungkan. Keputusan itu sendiri melalui proses cukup panjang. Ketika diputuskan, ekspektasi inflasi sudah telanjur tinggi serta bertepatan dengan masa liburan sekolah juga puasa dan Lebaran. Selain itu, situasi global juga sedang tidak kondusif. Dengan demikian, tak seluruh skenario pasca-kenaikan harga BBM berjalan baik. Mulanya, banyak pihak berharap kenaikan harga BBM akan segera diikuti dengan kembalinya modal asing, ditandai dengan menguatnya Indeks Harga Saham Gabungan dan nilai tukar rupiah. Kenyataannya, indeks dan rupiah masih terpuruk pasca-kenaikan harga BBM.

Di sinilah, ekspektasi pelaku pasar (terutama asing) dengan arah kebijakan kita belum bertemu pada ekuilibrium jangka pendek. Situasi paradoksal juga terjadi pada ekspektasi kebijakan fiskal. Banyak pihak mengharapkan, pasca-pengurangan subsidi, ekspansi belanja modal menjadi lebih besar. Namun, harapan tersebut sulit terwujud, apalagi melihat konsumsi BBM ternyata tak berkurang signifikan dengan naiknya harga. Belum lagi faktor kenaikan harga minyak di pasar dunia akibat krisis Mesir.

Di sinilah tantangan pokok yang harus dijawab pasca-kenaikan harga BBM. Semestinya, sekecil apa pun, pengurangan subsidi harus mampu membuka ruang peningkatan kinerja dan kapasitas perekonomian jangka menengah-panjang. Jika kenaikan beban masyarakat tidak mampu dikompensasi melalui pengungkit fiskal, roh kepedulian pemerintah menghilang dari sirkulasi perekonomian.

Mengapa masalah ekspansi fiskal pasca-kenaikan harga BBM menjadi penting? Kenaikan harga BBM terjadi bersamaan dengan melambatnya prospek pertumbuhan ekonomi. Ekspor terus tertekan akibat turunnya proyeksi pertumbuhan global serta penurunan harga komoditas primer. Selain memukul ekspor, penurunan komoditas primer juga berdampak pada penurunan investasi. Harus diakui, nadi perekonomian kita masih bertumpu pada sektor berbasis komoditas primer. Karena itu, pertumbuhan pada 2013 bisa tergelincir di bawah 6 persen.

Tanda-tanda melemahnya pertumbuhan ekonomi sudah terlihat dari pertumbuhan triwulan I 2013 sebesar 6,03 persen. Secara umum, pertumbuhan investasi triwulanan terus melemah sejak triwulan II 2012. Jika dilihat dari nilai pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital formation), memang baru terjadi penurunan pada triwulan I 2013. Namun, jika dilihat pertumbuhannya, perlambatan mulai terjadi pada triwulan III 2012.

Sektor transportasi asing mengalami koreksi paling tajam, diikuti sektor mesin dan perlengkapan asing. Kecenderungan ini dirasakan juga dengan merosotnya impor bahan baku serta melemahnya penanaman modal asing langsung (foreign direct investment). Tak bisa dimungkiri, peranan investasi pada produk domestik bruto kita akan cenderung melemah. Jika dilihat pertumbuhan sektoral, industri pertambangan mengalami koreksi paling drastis sejak triwulan III tahun lalu.

Memang kebijakan ekonomi selalu dihadapkan pada dilema yang menegasi satu sama lain. Karenanya, kebijakan ekonomi tidak bisa dilakukan secara sektoral. Harus ada kerangka kebijakan yang menyeluruh agar, jika terjadi dampak negatif dari satu kebijakan, bisa dimitigasi dengan kebijakan lain. Terkait dengan melemahnya permintaan domestik di tengah perlambatan ekspor dan investasi, sejatinya pemerintah masih memiliki satu ruang untuk bermanuver, dengan mengoptimalkan pengeluaran pemerintah.

Apa yang dilakukan Menteri Keuangan dengan menyederhanakan prosedur pencairan anggaran sudah benar. Namun, perlu ditingkatkan melalui semacam gugus tugas yang anggotanya dari kementerian teknis. Mereka diminta mengidentifikasi persoalan terkait pencairan anggaran. Persoalan anggaran tidak semata pada prosedur pencairan saja, tetapi juga kendala yang sifatnya eksternal, seperti koordinasi antarkementerian juga dengan daerah. Dengan dibentuknya gugus tugas, letak persoalan bisa segera diidentifikasi sehingga dapat dengan cepat dirumuskan responsnya.

Pengeluaran pemerintah harus dilihat dalam konteks dampak penggandanya. Jika pengeluaran pemerintah, terutama pada belanja modal, berjalan dengan baik, bisa dipastikan akan menarik pergerakan modal swasta. Karena itu, belanja modal juga berfungsi sebagai pengungkit investasi agar tidak terseret penurunan harga komoditas. Intinya, kebijakan fiskal harus lebih solid menopang gejala penurunan pertumbuhan ekonomi.
Kita membutuhkan teknokrat yang berpikir jangka panjang. Jika tidak, tahun depan semua program ekonomi akan terhenti, kecuali yang terkait dengan perebutan popularitas menjelang Pemilihan Umum 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar